Rabu, 16 Desember 2009

Tanaman Pisang

Meningkatnya kesadaran akan pentingnya hidup sehat mendorong kenaikan kebutuhan produk hortikultura, khususnya buah-buahan. Pisang (Musa sp.) merupakan komoditas buah tropis yang sangat popular di dunia. Hal ini dikarenakan rasanya lezat, gizinya tinggi, dan harganya relatif murah. Pisang merupakan salah satu tanaman yang mempunyai prospek cerah di masa datang karena di seluruh dunia hampir setiap orang gemar mengkonsumsi buah pisang. Selain itu tanaman pisang sangat mudah dibudidayakan dan cepat menghasilkan sehingga lebih disukai petani untuk dibudidayakan. Banyak jenis tanaman pisang komersial yang telah dibudidayakan di Indonesia, salah satunya adalah pisang cavedish (Musa paradisiacal L.).
Pisang cavedish di Indonesia lebih dikenal dengan pisang ambon putih. Pisang cavedish juga banyak dijadikan sebagai konsumsi pabrik puree, tepung pisang sebagai bahan makanan bayi. Pohon pisang cavedish mempunyai tinggi batang 2,5 - 3 m dengan warna hijau kehitaman. Daunnya berwarna hijau tua. Panjang tandan 60 - 100 cm dengan berat 15 - 30 kg. Setiap tandan terdiri dari 8 - 13 sisiran dan setiap sisiran ada 12 - 22 buah. Daging buah putih kekuningan, rasanya manis agak asam, dan lunak. Kulit buah agak tebal berwarna hijau kekuningan sampai kuning muda halus. Umur panen 3 - 3,5 bulan sejak keluar jantung, sehingga cavedish sering dipanen pada umur 12 bulan setelah tanam.(http://brmc.biotrop.org/web/2009).
Menurut Suyanti dan Supriyadi (2008), pisang kaya akan mineral seperti kalium, magnesium, besi, posfor dan kalsium, mengandung vitamin B, B6, dan C. Gula pisang merupakan gula buah yang terdiri atas gula fruktosa berindeks glikemik lebih rendah dekstrak dibandingkan dengan glukosa sehingga cukup baik sebagai penyimpan energi karena metabolismenya sedikit lebih lambat. Bagi orang yang bertubuh gemuk atau takut gemuk, pisang merupakan buah yang sangat baik untuk dikonsumsi sekalipun dalam jumlah banyak karena kandungan lemaknya masih lebih rendah daripada apel, yaitu hanya 0.1%, sementara kandungan lemak apel 0.3%.
Tabel 1. Kandungan Gizi Tiap 100 g Buah Pisang



Sumber : USDA Nutrient data base, 2007 dalam Suyanti (2008)

Dari tabel di atas tampak bahwa buah pisang mengandung unsur gizi yang beragam dan cukup tinggi. Vitamin dan mineral tersebut sangat baik bagi kesehatan tubuh. Protein dan karbohidrat yang terkandung di dalamnya sangat penting bagi pembentukan sel tubuh seperti pada otot, daging, kulit, dan tulang, serta regenerasi sel yaitu mengganti sel-sel yang baru. Disamping itu, karbohidrat juga berfungsi sebagai sumber energi untuk meningkatkan kemampuan tubuh dalam melakukan berbagai aktivitas seperti bergerak, berpikir, bernafas, dan sebagainya.
Kebutuhan konsumen terhadap komoditi pisang terus meningkat. Sehingga harus diikuti oleh suatu upaya peningkatan produksi yang tetap mempertahankan kualitas. Salah satu teknologi alternatif yang dapat digunakan untuk mengatasi permasalahan pengadaan bibit yang berkualitas adalah melalui teknik kultur jaringan. Teknik kultur jaringan dapat menghasilkan bibit pisang yang sehat dan seragam dalam jumlah besar serta dalam kurun waktu yang relatif singkat dan tidak tergantung iklim, sehingga ketersediaan bibit terjamin.
Menurut gunawan (1992) kultur jaringan merupakan suatu metode untuk mengisolasi bagian tumbuhan dari bagian tanaman seperti protoplasma, sel, sekelompok sel, jaringan dan organ, serta menumbuhkannya dalam kondisi aseptic, sehingga bagian-bagian tersebut dapat memperbanyak diri dan beregenerasi menjadi tanaman utuh kembali. Teknik kultur jaringan beranjak dari teori totipotensi (total genetic potensial) yang disampaikan oleh Scleiden dan Schwan pada tahun 1838, bahwa sel tanaman adalah sutu unit yang otonom yang di dalamnya mengandung material genetic lengkap, sehingga apabila ditumbuhkan di dalam lingkungan yang sesuai, sel tersebut dapat tumbuh dan berdiferensiasi menjadi tanaman lengkap.
Melalui perbanyakan teknik kultur jaringan, akan diperoleh tanaman baru dalam waktu yang singkat, dalam jumlah banyak, seragam, bebas patogen dan memiliki sifat seperti induknya. Aplikasi teknik kultur jaringan dalam perbanyakan tanaman telah menjadi kegiatan rutin terutama pada komoditas hortikultura (Mattjik, 2005 dalam Maslukhah, 2008).
Bagian dari tanaman yang digunakan sebagai bahan untuk inisiasi suatu kultur, disebut eksplan. Eksplan sebaiknya yang masih muda dan bebas dari penyakit. Pemindahan kultur ke media lain, baik media yang sama ataupun yang lain, disebut subkultur. Setiap masa inkubasi disebut passage. Passage pertama adalah subkultur pertama dari jaringan yang terbentuk dari eksplan awal. Bahan yang diambil dari setiap subkultur disebut sebagai inokulum (Gunawan, 1992). Eksplan harus diusahakan supaya dalam keadaan septik melalui prosedur sterilisasi dengan berbagai bahan kimia. Dari eksplan yang aseptik kemudian diperoleh kultur yang asenik yaitu kultur dengan hanya satu macam organisme yang diinginkan (Gunawan, 1992).
Menurut Yusnita (2003), bagian tanaman yang dapat digunakan sebagai eksplan adalah eksplan atau bagian-bagian eksplan seperti aksis embrio atau kotiledon, tunas pucuk, potongan batang satu buku (nodal explant), potongan akar, potongan daun, potongan umbi batang, umbi akar, empelur batang, umbi lapis dengan sebagian batang, dan bagian bunga. Eksplan satu buku pada tunas jati diambil dari trubusan tunas yang baru tumbuh, sedangkan pada pisang diambil bagian bonggol pada anakan atau mata tunas muncul.
Eksplan yang digunakan dapat berukuran sangat kecil seperti kelompok sel sampai ukuran cukup besar yang sudah membentuk organ. Eksplan yang berukuran besar mudah terkontaminasi, sedangkan eksplan yang berukuran kecil tingkat pertumbuhannya lebih rendah. Stover dan Simmonds (1987) dalam Maslukhah (2008) berpendapat bahwa ukuran eksplan yang baik untuk perbanyakan pisang secara in vitro berkisar antara 0,2 cm-0,6 cm.

Keberhasilan dalam penggunaan metode kultur jaringan sangat bergantung pada media yang digunakan (Gunawan, 1992). Berbagai komposisi media kultur telah diformulasikan untuk mengoptimalkan perkembangan dan pertumbuhan tanaman yang dikulturkan. Formulasi dari suatu media harus mengandung hara makro dan mikro serta energi. Zat-zat tersebut bisa dicampur sendiri dari bahan dasarnya, atau diperoleh sudah dalam bentuk campuran (Yusnita, 2003).
Media kultur yang memenuhi syarat adalah media yang mengandung nutrien makro dan mikro dalam jumlah dan perbandingan tertentu, serta energi (umumnya digunakan sukrosa). Media kultur juga mengandung satu atau dua macam vitamin dan zat pengatur tumbuh (Christine, 2004) . Istilah Zat Pengatur Tumbuh (ZPT) tanaman merupakan istilah lain dari hormon tanaman yang banyak digunakan oleh ahli fisiologi tumbuhan. Istilah ZPT ini dapat mencakup semua zat baik zat endogen maupun eksogen yang dapat mempengaruhi pertumbuhan tanaman.
Menurut Yusnita (2003), salah satu komponen media yang menentukan keberhasilan kultur jaringan adalah jenis dan konsentrasi ZPT yang digunakan. Jenis dan konsentrasi ZPT tergantung tujuan dan tahap pengkulturan. Pengkulturan untuk menumbuhkan dan menggandakan tunas aksilar atau merangsang tumbuhnya tunas adventif, ZPT yang digunakan adalah sitokinin atau campuran sitokinin dengan auksin rendah. Pada pengkulturan untuk merangsang pembentukan akar pada tunas, biasanya menggunakan ZPT auksin.
Menurut Abidin (1985), fithohormon digolongkan kedalam 5 kelompok yaitu auksin, sitokinin, giberelin, etilen dan asam absiik. Ada 2 golongan ZPT yang berperan sangat penting dalam kultur jaringan yaitu auksin dan sitokinin. Kedua golongan ZPT ini mempengaruhi pertumbuhan dan morfogenesis dalam kultur sel, jaringan dan organ. Efektifitas dari pengaturan ZPT dipengaruhi berbagai hal yaitu bahan tanam itu sendiri, jenis persenyawaan yang tepat dan faktor lingkungan tumbuh.
Sedangkan vitamin adalah bahan organik bagian dari enzim atau kofaktor yang esensial untuk fungsi metabolic (Lieberman dan Bruning, 1990 dalam Maslukhah, 2008). Vitamin diperlukan tanaman untuk pertumbuhan jaringan. Tanaman biasanya menghasilkan vitamin dengan sendirinya, tetapi dalam kultur jaringan vitamin harus ditambahkan pada media sebagai penyedia sumber vitamin yang sangat dibutuhkan tanaman untuk perkembangan jaringan tanaman. Vitamin yang biasanya ditambahkan adalah vitamin B0 (thiamine), vitamin B6 (pyridoxine) dan niasin. Asam amino diperlukan dalam mensintesis protein dan diferensiasi dari jaringan, dan asam amino yang diperlukan asam aspartat, glycine, dan tyrosine (Gunawan, 1992).
Proses penyediaan bahan kimia yang tidak mudah dan mahalnya bahan kimia sebagai bahan dasar dalam pembuatan media, menyebabkan perlu dilakukan penelitian untuk mendapatkan bahan media alternatif yang lebih murah dan mudah dibuat. Tetapi tetap mampu memenuhi kebutuhan tanaman akan unsur hara dan vitamin selama pertumbuhan. Karena tanaman dalam kultur jaringan memerlukan unsur hara makro dan mikro, vitamin dan zat pengatur tumbuh untuk terus tumbuh dan berkembang.
Pada pembuatan media kultur jaringan dapat ditambahkan bahan organik kompleks sebagai sumber gula, vitamin, ZPT dan asam amino. Contoh bahan organik kompleks itu adalah jus tomat, ekstrak kentang, ekstrak toge, ekstrak ubi, ekstrak papaya, dan ekstrak pisang. Penggunaan bahan tersebut sebagai bahan tambahan media dapat berbeda pengaruhnya pada tanaman yang berbeda (Gunawan, 1992). Ekstrak pisang sebagai bahan tambahan media telah dicoba oleh Maslukhah (2008) untuk kultur in vitro pisang Rajabulu. Melihat kandungan vitamin yang dimiliki oleh ekstrak pisang, maka dapat digunakan untuk mengganti vitamin sintesis yang biasa digunakan dalam media MS.
Jenis pisang yang umumnya digunakan sebagai media dalam kultur jaringan yaitu jenis pisang ambon. Bubur pisang yang biasa digunakan berkisar 150-200 g/l. Data PKBT (2007) dalam Maslukhah (2008) menunjukkan bahwa vitamin yang terkandung dalam pisang adalah vitamin A, Vitamin B, Riboflavin (Vitamin B1), piridoksin (Vitamin B6) dan asam askorbat (Vitamin C). sedangkan gula dalam pisang terdiri atas senyawa 4,6% dextrose, 3,6% levulosa, dan 2% sukrosa.
Menurut Arditti dan Ernst (1992) dalam Maslukhah (2008) bahwa dalam buah pisang terdapat hormon auksin dan giberelin. Watimena et all (1992) dalam Maslukhah (2008) juga menyatakan bahwa setiap buah yang masak terdapat hormone auksin di dalamnya. Auksin dalam kultur jaringan, selain berfungsi untuk merangsang pemanjangan sel juga pembentukan kalus, klorofil, morfogenesis akar dan tunas, serta embryogenesis.
Media Murashige dan skoog (MS) merupakan salah satu media yang sering digunakan dalam teknik kultur jaringan. Media kultur tersebut fisiknya dapat berbentuk cair atau padat. Media berbentuk padat menggunakan pemadat media, seperti agar-agar atau gelrite (Yusnita, 2003). Menurut Wattimena et al. (1992) dalam Christene (2004) penggunaan media padat baik digunakan bila eksplan berukuran kecil karena mudah dilihat dan berada di atas permukaan media sehingga memerlukan alat bantu untuk aerasi. Selain itu juga pembentukan tunas dan akar lebih teratur sehingga mudah diamati pada media yang diam.
Agar-agar merupakan salah satu bahan yang dapat memadatkan media tanam. Menurut Gunawan (1992), agar-agar membeku pada suhu 450C dan mencair pada suhu 1000C sehingga pada kisaran suhu kultur agar-agar tetap dalam keadaan beku yang stabil, tidak dicerna oleh enzim tanaman dan tidak bereaksi dengan persenyawaan penyusun media.
Kultur jaringan in vitro pada pisang saat ini banyak dilakukan. Eksplan ujung tunas (shoot tip) dapat digunakan sebagai bahan tanaman yang dapat menghasilkan 8 tunas per 30 hari. Dalam 360 hari dapat diperoleh kurang lebih 1.000.000 tunas (Krikorian, 1993 dalam Maslukhah, 2008). Menurut Strosse (2004) dalam Maslukhah (2008), penerapan kultur in vitro pada pisang ditujukan untuk perbanyakan tunas dan perlindungan tanaman dari penyakit. Strosse juga menambahkan ukuran optimal eksplan yang digunakan tergantung dari tujuannya. Untuk perbanyakan cepat, ukuran eksplan 3-10 mm, sedangkan jika untuk tujuan menghilangkan bakteri ukuran eksplan 0,5-1 mm. Media untuk perbanyakan mikro pisang adalah MS + 30-40 g/l sukrosa, 2.25 mg/l BA + 0.175 mg//l IAA (untuk inisiasi tunas), dan pemadat agar 5-8 gr/l.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Maslukhah (2008) terhadap pisang Rajabulu menggunakan ekstrak pisang, hasil terbaik diperoleh pada kombinasi ekstrak pisang 50 g/l tanpa vitamin sintesis yang sebelumnya telah ditumbuhkan pada media perbanyakan menggunakan BAP 2 ppm dan TDZ 0,4µM.
Maslukhah (2008) melakukan penelitian pada pisang Rajabulu (Musa paradisiaca L. AAB Group) dengan menggunakan eksplan tunas sub kultur pisang Rajabulu Cianjur pada media yang mengandung BA dan TDZ untuk media perbanyakan dan ekstrak pisang pada media perlakuan. Pada penelitian tersebut terlihat bahwa ekstrak pisang 50 g/l memberikan pengaruh yang lebih baik terhadap parameter jumlah tunas, panjang tunas, jumlah daun, panjang daun, jumlah akar dan panjang akar. Konsentrasi tersebut menghasilkan jumlah tunas 3.1 tunas, panjang tunas 11.6 cm, jumlah daun 6.8 daun,, panjang daun 5.9 cm, jumlah akar 8.3 akar, serta panjang akar 9.0 cm.

0 komentar:

Template by : kendhin x-template.blogspot.com