Perlu difahami bahwa mutu hasil perikanan (ikan) yang terbaik atau ”segar” adalah saat 
dipanen dimana hasil penanganan atau pengolahan  selanjutnya tidak akan pernah 
menghasilkan mutu yang lebih baik, oleh karena itu cara penanganan pertama saat 
panen menjadi sangat penting karena akan berarti ikut mempertahankan mutunya 
selama tahapan distribusi, penanganan dan pengolahan selanjutnya sampai siap 
dikonsumsi. 
 
Agar dapat melakukan penanganan hasil perikanan secara benar untuk 
mempertahankan mutunya perlu diketahui ciri-ciri mutunya (ikan dan hasil perikanan 
lainnya) yang baik dan penyebab kerusakaannya sehingga dapat dicari dan dipilih cara 
penanganan yang paling efektif dan efisien untuk mencegah atau menghambat aksi 
penyebab kerusakan tersebut. 
 
Kondisi komposisi kimiawi dan fisik produk perikanan saat dipanen merupakan ciri atau 
kriteria mutu(kesegaran)-nya sekaligus merupakan penyebab dominan kerusakan 
mutunya dibanding penyebab lainnya seperti kontaminasi dan benturan/tekanan fisik. 
Perubahan komposisi kimiawi dan fisik produk perikanan yang terjadi segera setelah 
dipanen dapat efektif dihambat dengan perlakuan suhu rendah. Fakta telah 
menunjukkan bahwa perlakuan suhu rendah menggunakan es merupakan salah satu 
cara yang paling cocok untuk menangani ikan setelah dipanen sampai saat siap untuk 
diolah lebih lanjut. Cara ini erelatif murah dan mudah untuk dikerjakan sesuai dengan 
kondisi tingkat pengetahuan teknik maupun sosial-ekonomi nelayan, petani ikan dan 
pedagang ikan saat ini. 
 
Untuk melakukan penanganan ikan dengan es secara baik dan mencegah penyebab 
kerusakan lainnya seperti kontaminasi maupun benturan/tekanan fisik, diperlukan 
sarana yang cocok dalam jumlah cukup. Oleh karena itu sarana tersebut merupakan 
syarat mutlak yang harus disediakan diatas kapal penangkap ikan dan di tempat 
penanganan ikan segar lainnya seperti di dermaga pembongkaran, tempat pelelangan 
ikan (TPI) dan gudang pada pangkalan pendaratan ikan (PPI) atau pelabuhan 
perikanan.
Penyebab utama kerusakan ikan dilihat dari sumbernya meliputi penyebab dari keadaan 
ikan itu sendiri pada saat ditangkap dan penyebab dari kondisi diluar tubuh ikan.  
Penyebab kerusakan oleh keadaan ikannya sendiri meliputi kondisi fisik dan komposisi 
kimiawi ikan, sedangkan kerusakan dari luar tubuh ikan disebabkan oleh kontaminasi 
dan tekanan atau benturan fisik yang dialami ikan selama penanganannya dilakukan. 
Dengan mengetahui mekanisme penyebab terjadinya kerusakan  dapat diupayakan 
langkah-langkah pencegahan untuk menghambat proses penurunan mutu ikan.
Dari bentuk fisiknya bagian tubuh ikan yang dapat dimakan (edible portion) adalah 
dagingnya, sedangkan bagian tubuh lainnya seperti kepala, insang, isi perut, kulit, sirip 
dan tulang merupakan bagian yang tidak dapat dimakan meskipun pada jenis ikan 
tertentu bagian ini merupakan produk perikanan eksklusif yang mahal harganya setelah 
mendapatkan perlakuan pengolahan/penanganan khusus. Porsi dari bagian-bagian 
tersebut sangat tergantung dari jenis ikan yang berkaitan dengan bentuk tubuhnya, 
dimana secara garis besar bentuk tubuh ikan dapat dikelompokkan sebagai berikut 
(Zaitsev,  et al., 1969)  :  (1) seperti bentuk torpedo atau cerurtu contoh ikan tuna 
(Thunnus spp.), tongkol (Euthynnus spp.), layang (Decapterus spp.), kembung 
(Rastrelliger spp.), lemuru (Sardinella longiceps) dsb., (2) bentuk panah atau tombak, 
Contoh : ikan julung-julung (Tylosurus spp., Hemir hamphus spp.), ikan layur (Trichiurus 
spp.) dsb., (3) bentuk pipih dengan ukuran potongan vertikal yang jauh lebih panjang 
dari potongan horisontalnya, contoh ikan kakap (Lates calacarifer), kerapu 
(Ephinephelus spp.), bawal (Pampus spp., Formio spp;) dsb., (4) bentuk pipih mendatar 
melebar dengan ukuran potongan vertikal yang pendek dibandingkan dari potongan 
horisontalnya, contoh ikan sebelah (Psettodidae), ikan lidah (Cynoglossus spp., 
Pleuronectus spp.) ikan pari (Trigonidae) dsb., (5) bentuk ular, contoh : ikan malung 
(Muraenesox cinereus), belut laut dsb.
Daging atau otot ikan karena kandungan zat gizinya adalah merupakan bagian tubuh 
ikan yang lazim menjadi target untuk dikonsumsi. Komposisi kimiawi daging ikan segar 
secara umum terdiri dari 16-24 % protein, 0,5-10,5 % lemak, 1-1,7% mineral dan 64-
81% air. Komposisi inilah yang menyebabkan  daging ikan segar menjadi media yang 
baik untuk pertumbuhan mikroba (jasad renik), dimana mikroba mencerna atau
mengurai zat gizi tersebut menjadi senyawa yang lebih sederhana dan menyebabkan 
daging ikan menjadi rusak atau busuk. Oleh karena itu tujuan utama penanganan ikan 
segar adalah mencegah terjadinya hal ini. Komposisi kimiawi daging ikan tergantung 
tergantung antara lain kepada jenis ikan, kematangan atau kedewasaan dan musim. 
 
Salah  satu bentuk protein daging ikan adalah berupa enzim yang meskipun jumlahnya 
hanya sedikit tetapi berperan penting mengurai komposisi daging ikan pada saat ikan 
hidup melakukan gerakan di air. Bagian komposisi daging ikan yang berperan dalam 
pergerakan otot ikan hidup adalah  glikogen otot, suatu bentuk senyawa gula 
sederhana yang dikandung otot daging dalam jumlah sedikit sebagai cadangan energi. 
Pada ikan hidup hasil uraian glikogen oleh enzim menghasilkan energi untuk gerakan 
otot dengan limbah berupa  asam laktat, air dan CO2. Limbah ini secara aerob diproses 
dan dibuang keluar tubuh ikan melalui respirasi dan urin ikan. Apabila ikan mati, proses 
ini terjadi secara anaerob dan kerja enzim menjadi tak terkendali dalam mengurai 
glikogen otot yang ada didalam daging menghasilkan energi berupa ketegangan otot 
daging ikan sehingga tubuh ikan menjadi kaku – sulit/tidak dapat dilipat yang lazim 
disebut sebagai keadaan rigormortis. Limbahnya terutama asam laktat akan tertimbun 
didalam otot daging sehingga menaikkan keasamannya. Lamanya rigormortis 
tergantung persediaan glikogen pada otot daging ikan dimana semakin banyak 
persediannya (berarti ikan tidak dalam keadaan lelah saat mati) semakin lama ikan 
dalam kondisi rigormortis. Untuk keperluan handling yang perlu difahami disini adalah 
sejak ikan mati sampai dengan selesainya keadaan rigormortis proses kerusakan 
daging oleh mikroba pembusuk tidak terjadi, karena selama keadaan tersebut 
tingkat keasaman daging ikan tidak sesuai bagi pertumbuhan mikroba pembusuk. 
Setelah proses rigormortis selesai terjadi penurunan keasaman daging karena 
menurunnya kadar asam laktat, sehingga segera mencapai tingkat keasaman yang 
sesuai bagi pertumbuhan mikroba pembusuk. 
 
Bagian tubuh ikan hidup  yang selalu mengandung mikroba adalah  lendir di 
permukaan kulit, insang dan isi perut, dimana setelah ikan mati bagian ini merupakan 
pusat konsentrasi mikroba pengurai-pembusuk yang akan menyebar berpenetrasi ke 
daging ikan melalui permukaan kulit yang luka, sistim pembuluh darah dan permukaan 
bagian dalam dinding perut yang luka untuk mengurai/merubah komposisi kimiawi 
daging sehingga ikan menjadi menurun mutunya sampai menjadi busuk. Khusus untuk 
isi perut ikan, selain mikroba juga mengandung enzim-enzim pencerna protein, lemak 
dsb sehingga harus dijaga jangan sampai pecah selama penanganannya agar enzim-
enzim tersebut  tidak merusak dinding perut ikan bagian dalam yang selanjutnya juga 
merusak daging ikannya. 
Perubahan fisik ikan yang terjadi pada proses kematian ikan karena diangkat dari air 
atau tercekik adalah :  
-  Saat proses kematian akan keluar lendir dipermukaan tubuh ikan dengan jumlah 
yang berlebihan dan ikan akan mengelepar mengenai benda disekelilingnya. Apabila 
benda yang terkena benturan ikan cukup keras, kemungkinan besar tubuh ikan akan 
menjadi memar dan luka-luka. 
-  Selanjutnya setelah ikan mati secara perlahan-lahan akan mengalami kekakuan 
tubuh (rigormortis) yang diawali dari ujung ekor menjalar kearah bagian kepalanya. 
Lama kekakuan ini tergantung dari tingkat kelelahan ikan pada saat kematiannya.
-  Setelah proses rigormortis selesai, kerusakan ikan akan mulai terlihat berupa 
perubahan-perubahan : berkurangnya kekenyalan perut dan daging ikan, berubahnya 
warna insang, berubahnya kecembungan dan warna mata ikan, untuk ikan bersisik 
menjadi lebih mudah lepas sisiknya dan kehilangan kecemerlangan warna ikan, bau 
berubah dari segar menjadi asam. 
-  Perubahan tersebut akan meningkat intensitasnya sesuai dengan bertambahnya 
tingkat penurunan mutu ikan, sampai yang terakhir ikan menjadi tidak layak untuk 
dikonsumsi manusia atau busuk. 
Menilai kesegaran ikan yang paling mudah adalah menggunakan metode indrawi atau 
organoleptik dengan mengamati bagian tubuh ikan yang sensitif terhadap perubahan 
mutu dagingnya, seperti warna/rupa, rasa, kekenyalan dan kekompakan daging, kondisi 
mata, kondisi insang, dinding perut, bau atau aroma. Berikut ini ciri-ciri indrawi ikan 
segar dan penyimpangan dari ciri tersebut menunjukkan telah terjadinya penurunan atau 
perubahan mutunya. Ciri-ciri indrawi ikan segar : 
-  Rupa dan warna: mata masih jernih, warna merah insang, kecemerlangan kulit/sisik 
dan warna putih-merah dagingnya spesifik jenis ikan dalam keadaan segar dan 
bersih. 
-  Bau: segar spesifik jenis dan mempunyai bau rumput laut segar. 
-  Daging elastis (kenyal), padat dan kompak, apabila dicicip berasa netral dan sedikit 
manis.
Prinsip mencegah atau menghambat kerusakan ikan oleh faktor komposisi fisik dan 
kimiawi ikan adalah : 
-  Memberi perlakuan suhu rendah terhadap ikan segera setelah ditangkap atau 
dipanen,  karena proses enzimatis dan aktifitas mikroba pengurai daging akan sangat 
dihambat pada suhu mendekati 0°C (3 s/d 5°C). Suhu rendah ikan ini harus 
dipertahanlan selama pencucian, penyiangan, pengemasan, penyimpanan dan 
distribusinya. 
-  Mempercepat dan mempermudah kematian ikan segera setelah diangkat dari air 
dengan cara mendinginkannya dalam air es dingin atau segera memukul kepalanya 
tepat dibagian otak khsus untuk ikan berukuran besar seperti tuna, layaran dsb yang 
ditangkap dengan pancing (rawe atau long-line) 
- Khusus untuk ikan berukuran besar diikuti dengan pembuangan darah ikan 
(bleeding), karena darah merupakan media penyebaran mikroba pembusuk dari 
insang ke daging ikan melalui pembuluh darah ikan. 
-  Menyiangi dengan membuang insang dan isi perut ikan sebagai pusat konsentrasi 
mikroba alami. 
- Mencuci ikan segera setelah ditangkap, mati dan disiangi, dengan tujuan 
membersihkan lendir dipermukaan tubuhnya yang merupakan salah satu pusat 
konsentrasi mikroba pembusuk yang secara alami ada di tubuh ikan, dan sisa-sisa 
darah selama proses penyiangan.
Kontaminasi adalah penularan kotoran, mikroba pembusuk atau patogen (penyebab 
penyakit) dan bahan kimia berbahaya ke tubuh ikan yang berasal dari lingkungan 
disekelilingnya saat masih hidup, saat ditangani diatas kapal dan didarat, sehingga ikan
yang tertular menjadi tercemar dan tidak layak lagi untuk dikonsumsi meskipun 
kondisinya segar. 
 
Prinsip untuk mencegah terjadinya kontaminasi antara lain : 
-  Menangkap / memelihara ikan di perairan yang tidak tercemar oleh kotoran, mikroba 
pembusuk atau patogen (penyebab penyakit) dan bahan kimia berbahaya. 
-  Menggunakan air bersih dengan standar air bahan baku untuk diminum untuk 
mencuci dan mengemas ikan, mencuci  peralatan dan bangunan di tempat-tempat 
melakukan penanganan ikan. 
-  Menggunakan es yang dibuat dari air bersih, disimpan, diangkut dan dihancurkan 
dengan peralatan yang bersih. 
-  Menggunakan bahan pengemas, peralatan dan bangunan yang bersih, dimana 
permukaannya yang bersentuhan langsung dengan ikan harus cukup halus dan 
bersih, serta mudah dibersihkan. 
- Melindungi ikan dengan menempatkannya dalam wadah yang terlindung dari 
serangga, binatang pengerat 
-  Memisahkan wadah ikan yang berbeda jenis dan mutunya. 
-  Menyiapkan wadah-wadah untuk penampung  limbah cair atau padat sesuai dengan 
rencana pengelolaannya. Wadah-wadah yang digunakan untuk menampung limbah 
padat dan saluran-saluran penampung limbah cair harus dalam keadaan tertutup 
agar tidak dihinggapi serangga pencemar (lalat, kecoa dsb.). 
- Mencuci semua peralatan dan bangunan (permukaan lantai, dinding, wastafel) 
tempat menangani ikan setiap kali pekerjaan penanganan ikan akan dimulai dan 
setelah diakhiri.
Tekanan dan benturan fisik yang dialami ikan selama penangkapan dan penanganan-
nya diatas kapal dan di pangkalan pendaratan ikan dapat menyebabkan kerusakan fisik 
pada tubuh ikan seperti dagingnya memar, tubuhnya luka, perutnya pecah dsb. Tekanan 
dan  benturan fisik atas ikan harus dihindari pada tahapan-tahapan kegiatan 
penanganan ikan di atas kapal dan di pangkalan pendaratan ikan atau pelabuhan 
perikanan. Prinsip cara menghindarinya antara lain :  
-  Memahami tahapan kegiatan penanganan ikan di kapal penangkap ikan dan di 
pangkalan pendaratan ikan (PPI) atau pelabuhan perikanan. 
-  Menyiapkan peralatan dan perlengkapan handling  yang cocok dengan jenis-ukuran 
ikan dan kondisi tempat penanganan dengan jumlah cukup. antara lain meliputi 
wadah dan peralatan bongkar muat ikan yang memudahkan pelaksanaan pekerjaan 
pemindahan, pengangkutan dan penyimpanan ikan.  
-  Setiap saat melakukan pemindahan ikan agar selalu berusaha mencegah atau 
melindungi ikan dari perlakuan kasar atau tekanan fisik yang dapat melukai ikan atau 
membuat dagingnya memar. Oleh karena itu harus diusahakan seminimal mungkin 
melakukan pemindahan ikan 
Mengenai Saya
- Nautika
 - Jeunieb, Bireuen. NAD, Indonesia
 - Penulis dilahirkan pada tanggal 26 september 1984 di Desa Leugeu Kec. Peureulak Kab. Aceh Timur Prov. Nanggroe Aceh Darussalam, dari ayah Muhammad Yacob dan ibu Zaibah. Penulis menyelesaikan pendidikan sekolah dasar di SD Negeri 2 Peureulak pada tahun 1998, lulus SMP Negeri 1 Peureulak Kab. Aceh Timur tahun 2001, lulus SMK Negeri 1 Peureulak Aceh Timur tahun 2004. penulis menyelesaikan pendidikan D-III Nautika Perikanan Laut di UNSOED (Universitas Jenderal Soedirman) Purwokerto Jawa Tengah tahun 2007, dan menyelesaikan studi D4 Akuakultur di Sekolah Ilmu Teknologi Hayati- ITB (Institut Teknologi Bandung) Jawa Barat pada tahun 2009
 
Pencarian
Rabu, 16 Desember 2009
Penanganan Ikan
Diposting oleh
Nautika
di
03.39
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar