Minggu, 20 Desember 2009

Budidaya Ikan Cupang

Cupang hias merupakan ikan asli yang hidup di kawasan Asia Tenggara Seperti Indonesia, Thailand, Singapura, Malaysia, dll. Ikan Cupang sekarang menjadi salah satu andalan expor Indonesia ke mancanegara. Dalam sejarahnya ikan cupang dahulu sekali hanyalah ikan yang hidup di daerah persawahan. Tapi sekarang sudah sangat berbeda dengan bentuk aslinya dulu, karena ikan cupang sudah bermutasi menjadi lebih cantik dan menarik. Ikan cupang dikenal dan dipelihara oleh sebagian masyarakat Indonesia sejak tahun 1960-an. dan lebih banyak dikenal sebagai ikan cupang sawah. dan kala itu ikan cupang penggemarnya hanyalah anak-anak dan belum dirambah oleh kalangan orang-orang kaya.
Perubahan terjadi pada tahun 1970 pada saat inportir memperkenalkan jenis cupang baru ada yang ekor pendek yang sekarang kita sebut dengan ikan cupang aduan atau cupang laga & ekor panjang yang dulu kita kenal dengan cupang jenis slayer. kala itu yang baru muncul jenis slayer ekor lilin yang datang sebagai cupang hiasnya.kala itu ikan jenis ekor lilin ini tetap mendominasi sampai era tahun 1990-an. sampai ketika parapenggemar cupang memadukan atau mengkawin silangkan mereka menjadi ikan yang lebih bervariasi bentuk & warnanya.
cupag hias jenis baru ini mempunyai ekor yang di hiasi tulang yang lebih menonjol keluar. ada yang berbentuk duri panjang, sisir tapi biasanya kita sebut jenis serit. dan yang menggelembung kita sebut Half Moon. Pada pertengahan tahun 1990-an ikan cupang mulai di konteskan dan di pamerkan keindahan fisiknya tapi mereka belum memisahkan kategorinya seperti sekarang yang memisahkan bentuk sirip maupun warnanya. semenjak adanya kontes konsep ikn cupang dahulu sebagai ikan aduan atau laga berubah menjadi ikan hias.

Beda jantan dan betina ikan cupang sangat jelas. Bisa dari jauh dan tidak perlu dipegang. Perbedaan tersebut bisa dilihat dari warna, bentuk sirip, bentuk perut dan gerakan. Betina ditandai dengan warna tubuh yang lebih gelap atau kusam, sirip-siripnya lebih pendek dari jantan, perut lebih gendut dan tidak banyak bergerak atau tidak banyak berlaga. Sedangkan jantan bertubuh lebih terang dari betina, sirip lebih panjang, perut ramping dan lebih banyak bergerak atau berlaga. Induk jantan dan betina mulai dipijahkan setelah berumur 6 bulan.

PEMATANGAN GONAD IKAN CUPANG
Pematangan gonad dilakukan dalam akuarium kecil atau toples. Caranya, siapkan dua akuarium ukuran panjang 20 cm, lebar 20 cm dan tinggi 20 cm atau toples dengan volume 2 – 3 liter (satu untuk jantan dan satu untuk betina); keringkan selama 2 hari; isi air setinggi 15 cm, masukan satu ekor induk jantan atau betina; beri pakan berupa cacing secukupnya cacing rambut atau cacing sutra.

PEMIJAHAN IKAN CUPANG
Pemijahan dilakukan di akurium atau toples. Caranya, siapkan dua akuarium ukuran panjang 20 cm, lebar 20 cm dan tinggi 20 cm atau toples dengan volume 2 – 3 liter (satu untuk jantan dan satu untuk betina); keringkan selama 2 hari; isi air setinggi 15 cm; masukan serumpun eceng goduk sebagai pelindung; masukan satu ekor induk jantan; masukan induk betina; biarkan memijah.

Catatan : Proses pemijahan diawali dengan pembuatan sarang oleh induk jantan berupa buih di permukaan air. Selanjutnya mengajak betina untuk memijah. Pemijahan bisa terjadi kapan saja, bisa pagi, siang, sore atau malam. Bila sudah memijah ditandai dengan adanya telur di dalam busa dan jantan berada di permukaan, menunggui telur sambil mengibas-ngibaskan siripnya. Telur akan menetas dalam waktu 24 – 36 jam dan mulai berenang setelah berumur 5 – 6 hari. Satu ekor induk betina bisa menghasilkan larva sebanyak 500 – 1.500 ekor.

PENDEDERAN IKAN CUPANG
Pendederan dilakukan di akuarium atau toples yang sama. Caranya, tangkap induk jantan dan masukan kembali ke tempat pematangan gonad; tangkap juga induk betina dan masukan ke tempat pematang gonad; larva yang sudah berumur 6 hari diberi pakan berupa infusoria, atau rotifera, atau naupli artemia; panen setelah satu bulan.

PENDEDERAN IKAN CUPANG II DAN III
Pendederan II dilakukan di akuarium atau toples lain. Caranya, siapkan sebuah akuarium ukuran panjang 20 cm, lebar 20 cm dan tinggi 20 cm atau toples dengan volume 2 – 3 liter; keringkan selama 2 hari; isi air setinggi 15 cm, masukan 30 ekor benih yang berasal dari tempat pendederan; beri pakan berupa cacing rambut atau cacing sutra sesuai takaran; panen setelah satu bulan. Pendederan II dilakukan seperti pendederan II, tetapi dengan kepadatan 20 ekor.

PEMBESARAN IKAN CUPANG
Pembesaran dilakukan di akuarium atau toples lain. Caranya, siapkan sebuah akuarium ukuran panjang 20 cm, lebar 20 cm dan tinggi 20 cm atau toples dengan volume 2 – 3 liter; keringkan selama 2 hari; isi air setinggi 15 cm, masukan 10 ekor benih yang berasal dari tempat pendederan; beri pakan berupa cacing rambut atau cacing sutra sesuai takaran; panen setelah dua bulan. Ikan siap dijual.


PERAN PELABUHAN DALAM MENCIPTAKAN PELUANG USAHA PARIWISATA

Pelabuhan adalah sebuah fasilitas di ujung samudera, sungai, atau danau untuk menerima kapal dan memindahkan barang kargo maupun penumpang ke dalamnya. Pelabuhan biasanya memiliki alat-alat yang dirancang khusus untuk memuat dan membongkar muatan kapal-kapal yang berlabuh. Crane dan gudang berpendingin juga disediakan oleh pihak pengelola maupun pihak swasta yang berkepentingan. Sering pula disekitarnya dibangun fasilitas penunjang seperti pengalengan dan pemrosesan barang.

Kata pelabuhan laut digunakan untuk pelabuhan yang menangani kapal-kapal laut. Pelabuhan perikanan adalah pelabuhan yang digunakan untuk berlabuhnya kapal-kapal penangkap ikan serta menjadi tempat distribusi maupun pasar ikan.

Klasifikasi pelabuhan perikanan ada 3, yaitu: Pelabuhan Perikanan Pantai, Pelabuhan Perikanan Nusantara, dan Pelabuhan Perikanan Samudera.

Di bawah ini hal-hal yang penting agar pelabuhan dapat berfungsi:

* Adanya kanal-kanal laut yang cukup dalam (minimum 12 meter)
* Perlindungan dari angin, ombak, dan petir
* Akses ke transportasi penghubung seperti kereta api dan truk.

Pengkajian terhadap sejarah Indonesia, agaknya lebih cenderung mengutamakan masalah-masalah di wilayah darat daripada di wilayah laut.[1] Indonesia sebagai negara maritim[2], yang mempunyai wilayah laut lebih besar daripada darat sudah barang tentu membutuhkan pengkajian yang lebih mendalam terhadap masalah kelautan, sehingga potensi kelautan Indonesia akan dapat diungkapkan dan diketahui secara komprehensif, termasuk dari sisi sejarah maupun pariwisata.[3] Sejarah yang mengkaji masalah kemaritiman (maritime history), biasanya mempunyai bidang-bidang kajian seperti perdagangan laut, teknologi kelautan, perompakan, nelayan, pelabuhan, dan sebagainya.[4] Sudah barang tentu, pengkajian terhadap sejarah maritim ini juga terkait dengan aspek-aspek lain seperti kota pelabuhan, kepariwisataan, maupun masalah-masalah yang terjadi di sekitar daerah pesisir atau pantai. Selanjutnya, untuk memahami eksistensi sebuah pelabuhan, maka perlu memahami arti pelabuhan itu sendiri, sehingga dapat diketahui peran apa yang dimainkan oleh sebuah pelabuhan.

Menurut R. Bintarto, pelabuhan mempunyai empat arti.[5] Pertama, arti ekonomis karena pelabuhan mempunyai fungsi sebagai tempat ekspor impor dan kegiatan ekonomi lainnya yang saling berhubungan sebab akibat. Kedua, arti budaya karena pelabuhan menjadi tempat pertemuan berbagai bangsa, sehingga kontak-kontak sosial budaya dapat terjadi dan berpengaruh terhadap masyarakat setempat. Ketiga, arti politis karena pelabuhan mempunyai nilai ekonomis dan merupakan urat nadi negara, maka harus dipertahankan. Keempat, arti geografis karena keterkaitannya dengan lokasi dan syarat-syarat dapat berlangsungnya suatu pelabuhan. Pelabuhan merupakan sebuah sistem jaringan kerja yang saling terkait antara variabel yang satu dengan variable yang lainnya. Suatu hal yang jarang dibahas adalah bagaimana sistem jaringan yang saling terkait ini terkait dengan suatu jaringan lain yaitu sistem pariwisata. Perubahan utama dalam sistem pelabuhan biasanya terkait dengan adanya laju arus barang yang semakin meningkat.


Hal ini berakibat kebutuhan akan efektivitas dan effisiensi pelabuhan semakin terdesak untuk segera dipenuhi. Peralatan dan tata kerja pelabuhan harus segera disempurnakan.[6] Singkat kata, pelabuhan harus dimodernisasi. Modernisasi ini tidak lain bertujuan untuk meningkatkan peran ekonominya. Lalu, bagaimana pariwisata bisa berperan dalam meningkatkan peran ekonomi suatu pelabuhan, termasuk andaikata tidak terjadi perubahan arus barang? Bagi pelabuhan yang sudah tidak bisa lagi dikembangkan sebagai pintu ekspor impor, tetapi mempunyai nilai historis, maka pariwisata merupakan salah satu jawaban untuk memfungsikan secara ekonomis “lokasi” tersebut. Sekarang ini, dengan diterapkannya UU Otonomi Daerah, terbuka peluang bagaimana modernisasi dan manajemen ini mampu memberi nilai tambah bagi pelabuhan sehingga ada komponen lain yang bisa dikembangkan selain komponen utama dalam sistem pelabuhan itu sendiri, khususnya di komponen pariwisata. Di sisi lain, peranan sektor pariwisata dalam menunjang pembangunan nasional semakin meningkat dari tahun ke tahun. Bahkan Naisbitt memproyeksikan bahwa sektor ini dapat menghasilkan sekitar 10% dari produk nasional bruto dunia. Bagi Indonesia, sektor pariwisata diharapkan mampu menjadi tumpuan utama dalam penerimaan devisa negara. Masalahnya, mau atau tidak peluang bisnis pariwisata dijadikan salah satu sub-sistem dari manajemen pelabuhan.

Pelabuhan, Perdagangan Laut, dan Pariwisata dalam Perkembangan Kota

Dalam perkembangan historiografi Indonesia, kota-kota pantai di Indonesia[7] telah menjadi kajian sejarah yang sangat menarik. Bagaimana rute-rute perdagangan terjadi antara kota pantai yang satu dengan yang lain, sehingga telah membentuk jalinan “kesatuan” antar wilayah.[8] Dengan demikian, lokasi suatu pelabuhan dapat menjelaskan jaringan regional atas kota-kota yang saling berhubungan.[9] Berdasarkan jejak-jejak historis jaringan regional yang diakibatkan aktivitas pelabuhan sesungguhnya dapat dikonstruk ulang dan menjadi salah satu komoditas wisata. Itulah sebabnya perlu dilakukan mapping terhadap jaringan maritim yang terjadi sehingga terdapat objek wisata terpadu khususnya dalam konteks wisata maritim.

Dalam hubungannya dengan kota pelabuhan, telah banyak penelitian tentang hal ini. Rhoads Murphey[10] meneliti tentang perkembangan kota-kota pelabuhan di Asia. Dia mengatakan, bahwa kota berkembang karena peranan utama dari pelabuhan. Kota pelabuhan ini menjadi pembawa perubahan di Asia. Orang Barat membawa pengaruh di berbagai wilayah Asia, karena di kota pelabuhan inilah terjadi pergeseran nilai-nilai tradisional akibat pengaruh nilai-nilai Barat. Secara ekonomi kota pelabuhan sangat menonjol selama abad XIX dan pada awal abad XX kota pelabuhan menguasai dan sering menciptakan perdagangan, industri, keuangan, perbankan, asuransi pasar modal, serta membentuk jaringan peran dominan atas pedalaman agrarisnya. Pada kenyataannya banyak situs-situs historis sebagai hasil perkembangan kota maritim. Situs-situs ini perlu dipelihara dan dilestarikan, sehingga bisa menjadi objek wisata yang menarik. Tentunya setelah hal ini dimanaj dan dipoles sedemikian rupa sehingga menarik bagi para wisatawan untuk mengunjunginya.

Perkembangan suatu pelabuhan maupun kota tidak bisa dilepaskan dengan perdagangan, dan sudah barang tentu perkembangan perdagangan juga sangat terkait dengan peran dan fungsi pelabuhan. Bahkan, Max Weber mengatakan, bahwa perdagangan merupakan variabel yang menentukan dalam perkembangan sebuah kota. Oleh karena perdagangan itu sendiri juga termasuk perdagangan jarak jauh atau perdagangan antar pulau maupun antar negara, maka aktivitas inilah yang menjadi inti dari pengertian sebuah kota.[11] Sementara itu, pembahasan terhadap kota pelabuhan secara menyeluruh sering menempatkan pelabuhan pada posisi yang rendah, sehingga apa yang disebut kota pelabuhan sering kehilangan sifat maritimnya. Sebaliknya, kajian terhadap suatu pelabuhan tanpa menunjukkan dan menganalisis kota tempat pelabuhan itu berada juga menghilangkan fungsi kota pelabuhan sebagai hal yang sangat berkaitan.[12] Asumsi ini menginformasikan kepada kita untuk senantiasa melakukan berbagai kajian pengembangan yang tidak boleh melepaskan hubungan antara kota dan pelabuhan, baik pada masa sekarang maupun pada masa datang.

Pelabuhan, rupanya menduduki posisi penting dalam proses dinamika pertemuan budaya, karena melalui pelabuhan ini dihubungkan jalinan budaya antara wilayah lautan dengan wilayah daratan.[13] Dari seberang lautlah budaya “asing” masuk melalui pelabuhan dan di sinilah interaksi budaya dengan segala implikasinya terjadi.[14] Interaksi budaya ini telah memunculkan kelompok-kelompok sosial dari berbagai etnis dan membentuk kampung-kampung etnis tertentu dengan akulturasi budaya mereka yang berkembang di sekitar pelabuhan. Keberadaan kampung-kampung ini sebenarnya bisa dijadikan salah satu objek perjalanan wisata, terutama bagi orang-orang yang masih ada kaitan keluarga maupun teman dengan warga yang tinggal di kampung tersebut.

Ramai tidaknya suatu pelabuhan tergantung dari berbagai faktor di antaranya faktor ekologi.[15] Demikian halnya dengan pariwisata, kegiatan ini juga bergantung dengan ekologi. Pelabuhan yang kotor dan tercemar oleh berbagai polusi tentunya tidak menarik untuk dikunjungi wistawan. Pelabuhan, yang dalam bahasa Inggris disebut harbour bersinonim dengan kata port, namun demikian menurut Rhoads Murphey, kedua konsep ini merupakan dua pengertian yang berbeda. Harbour mempunyai titik tekan atau acuan pada konsep fisik yang memberi pengertian tentang pelabuhan sebagai tempat berlindung atau berteduhnya kapal- kapal. Sementara port lebih mengacu pada konsep ekonomi, yaitu pelabuhan yang dipandang sebagai tempat atau pusat tukar menukar atau keluar masuknya barang-barang komoditas antara daerah hinterland dengan foreland.[16] Kedua konsep tentang pelabuhan ini juga bisa ditangkap secara berbeda dalam mengembangkan wisata pelabuhan. Dalam konsep fisik pelabuhan berarti dermaga tempat kapal-kapal berlabuh dengan segala fasilitasnya. Banyak orang yang ingin melihat dan mengetahui kapal-kapal besar, kapal perang, dan bahkan ingin menaikinya. Sementara pelabuhan dalam konsep ekonomi merupakan serangkaian kegiatan ekonomi sejak kapal datang hingga kapal berangkat. Salah satu motivasi wisata adalah melihat dan mempelajari hal-hal baru.

Wisatawan ingin mencari kebahagiaan batin dengan melihat dan menikmati hal baru yang tidak ditemui di tempat tinggalnya. Itulah sebabnya, sebuah proses ekonomi pelabuhan yang berlangsung di pelabuhan bisa juga menjadi objek wisata yang cukup potensial bila bisa dimanaj dengan baik. Pelabuhan yang mengacu pada konsep ekonomi, di samping berfungsi sebagai tempat/ pusat tukar menukar atau keluar masuknya barang perdagangan, juga menjadi salah satu syarat sifat kosmopolitannya suatu wilayah atau kota karena adanya dampak ekonomi yang ditimbulkannya.[17] Dari konsep ini diperoleh pengertian bahwa ada hubungan antara hinterland dengan aktivitas suatu pelabuhan. Dengan kata lain, bagi wilayah hinterland maupun foreland, pelabuhan berfungsi dalam menawarkan volume dagang dan menarik kapal-kapal bagi perdagangan dari dan ke pedalaman. Konsep ini sebenarnya bisa digunakan dalam mengembangkan peluang pariwisata dari pelabuhan. Pelabuhan berfungsi sebagai objek yang menarik wisatawan baik dari hinterland maupun dari foreland. Pada abad XXI ini fungsi pelabuhan sebagai pelabuhan penumpang harus lebih ditingkatkan khususnya penumpang dalam kontek wisatawan.

Operasionalisasi pelabuhan pada hakekatnya merupakan sebuah sistem. Sistem yaitu sebuah jaringan kerja yang saling berhubungan. Sistem tersebut terdiri dari beberapa subsistem dan di dalamnya juga didukung oleh subsubsistem yang lebih kecil. Kesemuanya ini berlangsung dalam hubungan yang saling kait mengait dan didukung oleh net of transportation yang menghubungkan pelabuhan dengan daerah hinterland baik jalan kereta api maupun jalam raya. Fungsionalisasi net of transportation bagi wisatawan juga mutlak harus dipikirkan. Perjalanan yang menyenangkan sangat diminati oleh para wisatawan. Jaringan kereta api yang telah ada dan kurang dimanfaatkan, perlu diupayakan untuk perjalanan wisata ke pelabuhan melalui kereta api. Sudah barang tentu, kereta api yang digunakan sudah diubah menjadi kereta wisata yang indah. Pada dasarnya, sistem industri suatu pelabuhan yang ada terdiri dari tiga subsistem, yaitu: Port Administration/ Port Authority , Port Bisnis (Perusahaan Pelabuhan), dan Pengguna Jasa Pelabuhan (Port Users). Sistem ini berlangsung dan berkembang karena ada manajemen terhadap aktivitas pelabuhan itu.

Dalam konteks ini, manajemen dilihat dalam perspektif suatu cara untuk mengendalikan dan mengembangkan suatu sistem ekonomi dengan melakukan pengaturan terhadap fungsi-fungsi sistem pelabuhan seefisien mungkin.[18] Selain itu sistem pelabuhan juga didukung oleh para pelaku di pelabuhan seperti pejabat dan pegawai pelabuhan, buruh pelabuhan, pedagang, konsumen, dan produsen, serta masyarakat yang hidup di sekitar pelabuhan. Manajemen itu sendiri tidak dapat mengabaikan pendekatan sistem untuk melihat variabel yang saling terkait dan terpengaruh.[19] Dalam konteks ini, peluang bisa diupayakan dengan menyamakan visi dan misi wisata pelabuhan. Dinas dan instansi terkait perlu melakukan kerjasama dan usaha untuk menggali potensi yang ada. Sementara seluruh pelaku bisnis yang terlibat dalam aktivitas pelabuhan juga perlu disadarkan pentingnya sisi wisata di pelabuhan, sehingga mereka akan mendukung kegiatan wisata pelabuhan. Pengaturan aktivitas wisata dengan perangkat peraturan formal sangat penting untuk mengikat dan mempertegas kegiatan wisata di pelabuhan dan mendapat dukungan formal dari para pelaku bisnisnya.

Munurut Christopher, pendekatan sistem terhadap pelabuhan mempunyai elemen-elemen anatomi yaitu: 1) Hubungan antara hinterland dengan foreland; 2) Port Facilties, yaitu pengungkapan terhadap unsur-unsur yang berkaitan dengan transport pada tingkat regional, nasional, dan internasional/ global; 3) Industri pelabuhan, artinya melihat pelabuhan sebagai sistem industri yang terdiri dari sub-sub sistem.[20] Tujuan dari pendekatan ini adalah untuk mengetahui bagaimana efektivitas pelabuhan dalam proses ekonomi dan memahami hubungan antara pelabuhan dengan perkembangan sosial ekonomi masyarakat. Dengan demikian aplikasi marphologi dari suatu sistem pelabuhan diasumsikan akan membawa transformasi sosial ekonomi. [21] Transformasi sosial ekonomi masyarakat khususnya masyarakat yang tinggal di sekitar pelabuhan dan masyarakat kota pada umumnya merupakan akibat langsung dari aktivitas pelabuhan. Manajemen yang baik terhadap hal ini akan memberikan dampak positip bagi meningkatnya kegiatan ekonomi di sekitar pelabuhan terutama sector ekonomi kecil dan informal. Keberadaan pedagang kaki-lima , pedagang souvener, dibangunnya museum, rumah makan sea food yang khas, dan sebagainya akan membawa perubahan sosial ekonomi masyarakat dan pada gilirannya pendapatan pelabuhan dan pendapatan daerah juga mengalami peningkatan.

Kesejahteraan karyawan pelabuhan akan bertambah pula. Selain itu, sistem pelabuhan merupakan salah satu titik dari mata rantai logistik dalam rangkaian proses transformasi yang menambah nilai dan produk. Nilai akan bertambah melalui empat proses perubahan, yaitu perubahan fungsi (manfaat fungsi produk); perubahan pemilikan (manfaat pemilikan); perubahan waktu (manfaat waktu); dan perubahan ruang (manfaat tempat). Dalam proses itu masing-masing dijelaskan: perubahan fungsi berlangsung pada pengolahan manufaktur atau barang industri; perubahan pemilikan terjadi pada transaksi penjualan; perubahan waktu terjadi pada penimbunan; dan perubahan ruang terjadi pada proses pengumpulan dan penyebaran barang.[22] Bagaimana proses perubahan fungsi yang membawa nilai ini bisa dimanfaatkan untuk peluang pariwisata? Ternyata dari berbagi perubahan fungsi ini perlu dilakukan upaya baru dalam hal terjadinya perubahan fungsi wisata. Tentunya setelah perubahan fungsi yang berlangsung ini dikaji secara cermat, mana-mana yang bisa berpeluang dalam pengembangan pariwisata. Perkembangan pelabuhan dengan berbagai dampaknya ternyata sangat dipengaruhi oleh manajemen pelabuhan.

Manajemen menjadi nafas bagi kehidupan sebuah pelabuhan. Semakin baik manajemen suatu pelabuhan maka akan semakin baik pula efektivitas dan efisiensi suatu pelabuhan. Manajemen mendasari sistem pelabuhan dalam menjalankan peran dan fungsinya secara terpadu, berencana, terarah, dan menyeluruh.

Jumat, 18 Desember 2009

Budidaya Udang Galah

Untuk memperoleh gambaran mengenai kegiatan yang dilakukan pada pembudidayaan udang galah, pada Diagram Alir 2. berikut ini ditampilkan tahapan kegiatan yang dilakukan dalam rangka memproduksi udang galah konsumsi ukuran medium.
Diagram Alir 2.Tahapan Produksi Udang Galah



a. Teknologi pendederan.
Teknologi pendederan pasca larva atau sering disebut pentokolan terdiri dari 2 pilihan yaitu :
1. Teknologi pendederan indoor dengan menggunakan sistem air tersirkulasi.
2. Teknologi pendederan outdoor dengan menggunakan kolam tanah, sawah dan karamba jaring apung (KJA).
Tujuan dari pendederan adalah :
1. Mempersiapkan benur menjadi benih udang siap tebar (tokolan) untuk meningkatkan survival rate di kolam pembesaran.
2. Memperpendek waktu pembesaran sehingga produk yang dihasilkan memenuhi ukuran konsumsi dan seragam.
3. Menekan pemborosan benur.
b. Teknologi pembesaran
Pembesaran udang galah dapat dilakukan dengan sistem monokultur atau polikultur, dengan teknologi antara lain sebagai berikut :
1. Teknologi pembesaran di kolam dengan persyaratan teknis tertentu
2. Teknologi pembesaran di sawah tambak yang merupakan perairan pasang surut (contoh di wilayah Bengawan Solo, Jawa Tengah).Dengan teknologi ini udang galah dapat dibudidayakan secara polikultur dengan ikan lain misalnya tawes dan bandeng.
3. Teknologi pembesaran di tambak darat yang mempunyai kadar garam kurang dari 10 permil. Persyaratan teknisnya hampir sama dengan pembesaran udang galah di kolam, namun yang perlu diperhatikan adalah proses aklimatisasi benih udang dari air tawar ke sedikit payau.
Lokasi Usaha
Udang galah merupakan komoditas perikanan air tawar yang dalam pembudidayaannya memerlukan beberapa persyaratan dalam hal pemilihan lokasi kolam dan lingkungannya. Untuk lokasi, persyaratan utamanya adalah ketinggian, jenis tanah dan adanya air mengalir. Secara lengkap persyaratannya adalah sebagai berikut:
a. Syarat lokasi:
- Ideal di dataran rendah dengan ketinggian ¬ 400 M Dpl
- Tanah lumpur berpasir
- Terdapat sumber air mengalir
- Bebas banjir
- Bebas dari pencemaran
- Keamanan terjamin
- Mudah dijangkau
b. Syarat lingkungan:
- pH : 7-8
- Salinitas : 0-5 permil (namun sebaiknya air tawar)
- Tinggi genangan : 80-120 cm
- Temperatur air : 26°C-30°C
- Kecerahan air : 25-45 cm
- Oksigen terlarut : 5-7 ppm
- Karbondioksida : 2-12 ppm
- Amoniak (NH3) : < 2 ppm Fasilitas Produksi dan Peralatan a. Kolam Bentuk kolam untuk budidaya udang galah sebaiknya memanjang sesuai aliran air masuk dan keluar. Hal ini akan bermanfaat terhadap peng-gantian air yang sempurna sehingga kandungan oksigen di dalam air akan tetap tinggi selama pemeliharaan. Ukuran kolam yang ideal adalah lebar maksimum 20 m dan panjang 50 m atau luas maksimal 1000 m2. Ukuran lebar ideal akan memudahkan dalam pemberian pakan, karena pakan udang dapat ditebar secara merata dari pinggir sampai ke tengah kolam. Hal tersebut sangat penting agar pendistribusian pakan dapat optimal karena udang galah hidup merayap dan tersebar ke seluruh dasar kolam. Selain itu, kolam mudah dikeringkan pada saat pemanenan. Dasar kolam sebaiknya tanah berpasir dan diusahakan agar jumlah lumpur sesedikit mungkin. Hal ini untuk mencegah terjadinya pembusukan bahan organik sisa pakan atau kotoran udang yang dapat menimbulkan racun dan menyebabkan udang yang dipelihara mabuk atau stress. b. Pematang Pematang atau tanggul pembatas kolam harus dibuat kokoh dan kuat agar tidak longsor dan bocor. Lebar bagian atas dari pematang sebaiknya tidak kurang dari 1 m. Untuk memudahkan pengelolaan kolam, maka perbandingan antara sisi tegak dan sisi mendatar adalah 1 : 2 untuk tanah lempung dan minimal 1 : 1 untuk tanah berpasir. c. Shelter Udang galah selama hidupnya mengalami beberapa kali molting, dan pada saat itu udang galah berada pada kondisi yang paling lemah. Di sisi lain udang galah juga mempunyai sifat kanibal. Dengan demikian udang galah yang sedang molting perlu shelter yang diberikan merata di sekeliling kolam, agar udang galah terhindar dari kejaran udang yang sehat yang dapat memangsanya. Luas shelter sebaiknya kurang lebih 20% dari luas kolam. Shelter dapat dibuat dari pelepah daun kelapa atau pucuk pohon bambu yang telah dibuang daunnya atau anyaman bambu. Shelter diambangkan di dalam kolam, diikatkan pada patok bambu/kayu dengan kedalaman 40 cm dari dasar kolam. Foto 3. berikut ini menampilkan kolam dengan shelter berupa daun kelapa sedangkan shelter pada Foto 4. terbuat dari bambu yang dibentuk seperti kerangka bangunan.
d. Lubang penangkapan
Pada saat panen, udang harus dapat ditangkap dengan mudah, sehingga perlu dibuat lubang penangkapan yang disambung dengan selokan kecil (caren) memanjang di tengah kolam. Ukuran lubang penangkapan adalah panjang 2 m, lebar 3 m dan tinggi 0,75 m, sedangkan lebar caren adalah 0,5 m dengan kedalaman 0,4 m. Dengan adanya lubang penangkapan ini, udang yang akan dipanen akan terkumpul di dalamnya melalui caren.
e. Aerasi
Aerasi adalah upaya untuk menambah oksigen terlarut di dalam air. Kebutuhan oksigen untuk udang galah relatif lebih tinggi dibandingkan dengan ikan. Semakin padat udang galah yang dibudidayakan di kolam, semakin tinggi kelarutan oksigen yang diperlukan. Apabila debit air kurang mencukupi maka untuk memperkaya kelarutan oksigen, dilakukan aerasi dengan menggunakan kincir air. Apabila debit air cukup maka aerasi dilakukan dengan sistem air kolam yang mengalir.
f. Peluap dan drainase
Peluap diperlukan untuk mengatur tinggi permukaan air di kolam agar kedalamannya sesuai dengan yang diharapkan dan juga tidak terjadi over topping yang dapat merusak pematang. Lubang drainase digunakan untuk membuang kelebihan air di kolam, karena kolam yang ideal adalah yang selalu ada aliran masuk dan keluar selama 24 jam. Lubang drainase ini dapat dibuat dari pipa tanah liat (hong) yang menembus pematang menuju saluran drainase, kemudian disambung dengan pipa PVC vertical sebagai peluap dengan sambungan berbentuk “L” (siku) yang sewaktu-waktu dapat dilepas untuk mengurangi atau mengeringkan air saat udang dipanen.
Perkakas dan peralatan yang diperlukan oleh pembudidaya udang galah secara semi intensif di Kabupaten Sleman, DIY cukup sederhana dan tidak terlalu bervariasi. Perkakas dan peralatan tersebut antara lain meliputi seser bulat, seser kotak, cangkul, jala, drum plastik, kelambu/jaring hapa, keranjang, timbangan sampling dan timbangan gantung. Foto 5. berikut ini menampilkan jaring yang digunakan untuk memanen.
Sarana Produksi
a. Benih
Pembudidaya udang galah harus memperhatikan mutu benih yang akan ditebar, karena mutu menentukan laju pertumbuhan selama pembesaran di kolam. Ciri-ciri benih bermutu :
(1). Murni monospecies (Macrobrachium Rosenbergii);
(2). Sama umur dan ukuran;
(3). Tidak cacad fisik (kelainan bentuk);
(4). Bereaksi cepat terhadap rangsangan cahaya/mekanik dan bergerak aktif;
(5). Bebas dari penyakit (jamur, parasit, bakteri dan virus);
(6). Cepat tumbuh.
Jumlah benur yang disediakan perlu mempertimbangkan tingkat kematian (mortalitas) selama adaptasi dan pemeliharaan. Angka survival rate dari benur sampai tokolan ± 50%, sedangkan dari tokolan sampai udang konsumsi ± 50% - 75%.
Sebelum ditebar di kolam untuk pendederan, benur terlebih dahulu diaklimatisasi agar tidak stress karena perubahan secara mendadak, terutama perubahan suhu karena benur lebih peka terhadap perubahan suhu daripada udang galah dewasa. Aklimatisasi dilakukan dengan cara merendam kantung benur ke dalam kolam selama ±15 menit, kemudian kantong dibuka untuk penyesuaian dengan suhu udara selama ±15 menit sambil diperciki air kolam sedikit demi sedikit. Setelah beberapa saat baru kantong benur ditumpahkan ke dalam kolam secara perlahan dan hati-hati. Diusahakan agar benur berenang keluar dari kantong ke kolam dengan sendirinya. Perbedaan suhu 1-2°C dianggap cukup aman bagi benur untuk ditebar ke kolam.
Benih udang galah telah dihasilkan oleh hatchery baik milik rakyat (swasta) yang disebut Unit Pembenihan Udang Galah (UPUG) maupun milik pemerintah yang disebut Balai Benih Udang Galah (BBUG). Berdasarkan data statistik tahun 2001 produksi benih di Indonesia masih terbatas. Di Jawa Barat hanya terdapat satu UPUG dengan total produksi benur 300.000 ekor pertahun, di Jawa Tengah terdapat tujuh UPUG dengan produksi benur mencapai 11.809.000 ekor per tahun, di Bali terdapat sembilan UPUG dengan total produksi benur sebanyak 7.786.000 ekor per tahun. Sementara itu unit pembenihan di Jawa Timur dalam kondisi tidak berproduksi. Jumlah unit pembenihan udang galah tersebut belum mampu memenuhi permintaan benur untuk pembesaran. Sebagai contoh di Bali kebutuhan benur baru terpenuhi 20% dari permintaan.
b. Pakan
Pakan memegang peranan yang penting dalam budidaya udang galah. Pemberian pakan yang berkualitas baik dan dalam takaran yang tepat dapat mendukung keberhasilan panen udang galah. Pemberian pakan yang berkualitas jelek dan dalam jumlah yang kurang akan mengakibatkan pertumbuhan udang tidak maksimal dan meningkatkan sifat kanibalisme. Dilain pihak pemberian pakan yang berlebihan akan menyebabkan pemborosan dan pakan yang tidak terkonsumsi akan membusuk di dasar kolam yang mengakibatkan lingkungan kolam menjadi tidak sehat dan berdampak buruk pada pertumbuhan udang galah.
Pakan udang galah terdiri dari dua jenis, yaitu pakan alami berupa fitoplankton dan pakan buatan berupa pelet. Fitoplankton ditumbuhkan melalui pemupukan dengan menggunakan pupuk organik (pupuk kandang) dan anorganik (Urea, TSP). Pemupukan perlu dilakukan secara periodik sesuai dengan kepadatan fitoplankton yang diinginkan. Pakan buatan yang digunakan harus mengandung kadar protein yang cukup dan bermutu bagi pertumbuhan udang galah, selain itu harus mengandung cukup vitamin dan mineral guna menambah daya tahan tubuh dan menghindari penyakit malnutrisi. Pakan juga harus memenuhi persyaratan fisik yang diperlukan agar dapat dimanfaatkan semaksimal mungkin oleh udang, yaitu jumlah pakan disesuaikan dengan ukuran dan umur udang yang dipelihara.
c. Kapur dan pupuk
Pengapuran dan pemupukan dilakukan pada saat persiapan kolam. Pengapuran dilakukan jika tanah dasar kolam bereaksi masam (pH < 6,0) dengan cara dan dosis yang tepat agar tidak merugikan kehidupan udang galah. Pengapuran dimaksudkan untuk meningkatkan pH tanah dasar kolam menjadi netral (pH 7,0) dan dapat berfungsi sebagai desinfektan. Dosis pengapuran harus disesuaikan dengan kondisi pH tanah dasar dan jenis kapur yang digunakan. Jenis kapur yang digunakan dapat berupa kapur sirih, kapur tohor, kapur tembok dan kapur karbonat/kapur giling. Pada Tabel 6. berikut ini dicantumkan dosis pengapuran kolam per ha.


Tabel 6. : Keperluan Jumlah Kapur Per Ha untuk Meningkatkan pH Tanah Menjadi 7 2,, Sumber : Demetra,

E.M. System Soil Tester Tokyo, Japan dalam Petunjuk Teknis Pengoperasian Unit Usaha Pembesaran Udang Galah. Pemupukan bertujuan untuk menambah unsur hara yang larut dalam air guna mendorong pertumbuhan fitoplankton yang merupakan pakan alami udang galah, dan pelindung udang dari terik sinar matahari. Pupuk yang digunakan adalah pupuk organik (kompos) dan pupuk anorganik (urea dan TSP). Penggunaan pupuk organik lebih baik daripada pupuk anorganik karena dapat terhindar dari efek samping bahan-bahan kimia; aman bagi lingkungan, dan menjaga kesuburan dasar kolam dalam jangka waktu lama. Jumlah pupuk yang digunakan tergantung pada tingkat kesuburan kolam. Pemupukan dilakukan pada air kolam, bukan dasar kolam karena dapat membahayakan kehidupan udang yang dipelihara. Dosis pemupukan awal untuk penyuburan dasar kolam adalah 100 kg/1.000m2 kolam. Untuk pupuk organik pemupukan dilakukan dengan melarutkan pupuk dalam ember, kemudian air yang telah mengandung pupuk di-percikkan secara merata di permukaan air kolam. Sedangkan untuk pupuk anorganik pemupukan dapat dilakukan dengan: a) ditebarkan ke seluruh permukaan dasar kolam ketika kolam diairi setinggi sekitar 10 cm atau b) dimasukkan ke dalam kantong plastik yang berlubang halus dan dicelupkan ke dalam air kolam di dekat pintu pemasukan air agar pupuk larut secara bertahap. Dosis pemupukan lanjutan adalah 20 kg/1.000m2 kolam. d. Pemberantasan hama dan penyakit Hama yang sering menyerang udang galah adalah predator dan ikan. Predator dalam budidaya udang galah antara lain adalah lele, gabus, betok, betutu, anjing-anjing air, belut dan ular serta ikan-ikan penyaing pakan seperti tawes, nila, mujair, dan ikan mas. Sedangkan kepiting adalah hewan yang dianggap sebagai pengganggu atau perusak karena melubangi pematang kolam. Untuk mencegah masuknya hewan-hewan tersebut, pada saluran air dapat dipasang saringan dan di sekeliling pematang dipasang net setinggi 60 cm. Cara lain adalah dengan penggunaan obat kimiawi seperti saponin (11-18 ppm), rotenan (0,2 ppm) atau chemfish (4 ppm). Untuk mencegah masuknya hama seperti musang air dan ular maka sekitar kolam harus bersih dari rumpun tanaman dan belukar. Penyakit yang banyak menyerang udang galah adalah black spot, yaitu penyakit yang disebabkan oleh bakteri dan menimbulkan jamur. Penyakit ini dapat mengakibatkan kematian dan menurunkan mutu udang galah. Obat yang dipergunakan untuk mencegah penyakit ini adalah obat anti bakterial yang diberikan secara oral melalui pakan. Tenaga Kerja Jumlah dan kualifikasi tenaga kerja yang dibutuhkan untuk budidaya udang galah ditentukan oleh pola teknologi yang diterapkan dan besarnya skala usaha. Kebutuhan jenis tenaga kerja untuk budidaya udang galah secara semi intensif di Kabupaten Sleman, DIY adalah sebagai berikut: a. Tenaga kerja yang mempunyai keahlian mengenai pakan, penyakit dan hama. b. Tenaga kerja kasar antara lain untuk mengatur air, pakan, mesin/pompa, dan memanen. c. Tenaga kerja untuk menjaga keamanan lingkungan kolam. Untuk meningkatkan semangat dan tanggung jawab tenaga kerja terhadap kolam yang digarapnya, beberapa pemilik kolam di Kabupaten Sleman, DIY memberikan insentif berupa pembagian keuntungan bersih hasil usaha setiap panen kepada tenaga kerjanya. Cara ini dipandang efektif dalam meningkatkan produktivitas kolam, karena berdasarkan pengalaman, tenaga kerja akan bekerja lebih giat dan bersungguh-sungguh dalam menggarap kolam dan ikut serta menjaga keamanan kolam. Masalah Produksi Udang Galah Dalam budidaya udang galah ditemukan berbagai permasalahan antara lain: 1. Teknis Budidaya Berbeda dengan memelihara ikan, pemeliharaan udang galah memerlukan lingkungan yang spesifik untuk tempat hidupnya. Kolam perlu didisain dengan dasar dan sedimen yang cocok dan sehat karena udang galah adalah hewan yang merangkak di dasar habitatnya. Kedalaman air, pemberian shelter tempat berlindung udang, sarana caren di dasar kolam, sirkulasi air masuk-keluar harus mendapat perhatian khusus untuk meningkatkan produksi dan kemudahan dalam pemeliharaan. Pemberian pakan yang tepat jumlah, mutu, ukuran dan waktu pemberian seringkali kurang mendapat perhatian khusus dan akibatnya produksi udang tidak sesuai dengan perkiraan sebelumnya. Tahap persiapan kolam dan pemupukan berkala selama pemeliharaan akan sangat membantu dalam efisiensi pemberian pakan, kestabilan kualitas air dan kompetisi dari hewan air lainnya. Pembudidaya udang galah pemula biasanya menghadapi masalah dalam menentukan waktu panen, menetapkan ukuran udang yang sesuai dengan permintaan pasar, dan mengemas udang pasca panen dengan baik. Terdapat beberapa hal pada saat panen yang harus dihindari agar tidak merugikan pembudidaya, antara lain: 1. Panen dilakukan dengan mengeringkan kolam secara total, karena udang yang masih kecil ikut terpanen dan air yang telah kaya dengan organisme dan mineral terbuang percuma. 2. Panen selektif dengan menggunakan jaring hapa dilakukan tanpa mengeringkan kolam, karena yang tertangkap adalah udang dengan ukuran tertentu. Kerugian yang muncul dengan sistem ini adalah banyak membutuhkan tenaga kerja dan ikan predator tidak dapat dibersihkan dari kolam. 3. Udang galah hasil panen dicampur dengan udang galah yang sedang molting. Udang campuran tersebut mudah rusak sehingga tidak laku dijual ke pengepul. Akibatnya, udang tersebut harus dijual ke konsumen akhir dengan harga yang lebih murah. 2. Variasi Pertumbuhan Tinggi Udang galah mempunyai kekhasan dalam variasi tumbuhnya. Dominasi udang galah yang cepat tumbuh terhadap yang lambat tumbuh merupakan penghambat dalam mengejar produktivitas udang yang akan dipanen. Teknologi seleksi udang pada ukuran tokolan merupakan satu pilihan untuk menghindari masalah tersebut. Udang yang cepat tumbuh dipelihara terpisah dengan udang yang lambat tumbuhnya, sehingga efisiensi pemberian pakan dapat terwujud dan pertumbuhan dapat lebih cepat. 3. Keterbatasan Benih Udang Galah Jaminan pasokan benih yang lancar dan cukup merupakan masalah utama yang sering dihadapi petani. Hal ini terjadi karena kurangnya hatchery dan cara pengoperasionalnya yang belum optimal sebagai akibat keterbatasan induk. Sebagai gambaran pada tahun 2001, permintaan benur udang galah mencapai sekitar 5.000.000 ekor, sementara kapasitas produksi dari hatchery yang ada hanya berkisar 700.000 - 1.000.000 ekor per bulan. Lokasi pemeliharaan udang galah yang jauh dari hatchery merupakan masalah turunan selanjutnya. Konsekuensi dari kedua masalah itu adalah tambahan biaya produksi bagi petani. Kerjasama antar hatchery dan petani pentokolan dan pembesaran perlu digalakkan sehingga permasalahan penyediaan pasokan benih dari hatchery dapat ditangani oleh sekelompok petani pentokol saja. Petani pembesar akan mudah mendapatkan benih dari petani pentokol terdekat. Boks 2. Alamat Lembaga Peminat yang ingin mengetahui lebih jauh atau memperdalam mengenai budidaya udang galah dapat menghubungi lembaga berikut ini: 1. Balai Bimbingan Pengujian Hasil Perikanan Jakarta. Jl. Muara Baru Ujung, Jakarta Utara. Telp. (021) 6695516, 6695593, 6695586, Faks.(021) 6695593 2. Balai Budidaya Air Payau Jepara. Jl. Pemandian Kartini, P.O Box No. 1, Jepara, Jawa Tengah. Telp. (0291) 591125, 591724 3. Loka Budidaya Air Payau Takalar Jl. Desa Bontole, Kec. Galesong Selatan , Takalar, Ujung Pandang 92254, Sulawesi Selatan. Telp. (0411) 320730, Fax. (0411) 858779 4. Loka Budidaya Air Payau Situbondo Divisi Udang : Jl. Raya Betok, P.O Box 4, Mlandingan, Situbondo, Jawa Timur. 5. Loka Budidaya Air Payau Ujung Batee Jl. Krueng Raya Km 16, P.O BOX 46, Banda Aceh, NAD. Telp. (0651) 24686 6. Balai Budidaya Air Tawar Sukabumi Jl. Salabintana No. 17 Sukabumi, Jawa Barat. Telp. (0266) 225211, 221762 7. Loka Budidaya Air Tawar Sei Gelam Jambi Desa Sungai Gelam, Kec Kumpueulu, Kab. Muaro Jambi, Jambi 36361. Telp. (0741) 54472, 54468 8. Loka Budidaya Air Tawar Tatelu Jl. Penilih Desa Tatelu, Kec. Dimimbe, Kab. Minahasa, Sulawesi Utara. Telp. (043) 821170, 921171 9. Loka Budidaya Air Tawar Mandiangin Jl. Tahura Selatan Adam Mandiangin, Banjarbaru, Kalimantan Selatan 70661 Telp. (0511) 780758, Fax. (0511) 92887 10. Pusat Penelitian Limnologi-Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia Komplek LIPI Cibinong, Jl.Jakarta-Bogor Km 46-Cibinong 16911, Telp. (021) 8757071 Sumber: Web Site Forek Indonesia, http://www.forek.or.id/balai-loka.php dan data primer 4. Lokasi Budidaya Terpencar Tapi Dalam Skala Luasan Yang Kecil Mencari lokasi pembesaran udang galah yang luas dengan kriteria sumber air dan kualitas sedimen yang memenuhi syarat lebih sulit dibandingkan lokasi untuk udang windu (tempat pemeliharaannya dipinggir pantai). Lokasi budidaya udang galah yang terpusat pada suatu lokasi yang luas akan dapat meningkatkan efisiensi usaha budidaya. Biaya transportasi benih, transportasi pakan/pupuk dan pemakaian tenaga akan menjadi lebih murah bila dibandingkan dengan kondisi lokasi budidaya yang terpencar di banyak tempat tapi dalam luasan yang kecil. Disamping itu, pengelolaan akan lebih mudah dan efisien serta jaminan produksi untuk skala pasar yang besar dapat terlayani. 5. Belum Ada Studi Skala Usaha Optimum Sampai saat ini belum dilakukan studi untuk skala usaha optimum bagi budidaya udang galah. Akibatnya pembudidayaan yang dilakukan sifatnya hanya disesuaikan dengan luas lahan. Bagi pembudidaya yang memiliki beberapa buah kolam, besarnya keuntungan yang diperoleh tergantung pula pada manajemen pengelolaan kolam yang dimilikinya

APLIKASI PROBIOTIK

Perkembangan kegiatan budidaya perikanan yang pesat dengan penerapan sistem intensif telah memunculkan pemasalahan berupa penurunan daya dukung kolam atau tambak bagi kehidupan ikan yang dibudidayakan. Dampak lanjut yang ditimbulkan adalah terjadinya serangkaian serangan penyakit yang menimbulkan kerugian yang besar. Langkah antisipatif melalui penerapan teknologi budidaya dengan berpedoman pada kaidah keseimbangan ekosistem merupakan solusi untuk mencegah kerusakan yang lebih serius. Di antara langkah tersebut adalah melalui aplikasi probiotik yang mempunyai kemampuan dalam mempertahankan kualitas air, menghambat pertumbuhan mikroorganisme patogen, dan meningkatkan kemampuan mencerna pakan (digesbility) pada ikan atau udang yang dipeliharan.
Akuakultur sebagai upaya manusia untuk memenuhi kebutuhan pangan telah dimulai ribuan tahun yang lalu, dan sejak era tahun 1970-an kegiatan tersebut nampak mulai berkembang. Kegiatan budidaya ikan mengalami perkembangan lebih pesat sekitar tahun 1980-an setelah manusia mulai menyadarai bahwa ketersediaan ikan dan produk-produk tangkapan dari alam menjadi semakin terbatas. Fenomena penurunan hasil tangkapan nelayan terjadi di beberapa negara dan dirasa semakin menghawatirkan. Barnabe (1994) menyatakan bahwa kemampuan laut dalam memenuhi tangkapan yang berkesinambungan hanya terbatas sekitar 100 juta ton per tahun, sementara dengan terus meningkatnya populasi penduduk dunia jumlah tangkapan ikan tersebut tidak akan mampu lagi memenuhi kebutuhan. Sebagai salah satu jawaban untuk menjamin ketersediaan sumber pangan adalah dengan pengembangan kegiatan budidaya.
Pada tahun 1995, produksi udang, ikan, moluska serta tumbuhan air mencapai total 120,7 juta ton (FAO, 1997). Dari angka tersebut kegiatan budidaya baru menyumbang sekitar 21 %. Indonesia sebagai salah satu negara terbesar dalam produksi hasil perikanan tentunya selalu berusaha meningkatkan produksinya dari kegiatan budidaya baik melalui upaya intensifikasi maupun ekstensifikasi. Upaya ekstensifikasi untuk wilayah Jawa, Bali dan Sumatera akan semakin sulit dilaksanakan karena adanya persaingan atas penggunaan lahan dengan sektor lain. Langkah intensifikasi tentunya harus ditempuh untuk meningkatkan produksi walaupun dengan berbagai konsekuensi yang ditimbulkan, di antaranya terjadinya penurunan kualitas lingkungan.
Di Indonesia, kegiatan budidaya ikan pernah mengalami permasalahan yang hebat di era 1980-an ketika terjadi wabah Aeromonas hidrophila yang menyerang ikan. Sedangkan budidaya udang mengalami goncangan yang dahsyat di saat berbagai penyakit melanda tambak-tambak di Jawa, Sumatera dan Sulawesi. Rangkaian kegagalan karena serangan penyakit di tahun 1995-an mengakibatkan sejumlah tambak di Jawa Tengah dan Jawa Timur tidak lagi dapat difungsikan untuk memelihara udang windu. Terakhir, serangan koi harves virus (KHV) yang menyerang golongan ikan mas pada tahun 2002 hingga 2004 lalu sempat menggoncangkan kegiatan perikanan Indonesia (Sunarto, 2005). Kerugian materi yang dialami oleh para pembudidaya ikan tawar tersebut sangat besar karena ikan mas termasuk ikan yang populer dan budidayanya tersebar luas di Indonesia (Taukhid dkk., 2005).
Permasalahan Lingkungan dalam Budidaya Perikanan
Kegiatan budidaya secara intensif di Indonesia mulai digalakkan pada tahun 1980-an. Upaya peningkatan produksi baik melalui peningkatan kepadatan ikan atau udang yang dibarengi dengan penerapan teknologi, dukungan sarana produksi serta pemberian pakan buatan secara intensif terus digalakkan. Dampak atas perkembangan tersebut dalah penurunan daya dukung lingkungan budidaya. Pembukaan lahan untuk budidaya tambak telah mengabaikan konsep ekosistem dan keseimbangan. Pembabatan hutan mangrove, yang merupakan green belt bagi ekosistem pantai dan tempat ikan memijah, marak dan tidak terkontrol. Kondisi tersebut mengakibatkan terjadinya berbagai permasalahan baik masalah abrasi daratan maupun gangguan atas keseimbangan ekosistem.
Akuakultur dengan penerapan sistem intensif, seperti budidaya udang windu (Penaeus monodon) di sebagian besar tambak wilayah pantura Jawa, beberapa tahun yang lalu telah menimbulkan masalah yang fatal. Timbunan bahan organik, dari sisa pakan, pupuk organik, dan ekskresi ikan atau udang, yang mengendap di dasar tambak apabila tidak dibarengi dengan sistem pengelolaan air yang baik akan memacu penurunan daya dukung tambak bagi kehidupan udang, khususnya algal bloom yang menyebabkan deplesi oksigen dan keracunan pada ikan. Penggunaan desinfektan dan antibiotik sebagai langkah pengobatan atas serangkaian wabah penyakit juga memunculkan masalah baru dalam dunia budidaya. Desinfektan, dengan sifatnya yang tidak spesifik, terkadang tidak hanya mematikan organisme sasaran. Aplikasi desinfektan pada dosis yang tidak tepat dapat mematikan biota lain yang pada hakekatnya turut menjaga keseimbangan ekosistem kolam atau tambak.
Dampak atas kerusakan ekosistem tambak dirasakan sangat menyusahkan bagi para petani udang windu di daerah Karawang, Indramayu, Tegal, dan wilayah lain baik di jawa maupun Sumatera. Tambak udang yang pada tahun 1980 – 1990 menjadi sandaran hidup dan sumber kemakmuran kini banyak yang terbengkelai. Usaha untuk menanam benih udang windu dengan padat tebar rendah serta penerapan sistem polikultur dengan ikan bandeng menjadi alternatif untuk memanfaatkan lahan tambak yang ada. Namun demikian permasalahan kematian udang umur 2 bulan (± 10 g) masih sering terjadi.

Penerapan antibiotik pada dosis rendah dalam kurun waktu yang panjang telah menciptakan resistensi patogen terhadap antibiotik tersebut dan berakibat pada wabah yang besar (Verschuere et al. 2002), sebagaimana yang melanda dunia perudangan Indonesia di era 1990-an. Perlu diketahui bahwa antibiotik adalah spesifik bagi pengendalian serangan penyakit bakterial saja, sehingga sebelum aplikasi antibiotik pada tambak yang terserang penyakit harus dipastikan terlebih dahulu mikroorganisme penyebabnya.
Probiotik dalam akuakultur Sampai saat ini pengendalian penyakit dalam kegiatan budidaya ikan atau udang di Indonesia masih mengandalkan pada penggunaan disinfektan dan antibiotik, meskipun tingkat keberhasilannya relatif kecil (Subasinghe, 1977 dalam Irianto, 2003). Penggunaan antibiotik yang tidak bijaksana telah meningkatkan kekhawatiran terhadap produk perikanan dan kesehatan manusia. Beberapa negara maju yang merupakan negara pengimpor produk perikanan Indonesia seperti Jepang dan Amerika Serikat telah secara tegas melarang masuknya produk perikanan yang mengandung residu antibiotik (Watson et al. 2008). Murdjani (2004) menyatakan bahwa di era globalisasi pemasaran produk ke pasar internasional harus memenuhi beberapa kriteria, di antaranya adalah tidak mengandung residu antibiotik, pestisida serta bahan kimia lain, seperti hormon. Hal tersebut merupakan sinyal bagi kita untuk secara bertahap meninggalkan penggunaan antibiotik menuju sistem pengendalian penyakit yang lebih ramah lingkungan dan kesehatan (Chytanya et al. 2002: Devaraja et al. 2002; Irianto & Austin 2002: Haryanti et al., 2003; Isnansetyo 2005; Muliani 2005; Susanto et al., 2005; Farzanfar 2006; Watson et al., 2008).
Probiotik menurut Fuller (1987) adalah produk yang tersusun oleh biakan mikroba atau pakan alami mikroskopik yang bersifat menguntungkan dan memberikan dampak bagi peningkatan keseimbangan mikroba saluran usus hewan inang. Sementara Gram et al. (1999) mendefinisikan probiotik sebagai segala bentuk pakan tambahan berupa sel mikroba hidup yang menguntungkan bagi hewan inangnya melalui cara menyeimbangkan kondisi mikrobiologis inang. Adapun Verschuere et al. (2000) dan Farzanfar (2006) mendefinisikan probiotik sebagai penambahan mikroba hidup yang memiliki pengaruh menguntungkan bagi inang melalui modifikasi bentuk asosiasi dengan inang atau komunitas mikroba lingkungan hidupnya.
Menurut Austin dan Austin (1999) dalam Irianto (2003) di antara strategi pengendalian penyakit pada budidaya perikanan yang banyak dilakukan dan memberikan hasil yang baik adalah melalui kontrol biologis, salah satunya adalah dengan aplikasi probiotik. Probiotik oleh (Fuller, 1987) didefinisikan sebagai produk yang tersusun oleh biakan mikroba atau pakan alami mikroskopik yang bersifat menguntungkan dan memberikan dampak bagi peningkatan keseimbangan mikroba saluran usus hewan inang. Sementara Gram et al. (1999) mendefinisikan probiotik sebagai segala bentuk pakan tambahan berupa sel mikroba hidup yang menguntungkan bagi hewan inangnya melalui cara menyeimbangkan kondisi mikrobiologis inang. Adapun Verschuere et al. (2000) mendefinisikan probiotik sebagai penambahan mikroba hidup yang memiliki pengaruh menguntungkan bagi inang melalui modifikasi bentuk asosiasi dengan inang atau komunitas mikroba lingkungan hidupnya, meningkatkan nilai nutrisi pakan, dan meningkatkan kualitas air.
Menurut Fuller (1989) dan Farzanfar (2006) agen biologis disebut probiotik yang baik apabila memenuhi karakter sebagai berikut : 1) menguntungkan inangnya, 2) mampu hidup walaupun tidak tumbuh di intestinum inang, 3) harus dapat hidup dan bermetabolisme di lingkungan usus, resisten pada suhu rendah dan asam organik 4) dapat disiapkan sebagai produk sel hidup dalam skala besar (industri), 5) dapat menjaga stabilitas dan sintasannya untuk waktu yang lama baik dalam penyimpanan maupun di lapangan, dan 6) tidak patogenik dan tidak menghasilkan senyawa toksik.
Jenis dan mekanisme kerja probiotik pada organisme akuatik Berbagai produk probiotik untuk aplikasi perikanan telah bayak dipasarkan dengan berbagai variasi penggunanya, namun secara mendasar model kerja probiotik dapat dikelompokkan menjadi tiga, yaitu :
1. Menekan populasi mikroba melalui kompetisi dengan memproduksi senyawa-senyawa antimikroba atau melalui kompetisi nutrisi dan tempat pelekatan di dinding intestinum.
2. Merubah metabolisma mikrobial dengan meningkatkan atau menurunkan aktifitas enzim pengurai (selulase, protease, amilase, dll)
3. Menstimulasi imunitas melalui peningkatan kadar antibody organisme akuatik atau aktivitas makrofag (Irianto, 2003).
Sementara itu, Thye (2005) menambahkan bahwa selain melalui mekanisme di atas probiotik dapat bekerja melalui mekanisme penguraian senyawa toksik yang berada di perairan seperti NH3, NO2, NO3, mengurai bahan organik, menekan populasi alga biru-hijau (blue-green algae) , memproduksi vitamin yang bermanfaat bagi inang, menetralisir senyawa toksik yang ada dalam makanan serta perlindungan secara fisik inang dari patogen. Sedangkan Fuller (1992) menyatakan bahwa probiotik dianggap menguntungkan karena menghambat kolonisasi intestinum oleh mikroba yang bersifat merugikan baik melalui mekanisme kompetisi nutrien maupun kompetisi ruang serta mampu memproduksi senyawa-senyawa yang bersifat antimikrobia. Probiotik bersifat menguntungkan bagi inangnya karena mampu memperbaiki nutrisi dengan memproduksi vitamin-vitamin, detoksikasi pangan maupun melalui aktivitas enzimatis.
Probiotik sebagai agen pengurai (bioremediation) merupakan kelompok mikroorganisme terpilih yang menguntungkan seperti Nitrosomonas, Cellumonas, Bacillus subtilis dan Nitrobacter. Dalam aplikasinya di dunia perikanan, probiotik sebagai agen pengurai dapat digunakan baik secara langsung dengan ditebarkan ke air atau melalui perantaraan makanan hidup (live food). Jadi melalui penambahan bakteri yang menguntungkan ke kolam atau bak pemeliharaan kualitas air dapat ditingkatkan. Penggunaan probiotik jenis ini telah lama diterapkan pada tambak-tambak pemeliharaan udang windu seperti super NB yang merupakan koloni bakteri Bacillus yang mampu menguraikan senyawa nitrit dan super PS yang merupakan koloni bakteri sulfur khemoototrof seperti bakteri Thiobacillus yang mampu menguraikan senyawa H2S yang bersifat toksik bagi udang. Moriarty (1998) menggunakan probiotik yang mengandung Bacillus spp. untuk tambak udang penaeid di Indonesia dengan tujuan untuk memperbaiki kualitas air melalui dekomposisi materi organik, menyeimbangkan komunitas mikroba serta menekan pertumbuhan patogen sehingga menyediakan lingkungan yang lebih baik bagi kehidupan udang. Melalui penggunaan probiotik selama 160 hari pemeliharaan ternyata kehidupan udang lebih baik sehingga dapat diperoleh panen lebih tinggi, sedangkan tambak yang tanpa aplikasi probiotik Bacillus spp. mengalami kegagalan karena serangan Vibrio luminesence.
Banyak senyawa-senyawa yang dihasilkan oleh mikroba memiliki aktivitas imunostimulan pada hewan akuatik, misalnya Lipo Poli Sakarida (LPS), peptidoglikan dan glukan. Penggunaan probiotik sebagai suplemen pakan ikan atau udang juga menunjukkan aktivitas imunostimulasi, paling tidak terlihat dari aktivitas lisozim yang mampu merusak dinding sel bakteri (Irianto, 2002). Hasil penelitian yang dilakukan oleh Widanarni (2004) menyatakan larva udang windu yang diberi pakan berupa artemia yang telah diperkaya dengan probiotik (bakteri Vibrio alginolyticus) pertumbuhannya mengalami peningkatan dibandingkan konrol yang tanpa pengkayaan. Dikatakan pula bahwa termasuk mekanisme kerja dari probiotik adalah melalui perlindungan tubuh larva sehingga bakteri V. harveyi tidak mampu melekatkan diri melekatkan diri ke tubuh udang.
Di Negara-negara maju, penggunaan probiotik pada budidaya perikanan telah berkembang cukup lama. Produk-produk probiotik yang ditawarkan juga bermacam-macam baik merk dagang maupun spesifikasi kegunaannya, di antaranya Aqualact, Probe-la, Lacto-sacc Epicin, Biogreen, Environ, Wunopuo-15, dan Epizyme. Di Indonesia penggunaan probiotik pada komoditas komersial seperti udang windu juga telah dimulai belasan tahun yang lalu. Beberapa produk probiotik yang beredar di pasaran, seperti Actizyme yang mampu meningkatkan nilai nutrisi pakan, Aqua-10 Dry, Aqua Simba dan EM4 (Effective Microorganisme -4 ) yang berguna untuk memperbaiki kualitas air pemeliharaan, juga telah banyak digunakan oleh para petambak udang.
Di samping mikroorganisme dari golongan bakteri, ternyata beberapa jenis mikroorganisme dari golongan yeast dan mikro algae juga dapat digunakan sebagai bahan probiotik dalam akuakultur. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa Sacharomices cerevicae (Yeast) mampu meningkatkan tingkat kekebalan juvenil udang penaeid sehingga pertumbuhan dan sintasan yang diperoleh lebih baik (Scholz et al., 1999 dalam Thye, 2005). Sedangkan Austin et al. (1992) menyatakan bahwa Tetraselmis sp. yang merupakan golongan mikro algae mampu menekan insidensi penyakit bakteria karena alga ini memiliki kemampuan menghasilkan senyawa antimikroba.
METODE PRAKTIS MEMILIH DAN APLIKASI PROBIOTIK
Aplikasi probiotik yang tidak tepat jenis dan prosedur penggunaan berdampak pada tidak tercapainya tujuan penggunaan probiotik tersebut. Keluhan konsumen yang menyatakan bahwa beberapa produk probiotik komersial tidak efektif sebagaimana klaim yang produsen nyatakan pada kemasan produk sudah bukan hal aneh. Hal tersebut disebabkan oleh beberapa faktor, di antaranya adalah menurunnya kelangsungan hidup (viability) dan kemampuan mikroorganisme penyusun produk probiotik selama waktu penyimpanan; kurang sesuainya lingkungan fisika-kimia kolam atau tambak bagi mikroorganisme probiotik komersial; dan dosis dan waktu aplikasi yang kurang tepat. Oleh karena itu, beberapa hal mengenai produk probiotik harus diketahui dengan benar sebelum kita memilih produk tersebut.
Bagaimana memperoleh probiotik yang tepat?
Efektivitas penggunaan bakteri probiotik untuk mengendalikan mikroorganisme patogen sangat dipengaruhi oleh jenis bakteri yang digunakan (Moriarty 1999; Verschuere et al. 2000; Suprapto 2005). Hal tersebut, karena kehidupan bakteri sangat dipengaruhi oleh lingkungan. Populasi bakteri pada lingkungan dengan kandungan nutrien dan fisika-kimia berbeda, secara umum akan berbeda pula (Madigan et al. 1997; Maier et al. 2000). Kriteria lain yang harus dipenuhi untuk menjadikan mikroorganisme tertentu sebagai probiotik adalah kepastian bahwa mikroorganisme tersebut tidak patogenik dan menghasilkan senyawa yang bersifat toksik bagi hewan yang dipeliharan (Fuller, 1989; Farzanfar, 2006). Oleh karena itu, beberapa bakteri indigenos dari saluran pencernaan ikan peliharaan dan air media pemeliharaan yang sudah melalui serangkaian uji dan skriining lebih berpotensi sebagai biokontrol terhadap populasi bakteri, meningkatkan digesbility terhadap pakan, dan agen bioremediasi dibandingkan strain atau produk probiotik komersial yang diperoleh dari habitat dengan karakteristik fisika-kimia berbeda. Mikroorganisme indigenous tersebut akan lebih mampu beradaptasi dengan lingkungan budidaya yang relatif sama dengan lingkungan tempat isolat diambil (Isnansetyo 2005). Namun demikian, untuk mendapatkan isolat mikroorganisme yang dapat dijadikan sebagai probiotik, disebut probion, bukanlah pekerjaan yang mudah dan dapat dikerjakan dalam waktu singkat. Dukungan tenaga ahli, khususnya yang memahami bidang mikrobiologi, peralatan laboratorium yang memadai, dan biaya yang cukup besar merupakan faktor yang harus dipenuhi.
Upaya isolasi dan seleksi mikroorganisme probiotik untuk peningkatan efisiensi pakan juga telah dilakukan oleh Feliatra et al. (2004), yaitu telah menemukan kandidat probiotik untuk meningkatkan efisiensi pakan pada ikan kerapu macan, diantaranya adalah Lactococcus sp., Bacillus sp. Pseudomonas sp, Lactobacillus sp., Micrococcus sp. Sementara itu, Widiyanto (2006) telah mendapatkan bakteri probiotik agen bioremediasi pada tambak udang windu, yang terdiri dari Pseudomonas stutzeri dan Alcaligenes sp. Sedangkan PPAU Ilmu Hayati ITB Bandung telah meluncurkan produk probiotik komersial dengan merk dagang Aqua-SIMBA yang dapat digunakan untuk memperbaiki kualitas perairan tambak dengan meningkatkan oksidasi perairan (PPAU Ilmu Hayati ITB, 2003).
Probiotik komersial yang beredar di pasaran jumlahnya cukup banyak, lebih dari 20 merek dagang. Kecermatan dalam memilih produk tersebut akan lebih menjamin tercapainya tujuan penggunaan probiotik. Dikarenakan mikroorganisme sangat sensitif terhadap perubahan lingkungan, dan viabilitas serta kemampuan mikroorganisme mudah menurun selama transportasi dan penyimpanan, maka probiotik produk lokal Indonesia akan lebih sesuai digunakan dibandingkan produk luar, terlebih dari negara dengan iklim yang berbeda, seperti Amerika dan Eropa. Untuk lebih menjamin keberhasilan maka konsultasi kepada laboratorium mikrobiologi di perguruan tinggi atau lembaga riset mengenai komposisi mikroorganisme penyusun produk probiotik perlu dilakukan. Hal tersebut dikarenakan probiotik yang tersusun atas beberapa strain (consortium) mikroorganisme tidak akan efektif bekerja apabila salah satu strain tidak dapat tumbuh dan berkembang dalam lingkungan aplikasi.
Aplikasi probiotik Ketepatan dosis dan waktu aplikasi sangat menentukan keberhasilan penggunaan probiotik. Metode aplikasi probiotik dapat dilakukan secara langsung dengan menebar dalam media pemeliharaan ikan, perendaman, melalui pakan buatan, dan melalui pakan alami, seperti artemia dan rotifer
PENUTUP
Intensifikasi dalam budidaya perikanan akan berakibat pada penurunan kualitas lingkungan yang dibarengi munculnya wabah penyakit. Untuk mengatasi tingkat penurunan kualitas lingkungan yang drastis maka sistem budidaya yang ramah lingkungan seperti aplikasi probiotik harus lebih digalakkan. Dengan berbagai keuntungan yang ditimbulkan maka probiotik merupakan salah satu jawaban untuk menuju terciptanya sistem budidaya perikanan yang produktif dan berkelanjutan (Sustainable aquaculture).
Memasuki era pasar bebas isu lingkungan menjadi salah satu perhatian dunia. Untuk menjamin lolosnya produk-produk perikanan kita ke pasar ekspor maka untuk memenuhi standar kesehatan dan keselamatan pangan (food safety) serta kelestarian lingkungan sistem budidaya yang ramah lingkungn harus digalakkan. Permasalahan menurunnya kualitas air yang diikuti oleh munculnya berbagai serangan penyakit sudah lazim terjadi pada dunia perikanan. Untuk menuju sistem budidaya yang berkelanjutan dan kompetitif pasar maka langkah pengendalian penyakit yang ramah lingkungan seperti lewat aplikasi probiotik harus lebih tingkatkan.

Daftar Pustaka

Atlas, R.M. & R. Bartha. 1998. Microbial ecology. 4th ed. Benjamin/Cummings Publishing Company, Inc., California: x + 675 hlm.

Barnabe, G. (1994). Aquaculture, biology and ecology of culture species. Ellis Horwood, New York.

Devaraja, T.N., F.M. Yusoff & M. Shariff. 2002. Changes in bacterial populations and shrimp production in ponds treated with commercial microbial product. Aquaculture 206: 245–256.

FAO, 1997. Aquaculture Production Statistics 1986 – 1995. FAO Fisheries Circular 815, Review 9 FAO, Rome.

Farzanfar, A. The use of probiotics in shrimp aquaculture. 2006. FEMS Immunoligy Medical Microbiology 48: 149–158.

Fuller, R. 1989. A review, Probiotics in man and animals. Journal of Applied Bacteriology 66 : 365 – 378

Gatesoupe, F.J. 1999. The use of probiotic in aquaculture. Aquaculture. 180: 147-165.

Gram, L., Melchiorsen, J Lovold, T., Nielsen, J.,. and Spanggaard B, 1999. Inhibition of Vibrio anguillarum by Pseudomonas fluoroscens AH2, a possible probiotic treatment of fish. Applied and Environmental Microbiology 65: 969 – 973.

Hisbi, D. 2006. Possible probiotic Vibrio bacteria for growth of Macrobrachium rosenbergii larvae rearing. Aquacultura Indonesiana 7(2): 77 –83.

Irianto, A. 2003. Probiotik Akuakultur. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. 125 hal.

10.Isnansetyo. A. 2005. Bakteri antagonis sebagai probiotik untuk pengendalian hayati pada akuakultur. Jurnal Perikanan 7(1): 1

Lante, S. & Haryanti. 2006. Aplikasi probiotik pada budidaya udang windu. Aquacultura Indonesiana 7(3): 145-155.

Madigan, M.T., J.M. Martinko & J. Parker. 1997. Brock biology of microorganism 9th ed. Englewood Cliff: Prentice Hall International, Inc. London: xv iii+ 986 hlm.

Maier, R., I.L. Pepper & C.P. Gerba. 2000. Environmental Microbiology. Academic Press, San Diego: xix + 570 hlm.

Moriarty, D.J.W. 1999. Disease control in shrimp aquaculture with probiotic bacteria. Proceeding of the 8th International Symposium on Microbial Ecology, Atlantic Canada Society for Microbial Ecology, Halifax: 7 hlm.

Muliani, Nurhidayah & M. Atmomarsono. 2005. Karakterisasi, analisis gen 16S-rRNA bakteri BL542 dan evaluasi efek bakterisidanya terhadap Vibrio harveyi penyebab penyakit pada udang windu (Penaeus monodon). Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia 11(1): 59–69.

Murdjani, M. 2004. Problem solving penyakit di pembenihan udang. Buku Panduan. Seminar Nasional Udang I. Temu Nasional I. Masyarakat Akuakultur Indonesia. Jakarta. 11 pp.

PPAU Ilmu Hayati ITB. 2003. Mikroba probiotik: Penunjang agribisnis dan penyelamatan lingkungan. 3 hlm. www. Digilib. Itb.ac.id. 17 Nopember 2006 pk. 06.30.

Sunarto A. 2005. Epidemiologi penyakit koi herpes virus (KHV) di Indonesia dalam Supriyadi H. and B. Priono. 2005. Strategi Pengelolaan dan Pengendalian Penyakit KHV Suatu Upaya Pemecahan dalam Pembudidayaan Ikan Air Tawar. Serial Bunga Rampai. Pusat Riset Perikanan Budidaya. Badan Riset Kelautan dan Perikanan. Departemen Kelautan dan Perikanan. Hal. 31 – 40.

Suprapto, H. 2005. Penelitian pendahuluan penggunaan Bacillus sp. sebagai probiotik untuk mengurangi jumlah bakteri Vibrio sp. pada hepatopankreas dan air pemeliharaan udang windu (Penaeus monodon). Jurnal Perikanan 7(1): 54–59.

Susanto, B., I. Setyadi, D. Syahidah, M. Marzuqi & I. Rusdi. 2005. Penggunaan bakteri probiotik sebagai biokontrol biologi dalam produksi massal benih rajungan (Portunus pelagicus). Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia 11(1): 15–23.

Taukhid, T. Sumiati and I. Koesharyani. 2005. Pengaruh suhu air dan total bahan organic terlarut terhadap patogenisitas koi herpes virus pada ikan mas (Cyprinus carpio) dalam Supriyadi H. and B. Priono. 2005. Strategi Pengelolaan dan Pengendalian Penyakit KHV Suatu Upaya Pemecahan dalam Pembudidayaan Ikan Air Tawar. Serial Bunga Rampai. Pusat Riset Perikanan Budidaya. Badan Riset Kelautan dan Perikanan. Departemen Kelautan dan Perikanan. Hal. 83 – 94.

Thye, C. T. 2005. Probiotik dalam ternakan udang. Hatchery Management Cource. Malaysian Technical Cooperation Programme. Pusat Pengeluaran & Penyelidikan Benih Udang Kebangsaan Malaysia. 15 p.

Verschuere. L., Rombaut, G. Sorgeloos, P. and Verstraete, W., 2000. Probiotic bacteria as biological control agents in aquacuture. Microbiology and Molecular Biology revie 64: 655 – 671.
Watson, A. K., H. Kaspar, M. J. Lategan & L. Gibson. 2008. Probiotics in aquaculture: The need, principles and mechanisms of action and screening processes. Aquaculture 274: 1 –14.

Widanarti, 2004. Penapisan Bakteri Probiotik untuk Biokontrol Vibriosis pada Larva Udang Windu: Konstruksi Penanda Molekuler dan Esei Pelekatan. .Disertasi. Institut Peranian Bogor. 268 hal.


Kamis, 17 Desember 2009

Budidaya Ikan Patin

Dalam budidaya ikan patin baik sistem karamba maupun fence terdapat 3 sub sistem pemeliharaan, yaitu pembenihan, pendederan dan pembesaran. Pembenihan adalah kegiatan pemeliharaan induk untuk menghasilkan telur sampai dengan larva. Pendederan adalah kegiatan pemeliharaan ikan patin ukuran tertentu dari hasil pembenihan sebagai transito sebelum dipelihara di tempat pembesaran. Pembesaran adalah pemeliharaan ikan patin ukuran tertentu dari hasil pendederan sampai menghasilkan ikan ukuran konsumsi.
Dalam usaha budidaya ikan patin persyaratan lokasi yang harus dipenuhi untuk mencapai produksi yang menguntungkan meliputi sumber air, kualitas air dan tanah serta kuantitas air. Kriteria persyaratan tersebut berbeda tergantung daripada sistem budidaya yang digunakan. Sebelum menetapkan lokasi usaha, selain harus memenuhi persyaratan tersebut perlu pula dipastikan kelayakan lokasi budidaya ditinjau dari segi gangguan alam, gangguan pencemaran, gangguan predator, gangguan keamanan dan gangguan lalu lintas angkutan air. Uraian berikut adalah persyaratan lokasi yang perlu diperhatikan menurut Khairuman, Amd dan Ir. Dodi Sudenda (Budidaya Patin Secara Intensif, 2002)
a. Persyaratan lokasi budidaya di kolam
Sumber air :
Sumber air dapat berasal dari saluran irigasi teknis, sungai atau air tanah yang berasal dari sumur biasa atau pompa. Pembesaran ikan patin tidak memerlukan sumber air yang senantiasa mengalir sepanjang waktu, namun untuk pembenihan kondisi airnya harus bersih.
Kualitas air :
Kualitas air yang kurang baik dapat menyebabkan ikan mudah terserang penyakit. Kualitas air meliputi sifat kimia air dan sifat fisika air. Sifat kimia air adalah kandungan oksigen (O2), karbondioksida (CO2), pH, zat-zat beracun dan kekeruhan air. Sedangkan sifat fisika air adalah suhu, kekeruhan dan warna. Ikan patin termasuk salah satu jenis ikan yang tahan terhadap kekurangan oksigen di dalam air dan apabila air kekurangan oksigen ikan patin dapat mengambil oksigen dari udara. Pada usaha budidaya intensif kandungan oksigen yang diperlukan adalah minimal 4 mg/liter air, sedangkan kandungan karbondioksida kurang dari 5 mg/liter air. Alat yang digunakan untuk mengukur kandungan oksigen dan karbondioksida adalah water quality test kit atau alat pengukur kualitas air. Nilai pH (puisanche of the H) yang normal bagi kehidupan ikan patin adalah 7 (skala pH 1-14), namun karena pH air meningkat pada siang hari dan menurun pada malam hari akibat berlangsungnya fotosintesa maka derajat keasaman yang baik untuk ikan patin adalah antara 5-9.
Alat yang digunakan untuk mengukur keasaman air adalah kertas lakmus. Zat beracun yang berbahaya bagi kehidupan ikan patin adalah amoniak, yaitu amoniak bukan ion (NH3) dan amonium (NH4) yang biasanya muncul apabila fitoplankton banyak yang mati yang diikuti dengan penurunan pH karena kandungan karbondioksida meningkat. Batas konsentrasi kandungan amoniak yang dapat mematikan kehidupan ikan patin adalah antara 0,1-0,3 mg/liter air. Kekeruhan dapat mempengaruhi cahaya matahari yang masuk ke dalam air. Kekeruhan disebabkan karena berbagai partikel seperti lumpur, bahan organik, sampah atau plankton. Kekeruhan yang baik adalah disebabkan oleh plankton. Alat yang digunakan untuk mengukur kekeruhan air adalah sechi disk. Kategori kekeruhan air adalah sebagai berikut :
Kedalaman air (cm) Kesimpulan
1. 1 – 25 Air keruh, dapat disebabkan oleh plankton dan partikel tanah
>
2. 25 – 50 Optimal (plankton cukup)
3. 50 Jernih (plankton sedikit)
Kuantitas air :
Debit air yang dibutuhkan untuk pemeliharaan ikan patin berbeda-beda untuk budidaya pembenihan, pendederan dan pembesaran. Pengetahuan tentang debit air akan memberikan keuntungan karena dapat mengoptimalkan penggunaan air. Ada 2 cara pengukuran debit air, yaitu secara langsung dengan meletakkan ember di pintu air yang masuk dan secara tidak langsung pada saluran air yang masuk ke kompleks perkolaman. Rumus pengukuran debit air secara langsung adalah volume air dibagi waktu (menit/detik), sedangkan secara tidak langsung adalah (lebar saluran x kedalaman air x panjang saluran) dibagi waktu.
Tanah
Tanah yang cocok untuk budidaya ikan patin adalah tanah liat atau lempung berpasir dan tidak poreus. Jenis tanah ini dapat menahan massa air yang besar dan tidak bocor sehingga dapat dibuat dinding kolam atau pematang. Jenis tanah lain yang juga cocok untuk pemeliharaan ikan patin adalah tanah terapan, tanah berfraksi kasar dan tanah berpasir.
b. Persyaratan lokasi budidaya karamba dan fence
Budidaya ikan patin sistem karamba dapat dilakukan di danau, situ, atau sungai dengan mempertimbangkan faktor teknis dan sosial ekonomi. Penempatan karamba di perairan umum dianjurkan di jalur arus horizontal, di daerah muara, karena pasokan air cukup dan kandungan oksigen terlarut juga tinggi. Selain itu pergerakan air dapat membantu menghanyutkan sisa-sisa kotoran dan bahan organik. Penempatan fence sebaiknya di rawa-rawa atau pinggir sungai. Penempatan karamba dan fence di perairan luas dan terbuka sebaiknya dihindari, karena pengaruh gelombang dan tiupan angin kencang dapat mengancam keamanannya. Kedalaman karamba atau fence pada air yang mengalir minimal 3 meter dan pada air yang tidak mengalir minimal 5 meter.

c. Gangguan alam
Masalah yang mengancam budidaya ikan patin di karamba jaring apung dan fence adalah terjadinya umbalan air, berupa naiknya massa air dari dasar ke permukaan secara tiba-tiba. Hal ini terjadi pada awal musim hujan saat terjadi penurunan suhu secara mendadak pada lapisan permukaan akibat hujan deras yang terjadi secara tiba-tiba. Hal ini tidak berpengaruh terlalu buruk pada air yang jernih, sedangkan pada perairan yang dasarnya kotor tercemar limbah (termasuk limbah pakan ikan) dapat mengancam kehidupan ikan. Massa air yang naik ke permukaan akan membawa senyawa-senyawa beracun yang membahayakan kehidupan ikan, misalnya yang terjadi di waduk Cirata dan Saguling beberapa tahun yang lalu. Gangguan alam lainnya adalah berkurangnya debit air pada musim kemarau yang biasanya terjadi setiap tahun pada bulan Juli sampai dengan Oktober. Penyimpangan musim kemarau biasanya terjadi setiap 5 tahun sekali.
d. Gangguan pencemaran
Lokasi budidaya ikan patin di sungai dan rawa sangat rawan terhadap pencemaran air yang terutama muncul pada puncak musim kemarau dan awal musim penghujan. Pencemaran dapat terjadi karena :
• Proses pembusukan akar-akar/tumbuhan yang menyebabkan air cenderung bersifat asam dan biasanya terjadi di daerah rawa pada awal musim hujan.
• Pencemaran bahan-bahan kimia dan energi dari limbah pabrik serta lahan pertanian.
• Pencemaran oleh limbah domestik/rumah tangga.
e. Gangguan predator
Oleh karena pembesaran ikan patin dilakukan di alam terbuka maka kemungkinan besar terjadi serangan hama atau predator. Hama atau predator yang sering menyerang ikan patin adalah linsang (sero), biawak, ular air, kura-kura dan burung. Cara pemberantasan yang efektif adalah dengan membunuh, memasang perangkap, memasang umpan beracun dan membersihkan areal pemeliharaan dari rumput atau semak yang menjadi sarang predator.
f. Gangguan keamanan
Gangguan keamanan pada lokasi perlu di perhitungkan dengan menempatkan penjaga, terutama pada malam hari. Untuk itu maka di lokasi budidaya sistem fence perlu dibuat pondok-pondok untuk tempat berlindung bagi penjaga, sedangkan pada budidaya sistem karamba perlu dibuat pintu-pintu penutup dengan gembok pada bagian atas sekaligus juga berfungsi sebagai lobang tempat pemberian pakan.
g. Gangguan lalu lintas angkutan air
Jika lokasi karamba dan fence adalah di sungai yang merupakan jalur angkutan air maka karamba atau fence harus ditempatkan di pinggir sungai, sehingga tidak mengganggu jalur transportasi. Konstruksi karamba atau fence harus dibuat cukup kuat agar tidak terganggu oleh ombak dan arus yang ditimbulkan oleh lalu lintas transportasi air.
KONSTRUKSI KERAMBA
Karamba yang siap digunakan belum tersedia di pasaran, namun bahan-bahan pembuatan karamba cukup banyak tersedia di sekitar lokasi. Bahan-bahan yang diperlukan untuk pembuatan karamba terdiri dari balok kayu dan bambu. Balok kayu berfungsi sebagai rangka dan bambu sebagai dinding dan penutup yang diikatkan dengan tali nilon pada rangka kayu. Bentuk karamba adalah kotak segi empat yang pada bagian bawahnya terbuka dengan ukuran panjang 4 meter, lebar 2 meter dan tinggi 1,5 meter. Penempatan karamba adalah 2/3 di dalam air dan 1/3 diatas permukaan air. Pada bagian tengah penutup karamba dibuat lubang terbuka berukuran 0,5 x 0,5 meter yang berfungsi sebagai tempat pemberian pakan dan pengontrolan ikan.
Di bagian dalam karamba dimasukkan jaring yang diikat pada dinding karamba, sebagai wadah penampung ikan patin yang dipelihara. Ukuran mata jaringnya lebih kecil dari ukuran benih ikan patin yang ditebar. Jaring ukuran tersebut sudah tersedia dan mudah dibeli di pasaran.
Karamba ditempatkan di pinggir sungai secara berkelompok dan setiap kelompok terdapat 20 – 40 karamba. Penempatannya secara berpasangan dan diantara pasangan karamba ditempatkan bambu bulat yang berfungsi sebagai tempat pengikat, sekaligus sebagai pelampung karamba. Di antara tiap karamba dibuat jalan penghubung dari papan kayu. Kedua ujung bambu tersebut di ikat pada tiang yang ditancapkan kedasar sungai sebagai penahan agar karamba tidak terbawa arus air sungai. Untuk setiap kelompok, diatas bambu pelampung dibuat pondok ukuran 1,5 x 1,5 x 1,5 meter sebagai tempat berteduh bagi petugas yang jaga di malam hari. Rangka pondok terbuat dari bambu dan kayu, lantai dari bambu dan atap dari daun rumbia atau nipah.
KONSTRUKSI FENCE
Fence dalam bahasa Inggris berarti pagar; jadi sistem fence adalah budidaya ikan patin dalam suatu tempat yang sekelilingnya di batasi dengan pagar. Ukuran luas satu unit adalah lebar 5 meter, panjang 10 – 12 meter dan tinggi 5 meter. Konstruksi fence terdiri dari pagar keliling, pondok (rumah jaga) dan perahu. Sistem fence yang telah siap pakai belum tersedia di pasaran, sehingga harus dirancang dan dibuat sendiri, kecuali anyaman bambu untuk pagar dan perahu.
Bahan-bahan yang diperlukan untuk membuat pagar biasanya tersedia di sekitar lokasi, yaitu bambu bulat ukuran panjang 11 meter; bambu anyaman yang terdiri dari 2 macam ukuran yaitu ukuran panjang 5 meter dan tinggi 3 – 4 meter dan ukuran panjang 5 meter dan tinggi 1,5 – 2 meter; kayu pelawan ukuran panjang 6 – 7 meter dan tali nilon ukuran 4 mm atau tali plastik (trapping band). Kayu pelawan berfungsi sebagai tiang yang ditancapkan ke dalam dasar sungai dengan jarak antara 30 – 50 cm, bambu anyaman ukuran 5 x 3 meter berfungsi sebagai pagar bagian bawah (dalam air) dan bambu ukuran 5 x 2 meter berfungsi sebagai pagar bagian atas yang diikat dengan nilon atau tali plastik pada masing-masing tiang pancang. Rancangan tinggi pagar harus memperhitungkan tinggi air pada musim hujan, untuk menghindari kemungkinan air di dalam fence melebihi tinggi pagar. Apabila banjir, bambu anyaman bagian atas dapat ditambah lagi.
Untuk setiap unit fence, di atasnya dibuat pondok (rumah jaga) berukuran 1,5 x 1,5 meter, tempat berlindung orang atau petugas pada waktu jaga di malam hari. Rangka pondok terbuat dari bambu dan kayu, lantai dan dindingnya terbuat dari bambu atau papan dan atap dari rumbia atau daun nipah. Selain pondok, dibuatkan jembatan dari bambu sebagai jalan penghubung untuk mengontrol atau memberi makan ikan. Setiap unit fence dilengkapi perahu terbuat dari kayu sebagai alat transportasi orang dan pakan.
PENYEDIAAN BENIH
Ikan patin termasuk salah satu jenis ikan yang sulit dipijahkan secara alami, karena sulit menciptakan atau memanipulasi lingkungan yang sesuai dengan habitat aslinya. Karena itu untuk produksi benih dilakukan pemijahan buatan atau induce breeding (kawin suntik) dengan menggunakan kelenjar hipofisa ikan mas atau hormon gonadotropin yang di impor dengan nama dagang Ovaprim. Jenis ikan patin yang dipijahkan secara kawin suntik adalah Pangasius hypopthalmus, dan ikan patin lokal (Pangasius djambal) baru dimulai pada tahun 2000.
PEMELIHARAAN
Sebagaimana telah dijelaskan pada awal Bab ini, tahapan kegiatan dalam budidaya ikan patin meliputi pembenihan, pendederan dan pembesaran. Pada sistem karamba lazimnya hanya dilakukan pembesaran, sementara pada sistem fence pembudidaya juga melakukan pendederan.
Sistem Fence.
(1). Pendederan
Pendederan dilakukan di dalam fence dengan menggunakan jaring hapa yang berukuran halus atau yang biasa digunakan sebagai tempat penetasan telur pada pembenihan ikan mas. Keuntungan yang diperoleh jika penebaran benih dilakukan dalam jaring antara lain dapat menghindari serangan hama sehingga mortalitasnya rendah; mudah mengontrol dan memberi pakan; dan mudah memanen hasilnya. Ukuran mata jaring harus disesuaikan dengan ukuran benih patin yang ditebarkan untuk menghindari lolosnya benih patin dari dalam jaring. Ukuran mata jaring yang umum digunakan adalah 3 x 3,5 x 0,75 cm.
Jaring harus bersih dan tidak sobek. Jaring dipasang di pinggir fence dan setiap sudut jaring diikatkan ke bambu atau kayu sebagai penahan sehingga posisi jaring tetap. Ketinggian air didalam jaring berkisar antara 50 – 75 cm. Penebaran benih dilakukan pada pagi atau sore hari saat suhu masih rendah. Agar benih yang ditebar tidak mengalami stres, penebaran dilakukan dengan aklimatisasi, yaitu melakukan penyesuaian suhu air di wadah pengangkutan terhadap suhu air di dalam jaring dengan cara menambahkan atau mencampur air di dalam wadah pengangkutan dengan air dalam jaring sedikit demi sedikit. Benih-benih patin yang ditebar dibiarkan keluar dengan sendirinya. Padat penebaran adalah antara 75 – 100 ekor/m3 air.
Selama pendederan benih diberi pakan tambahan karena benih patin berada dalam wadah yang terbatas sehingga tidak mungkin mendapat makanan alami. Makanan tambahan diberikan dalam bentuk tepung sebanyak 3 – 5% dari berat total patin yang didederkan. Pemberian pakan diberikan pada pagi, siang, sore dan malam hari. Lama pendederan sekitar satu bulan atau disesuaikan dengan kebutuhan atau ukuran untuk pembesaran. Mortalitas selama pendederan adalah sekitar 15%- 20% dari total benih yang didederkan.
Benih sudah dapat dilepaskan ke tempat pembesaran setelah mencapai ukuran untuk pembesaran atau berumur satu bulan. Pemanenan dilakukan dengan mengangkat ketiga sudut bagian bawah jaring secara perlahan-lahan. Benih akan terkumpul di sudut yang lain, kemudian benih di tangkap dengan menggunakan alat tangkap halus berupa scop net dan selanjutnya ditampung sementara di tempat penampungan atau langsung ditebar ke tempat pembesaran.
(2). Penebaran benih untuk pembesaran
Padat penebaran merupakan hal penting yang harus diperhatikan pada saat menebarkan benih. Jika padat penebaran tinggi, dikhawatirkan terjadi kanibalisme terhadap ikan-ikan yang lebih lemah. Selain itu, ikan menjadi rentan terhadap penyakit akibat luka yang disebabkan oleh senggolan antar ikan atau senggolan dengan dinding karamba. Padat penebaran juga harus memperhatikan keterkaitan antara jumlah ikan yang ditebar dengan daya tampung optimal dari tempat pembesaran. Sebagai pedoman, jumlah ikan yang akan ditebar dapat menggunakan rumus sebagai berikut :
PPI = (BTP) : (BRP x BRT), dimana
PPI = Padat penebaran ikan (kg/m3)
BTP = Berat total panen (kg/m3)
BRP = Berat rata-rata produksi akhir (kg/ekor)
BRT = Berat rata-rata penebaran (kg/ekor)
Penebaran benih ikan patin di sistem fence dapat dilakukan secara langsung dengan membiarkan benih keluar dari jaring apung dengan sendirinya, tanpa aklimatisasi karena jaring pendederan di tempatkan dalam fence. Padat penebaran benih menggunakan rumus sebagaimana dijelaskan di atas.
Sistem Karamba
Pada budidaya sistem karamba hanya dilakukan pembesaran, tanpa pendederan. Oleh karena itu pada buku ini tidak dijelaskan mengenai cara pendederan pada sistem karamba.
Pada tahap pembesaran, ukuran benih yang ditebar di karamba minimal telah mencapai berat 50 gr per ekor atau panjang 2,5 – 3,5 inci. Benih yang ditebar sebaiknya memiliki ukuran yang sama dan seumur. Jika ada yang lebih besar atau lebih tua umurnya dikhawatirkan akan mendominasi benih lainnya, baik dalam persaingan hidup maupun persaingan mendapat makanan. Padat penebaran benih yang disarankan adalah sekitar 5 kg/m2. Padat penebaran sebanyak itu akan menghasilkan panen sekitar 30 – 40 kg/m2.
Agar ikan patin yang ditebar di karamba jaring apung tidak mengalami stress, penebaran benih patin sebaiknya dilakukan pada pagi atau sore hari saat suhu masih rendah. Penebaran dilakukan dengan aklimatisasi yaitu benih patin yang berada dalam kantong plastik pengangkutan di biarkan mengapung diatas air selama 5 – 10 menit. Selanjutnya kantong plastik dibuka dan ditambahkan air dari karamba jaring apung sedikit demi sedikit kedalam kantong sampai kondisi air di dalam kantong sama dengan kondisi air di dalam karamba jaring apung. Proses aklimatisasi ini selesai jika ikan patin di dalam kantong plastik keluar dengan sendirinya ke karamba.
PAKAN DAN PEMBERIAN PAKAN
Pakan harus mendapat perhatian yang serius karena pakan sangat berpengaruh terhadap pertumbuhan berat ikan dan merupakan bagian terbesar dari biaya operasional dalam pembesaran ikan patin. Berdasarkan hasil penelitian para ahli perikanan, untuk mempercepat pertumbuhan ikan selama pembesaran, setiap hari ikan patin perlu diberikan makanan tambahan berupa pelet sebanyak 3 – 5% dari berat total tubuhnya. Pemberian pakan dilakukan secara bertahap sebanyak empat kali yaitu, pagi, siang, sore dan malam hari. Porsi pemberian pakan pada malam hari sebaiknya lebih banyak daripada pagi, siang dan sore hari, karena ikan patin lebih aktif pada malam hari.
Namun berdasarkan hasil wawancara dengan pembudidaya ikan patin di kabupaten OKI, terdapat perbedaan antara hasil penelitian tersebut dengan pemberian pakan yang dilakukan baik dalam hal jenis, jumlah dan saat pemberian pakan selama pembesaran. Pemberian pakan pada sistem karamba dan fence yang dilakukan di kabupaten OKI adalah sebagai berikut :
- Sistem Karamba :
Pemberian pakan berupa pelet buatan pabrik pada sistem karamba dilakukan sejak benih ditebar sampai saat ikan dipanen dengan jumlah pakan disesuaikan dengan umur ikan. Pemberian pakan dilakukan hanya satu kali pada sore hari. Dengan padat penebaran 1.250 ekor per karamba, pakan yang diberikan pada benih berumur 1-2 bulan adalah sebanyak 30 kg per bulan dan pada umur 3-6 bulan sebanyak 300 kg per bulan.
- Sistem fence :
Pemberian pakan berupa pelet buatan pabrik pada sistem fence dilakukan sejak benih ditebar di transito sampai benih berumur 2 bulan. Pada umur ikan 3 bulan pemberian pakan berupa pelet buatan pabrik ditambah dengan pakan ramuan sendiri. Dosis pakan per 12.500 ekor penebaran pada bulan pertama adalah 50 kg, pada bulan kedua 150 kg dan pada bulan ketiga 300 kg. Setelah umur ikan lebih dari 3 bulan pakan yang diberikan hanya pakan ramuan sendiri. Bahan baku untuk pembuatan pakan ramuan sendiri mudah diperoleh dan banyak terdapat di sekitar lokasi pembesaran ikan. Pembuatan pakan buatan sendiri dilakukan setiap pagi dan pemberian pakan dilakukan sekali sehari pada sore hari. Ada dua cara pembuatan pakan ramuan sendiri, yaitu :
(a). Pakan rebus :
Bahan baku pembuatan pakan rebus terdiri atas ikan asin kualitas rendah (below standard = BS), tepung katul dan dedak halus Adapun peralatan yang digunakan untuk pembuatan pakan adalah wadah dari tong (ukuran setengah drum), kompor pompa minyak tanah dan tungku masak. Cara membuatnya adalah sebagai berikut. Campuran bahan diramu di dalam tong dan ditambah air bersih, diaduk sampai rata dan direbus selama 2 jam, kemudian didinginkan. Setelah dingin, pakan yang masih diwadahi dalam tong atau dimasukkan kedalam karung plastik diangkut dengan perahu ke lokasi fence. Pemberian pakan dilakukan sekali dalam sehari pada sore hari dengan cara pakan dikepalkan dalam genggaman kemudian disebarkan di seluruh permukaan air. Menurut keterangan pembudidaya pemberian pakan dengan cara ini, hanya 75% pakan yang dapat dimakan oleh ikan, sedangkan sisanya 25% tidak termakan dan terbuang oleh arus air sungai yang mengalir.
(b). Pakan tidak dimasak :
Bahan baku untuk pembuatan pakan tidak dimasak terdiri dari dedak, ikan asin BS, ampas singkong, bekatul dan ampas tahu.
Pengolahan pakan menggunakan seperangkat alat-alat mekanis yang dirancang sendiri. Peralatannya terdiri dari generator diesel berkekuatan 15.000 watt, mesin cincang daging (molen) ukuran besar 4 buah dan dinamo sebagai tenaga penggerak. Cara pembuatan pakan adalah sebagai berikut: Masing-masing bahan baku pakan ditimbang sesuai kebutuhan dan dicampur di dalam wadah ukuran persegi empat yang terbuat dari papan serta diaduk sampai rata, kemudian dimasukkan kedalam molen untuk diproses menjadi pelet. Kemudian pelet di tampung dalam wadah plastik, dijemur beberapa jam di sinar matahari dan siap untuk diberikan kepada ikan. Hasil pakan olahan hampir sama dengan pakan buatan pabrik yaitu pelet berbentuk silindris ukuran diameter 5 mm dan panjang 4 – 5 cm. Menurut keterangan pembudidaya pemberian pakan dengan cara ini lebih efektif karena sebanyak 99% pakan dapat dimakan oleh ikan, sedangkan sisanya sebanyak 1% terbuang bersama arus air sungai yang mengalir.
PENGENDALIAN HAMA
Serangan hama pada umumnya lebih banyak terjadi pada pendederan dan pembesaran karena kegiatan tersebut dilakukan di alam terbuka, sedangkan pembenihan dilakukan di ruangan tertutup. Hama ikan patin berukuran lebih besar dari pada ikan patin dan bersifat memangsa (predator), sehingga secara fisik mudah dikenali. Jenis-jenis hama tersebut dan cara pemberantasannya telah dijelaskan dimuka.
Penyakit yang sering menyerang ikan patin terdiri dari dua golongan yaitu penyakit infeksi yang timbul karena gangguan organisme patogen dan penyakit non infeksi yang timbul karena organisme lain. Penyebab penyakit infeksi adalah parasit, bakteri dan jamur yang dapat menular. Sedangkan penyebab penyakit non infeksi adalah keracunan dan kekurangan gizi.
Penyakit akibat infeksi :
• Parasit adalah penyakit bintik putih (white spot), yang terjadi akibat infeksi Ichtyophthirius multifiliis yang biasanya menyerang benih berumur 1 – 6 minggu. Gejala serangan dicirikan dengan adanya bintik-bintik putih di lapisan lendir kulit, sirip dan lapisan insang dan berenangnya tidak normal. Penanggulangannya dengan menggunakan formalin yang mengandung Malachite Green Oxalate (FMGO) sebanyak 4 gram/liter air. Pencegahan pada ikan yang berukuran lebih besar adalah dengan perendaman selama 24 jam dalam FMGO dengan dosis 10 ml/m3 air seminggu sekali.
• Bakteri yang menyerang ikan patin adalah Aeromonas sp. dan Pseudomonas sp. Serangan terjadi pada bagian perut, dada dan pangkal sirip disertai perdarahan. Gejalanya lendir di tubuh ikan berkurang dan tubuhnya terasa kasar saat diraba. Pencegahannya adalah dengan memusnahkan ikan yang mendapat serangan cukup parah agar tidak menulari ikan yang lain. Jika serangan belum parah dapat dilakukan pengobatan dengan cara perendaman menggunakan larutan Kalium Permanganat (PK) sebanyak 10-20 ppm selama 30-60 menit. Cara pengobatan lain adalah perendaman dalam larutan Nitrofuran sebanyak 5-10 ppm selama 12-24 jam atau dalam larutan Oksitetrasiklin sebanyak 5 ppm selama 24 jam. Selain perendaman, pengobatan dapat dilakukan dengan mencampurkan obat-obatan ke dalam makanan seperti Chloromycetin sebanyak 1-2 gram per kg makanan.
• Jamur dapat menyerang ikan patin karena adanya luka-luka di badan ikan. Jamur yang sering menyerang adalah dari golongan Achlya sp. dan Saprolegnia sp. Ciri-ciri ikan patin yang terserang jamur adalah adanya luka di bagian tubuh terutama di tutup insang, sirip dan bagian punggung. Bagian-bagian tersebut ditumbuhi benang-benang halus seperti kapas berwarna putih hingga kecoklatan. Pencegahannya adalah dengan menjaga kualitas air yang sesuai dengan kebutuhan ikan dan menjaga agar tubuh ikan tidak terluka. Cara pengobatannya adalah dengan perendaman dalam larutan Malachite Green Oxalate dengan dosis 2-3 gram/m3 air selama 30 menit, diulang sampai tiga hari berturut-turut.
Berdasarkan hasil wawancara dengan pembudidaya di kabupaten OKI, serangan hama dan penyakit terhadap ikan patin yang dipelihara relatif sedikit. Gejala penyakit yang sering timbul adalah kurangnya nafsu makan ikan, terutama pada musim kemarau. Untuk mengatasi hal tersebut biasanya digunakan multivitamin Previta Fish P yang dicampur dalam makanan buatan sendiri atau pemberian makanan berupa pelet buatan pabrik yang sudah mengandung vitamin. Untuk serangan penyakit tertentu yang mengakibatkan kematian ikan digunakan obat Khemy dengan dosis pengobatan 1,5 sendok teh yang dicampur dalam pakan buatan sendiri.
PANEN
Pada umumnya panen pada pembesaran ikan patin dapat dilakukan setelah 6 – 12 bulan pada saat ikan mencapai ukuran berat satu kilogram. Ikan patin yang dipelihara di karamba jaring apung dengan ukuran awal 5 inci membutuhkan waktu selama 6 – 8 bulan untuk mencapai ukuran satu kilogram. Sedangkan ikan patin yang dipelihara dengan sistem fence dengan ukuran awal 1,5 – 2 inci membutuhkan waktu selama 8 – 12 bulan untuk mencapai ukuran satu kilogram. Pemanenan dilakukan secara selektif karena pertumbuhan ikan tidak seragam.
Cara panen ikan patin adalah dengan menggunakan serok atau alat tangkap lainnya. Penanganan saat pemanenan harus hati-hati dan menghindari adanya luka karena dapat menurunkan mutu dan harga jual ikan. Penangkapan langsung menggunakan tangan sebaiknya tidak dilakukan karena tangan bisa terluka terkena patil atau duri sirip ikan. Untuk menjaga mutu ikan yang dipanen, sehari sebelum dipanen biasanya pemberian pakan dihentikan (diberokan). Ikan patin yang dipanen dimasukkan dalam wadah yang telah diisi dengan air jernih sehingga ikan tetap hidup dan tidak stress.
KENDALA PRODUKSI
Pada saat ini di daerah OKI belum ada UPR ikan patin dan produksi benih oleh UPR di Palembang belum mencukupi permintaan masyarakat Sumsel. Oleh karena itu benih ikan patin didatangkan dari Bogor dan daerah lain di Pulau Jawa. Walaupun keadaan transportasi cukup baik, namun keadaan ini dapat menjadi kendala di masa yang akan datang, yaitu harga benih menjadi lebih mahal dan jumlah pasokan benih sulit diprediksi, sehingga akan mempengaruhi usaha budidaya pembesaran ikan patin di daerah ini. Kendala lain yang dihadapi adalah usaha pembenihan ikan patin memerlukan biaya cukup tinggi karena usaha pembenihan memerlukan persyaratan teknologi budidaya tertentu. Salah satu cara yang dapat dilakukan untuk mengatasi masalah ini adalah Pemerintah Daerah setempat bekerjasama dengan Balai Penelitian Perikanan Air Tawar di kecamatan Mariana dan dinas terkait, membantu pengadaan unit-unit pembenihan ikan patin.
Dalam budidaya ikan air tawar, pakan merupakan kebutuhan primer untuk mempercepat pertumbuhaan ikan. Ikan patin termasuk salah satu jenis ikan air tawar yang lahap dalam konsumsi pakan. Pakan buatan pabrik relatif mahal, sehingga masyarakat berusaha mengganti pakan pabrik dengan pakan buatan sendiri yang bahan bakunya diperoleh dari daerah sekitarnya. Masalahnya adalah dosis pakan buatan sendiri belum dapat dipastikan sesuai dengan kebutuhan ikan, sehingga efisiensi penggunaannya belum diketahui. Usaha yang perlu dilakukan untuk mengatasi hal ini adalah dilakukannya penelitian, penyuluhan dan pelatihan oleh pihak yang berkepentingan kepada para pembudidaya dalam pembuatan pakan buatan yang memenuhi syarat teknis budidaya dan secara ekonomis menguntungkan.
Oleh karena sistem fence baru berkembang dalam tiga tahun terakhir, maka kendala utama yang dihadapi oleh calon pembudidaya ikan patin yang akan memakai sistem ini adalah dalam hal : penguasaan teknik konstruksi fence; penguasaan manajemen pemeliharaan ikan patin; dan belum adanya informasi mengenai rencana lokasi lahan budidaya. Kendala teknik konstruksi dan manajemen pemeliharaan dapat diatasi apabila lembaga terkait aktif memberikan penyuluhan dan pelatihan ketrampilan kepada masyarakat calon pembudidaya. Lembaga terkait saat ini telah memberikan penyuluhan dan pelatihan, namun masih perlu ditingkatkan. Sedangkan kendala informasi dapat diatasi dengan keaktifan dua belah pihak yaitu Pemerintah dan calon pembudidaya untuk saling mencari dan menyebarluaskan informasi mengenai rencana peruntukan lokasi budidaya ikan patin. Ketepatan lokasi penting agar tidak merugikan seluruh pihak baik pembudidaya, pemerintah daerah maupun bank apabila proyek dibiayai oleh bank. Kerugian perlu dicegah karena budidaya ikan patin adalah usaha yang terkait erat dengan usaha pada sektor-sektor lain baik usaha-usaha disektor hulu maupun sektor hilir. Usaha ini mempunyai kaitan dengan sektor hulu karena:
• dapat menghidupkan usaha penyediaan bahan baku lokal untuk pembuatan karamba dan fence serta peralatan perikanan
• memanfaatkan limbah produk ikan olahan dan hasil sampingan industri kecil pengolahan hasil pertanian sebagai bahan baku untuk pakan ikan
• menghidupkan usaha produksi dan jasa penyediaan benih dan saprokan lainnya.
Sedangkan di sektor hilir usaha ini dapat menghidupkan kegiatan ekonomi yang mencakup usaha sektor pedagangan ikan, usaha rumah makan/restoran, usaha transportasi dan pelayanan kredit perbankan. Sektor usaha budidaya ikan patin juga memberikan sumbangan bagi pemerintah daerah berupa Pajak Bumi dan Bangunan dan retribusi usaha budidaya ikan.


Budidaya Ikan Bawal

A. Bawal ( Colossoma macropomum )
Merupakan salah satu komoditas perikanan yang bernilai ekonomis cukup tinggi. Ikan ini berasal dari Brazil. Pada mulanya ikan bawal diperdagangkan sebagai ikan hias, namun karena pertumbuhannya cepat, dagingnya enak dan dapat mencapai ukuran besar, maka masyarakat menjadikan ikan tersebut sebagai ikan konsumsi. Sebutan lain ikan bawal adalah Gamitama (Peru), Cachama (Venezuela), Red Bally Pacu (Amerika Serikat dan Inggris). Sedangkan di negara asalnya disebut Tambaqui.
Walaupun ketenaran ikan bawal belum dapat disejajarkan dengan komoditas perikanan lainnya, namun permintaan konsumen setiap tahunnya terus meningkat, baik untuk konsumsi dalam negeri maupun ekspor. Maka tak heran, bila dimasa yang akan datang akan menjadi komoditas unggulan seperti jenis-jenis ikan lainnya.
BIOLOGI
• Secara sistematika ikan bawal termasuk kedalam Genus Chacacoid dan species Colossoma macropomum.
• Badan agak bulat, bentuk tubuh pipih, sisik kecil, kepala hampir bulat, lubang hidung agak besar, sirip dada di bawah tutup insang, sirip perut dan sirip dubur terpisah, punggung berwarna abu-abu tua, perut putih abu-abu dan merah.
• Ikan bawal banyak ditemukan di sungai sungai besar seperti Amazon (Brazil), Orinoco (Venezuela). Hidup secara bergerombol di daerah yang airnya tenang.
• Bawal termasuk ikan karnivora, Giginya tajam namun tidak ganas seperti piranha. Makanan yg disukai pada fase larva adalah Brachionus sp., Artemia sp., dan Moina sp.
• Induk bawal sudah mulai dapat dipijahkan pada umur 4 tahun bila pertumbuhannya normal dapat mencapai berat 4 kg.
• Pemijahannya terjadi pada musim penghujan.
1. Pemeliharaan Induk
• Induk-induk dipelihara di kolam dengan kepadatan 0,5 kg/m2. Setiap hari diberi pakan tambahan berupa pelet sebanyak 3 prosen dari berat tubuh ikan dan diberikan 3-4 kali sehari. Menjelang musim hujan jumlah pakannya ditambah menjadi 4 prosen. Induk betina yang beratnya 4 kg dapat menghasilkan telur sebanyak +400.000 butir.
• Tanda Induk yang matang Gonad.
• Betina: perut buncit, lembek dan lubang kelamin berwarna kemerahanJantan: perut langsing, warna merah dalam ditubuhnya lebih jelas dan bila diurut dari perut kearah kelamin keluar cairan berwarna putih/sperma.
2. Pemijahan.
• Pemijahan ikan bawal air tawar bisa dilakukan secara Induced Spawning, caranya induk betina disuntik hormon LHRH-a sebanyak 3 ?g/kg atau ovaprim 0,75 ml / kg . Induk jantan menggunakan LHRH-a sebanyak 2 ?g/kg atau ovaprim 0,5 ml/kg. LHRH-a dilarutkan dalam larutan 0,7 % NaCl.
• Induk betina disuntik dua kali dengan selang waktu 8-12 jam. Penyuntikan pertama sebanyak 1/3 bagian dari dosis total dan penyuntikan kedua 2/3 nya.
• Induk yang sudah disuntik dimasukkan kedalam bak pemijahan yang dilengkapi dengan hapa. Selama pemijahan air harus tetap mengalir. Pemijahan biasanya terjadi 3 sampai 6 jam setelah penyuntikan kedua.
3. Penetasan
• Setelah memijah telur-telur diambil menggunakan scope net halus, kemudian telur tersebut ditetaskan didalam akuarium yang telah dilengkapi dengan aerasi dan water heater dengan suhu 27 - 29oC. Kepadatan telur antara 100 - 150 butir/liter, biasanya Telur-telur akan menetas dalam waktu 16 - 24 jam.
4. Pemeliharaan Larva
• Larva dipelihara dalam akuarium yang sama, namun sebelumnya 3/4 bagian airnya dibuang. Padat penebaran larva 50 - 100 ekor/liter larva yang berumur 4 hari diberi pakan berupa naupli Artemia, Brachionus atau Moina. Pemeliharaan larva ini berlangsung selama 14 hari. Selama pemeliharaan larva, air harus diganti setiap hari sebanyak 2/3 bagiannya. Setelah berumur 14 hari larva siap ditebar ke kolam pendederan.
4. Pendederan
• Pendederan ikan bawal dilakukan di kolam yang luasnya antara 500 -1.000 m2. Namun kolam tersebut harus disiapkan seminggu sebelum penebaran benih. Persiapan meliputi pengeringan, perbaikan pematang, pengolahan tanah dasar dan pembuatan kemalir.
• Setelah itu kolam dikapur dengan kapur tohor sebanyak 50 - 100 gram/m2 dan dipupuk dengan pupuk organik dengan dosis 500 gram/m2. Kemudian diisi air.
• Bila kolam sudah siap, larva diebar pada pagi hari dengan kepadatan 50 - 100 ekor/m2.
• Setiap hari diberi pakan tambahan berupa pelet halus sebanyak 750 gram/10 ribu ekor larva dengan frekuensi tiga kali sehari.
• Pemeliharaan di kolam pendederan selama 21 hari.


Penyakit
Penyakit yang pernah ditemukan pada ikan bawal air tawar yang berumur satu bulan antara lain disebabkan oleh parasit, bakteri dan Kapang (Jamur)
Parasit
• " Ich " Atau " White spot ", biasanya menyerang ikan apabila suhu media pemeliharaan dingin, cara mengatasinya yaitu dengan menaikkan suhu (dengan water heater) sampai kurang lebih 29 derajat Celcius dan pemberian formalin 25 ppm. Pada media pemeliharaannya.
Bakteri.
• Streptococus sp. dan Kurthia sp. cara mengatasinya yaitu dengan menggunakan antibiotik tetrasiklin dengan dosis 10 ppm.
Kapang (Jamur)
• Jamur ini merupakan akibat dari adanya luka yang disebabkan penanganan ( Handling ) yang kurang hati-hati. Cara mengatasinya dengan menggunakan Kalium Permanganat ( PK ) dengan dosis 2-3 ppm.

B. Ikan bawal bintang (Trachinotus blochii)
Ikan bawal bintang (Trachinotus blochii) atau yang dikenal dengan merek dagang Silver Pompano, mulai mendapat tempat di hati masyarakat. Ikan ini termasuk spesies asli Indonesia yang mempunyai daya adaptasi tinggi dan mudah dibudidayakan. Ikan bawal bintang memiliki potensi besar untuk dikembangkan dan pangsa pasar yang cukup menjanjikan, baik dalam maupun luar negeri. Beberapa negara konsumen utama bawal bintang selama ini antara lain Jepang, Taiwan, Hongkong, China dan Kanada. Seiring dengan keberhasilan Balai Budidaya Laut Batam dalam membenihkan maupun membudidayakan ikan bawal bintang, diharapkan dapat dikembangkan di wilayah perairan Indonesia.
Beberapa hal yang harus diperhatikan dalam pembenihan bawal bintang adalah penanganan induk, pemeliharaan larva, pendederan dan penanganan pasca panen.
Pengelolaan induk dimulai dengan seleksi induk/calon induk dengan kriteria bentuk badan harus proporsional dan simetris, tidak ada cacat/luka pada tubuh ikan dan merupakan grading pertama pada kegiatan budidaya dan ukuran ikan sudah mencapai 1 kg/lebih. Untuk manajemen pakan induk harus diperhatikan kualitas dan kuantitas pakan. Kualitas pakan dipenuhi dengan pemberian ikan rucah segar, pelet, pencampuran vitamin dan multivitamin. Sedangkan untuk kuantitas pakan yang baik diberikan 3-5% dari berat total induk yang akan dipijahkan. Untuk manajemen air media pemeliharaan, pergantian air optimal adalah 400% dalam 24 jam dengan kualitas air tetap terjaga pada pH (7,4-7,8), DO (4-6 ppm), suhu (29-310C) dan salinitas(30-33ppt). Bak pemijahan induk berkapasitas 10 ton dan diisi induk yang sudah siap pijah sebanyak 10 ekor dengan perbandingan 1:1. Induk jantan lebih kecil dari induk betina. Keunggulan pemijahan bawal bintang adalah dapat dipijahkan kapan saja, tidak tergantung siklus bulanan.
a. Tempat Pemeliharaan;
Tempat pemeliharaan pada tahap pendederan dengan menggunakan waring ukuran 3m x 1,2m x 1,5m dan jaring 3m x 1,2m x 1,5m mesh size ¾ inchi. Sedangkan untuk penggelondongan menggunakan jaring 3m x 3m x 3m atau jaring 6m x 3m x 3m mesh size 1¼ inchi dan tahap pembesaran menggunakan jaring 6m x 3m x 3m mesh size 1¼ - 2 inchi yang berada di Keramba Jaring Apung (KJA) 3X3 meter tiap lubangnya.
b. Padat Penebaran;
Penebaran benih sebaiknya dilakukan pada pagi atau sore hari. Aklimatisasi perlu dilakukan karena adanya perbedaan, suhu dan salinitas antara daerah asal benih atau media transportasi dengan kondisi air tempat pemeliharaan. Apabila sistem transportasi dengan menggunakan kantong plastik, maka aklimatisasi dilakukan dengan membuka kantong plastik dan memasukkan air laut kedalam kantong sedikit demi sedikit. Setelah suhu dan salinitas hampir sama maka benih dapat ditebarkan. Untuk pengangkutan jarak pendek, aklimatisasi dilakukan dengan cara menambahkan air laut sedikit demi sedikit kedalam wadah pengangkutan. Padat tebar berkaitan erat dengan pertumbuhan dan angka kelulushidupan. Apabila kepadatan terlalu tinggi pertumbuhannya lambat akibat adanya persaingan ruang, oksigen dan pakan.
c. Pakan dan Pemberian Pakan;
Pakan yang diberikan harus memiliki nilai gizi yang cukup. Hal ini akan mempercepat pertumbuhan dan kelangsungan hidup ikan. Pakan yang diberikan dapat berupa pakan buatan ataupun pakan ikan rucah. Pada tahap awal pemeliharaan, frekuensi pemberian pakan dilakukan 4-6 kali sehari. Selanjutnya pemberian pakan dapat dilakukan 2 kali sehari pada pagi dan sore hari. Pertumbuhan harian ikan bawal bintang dengan menggunakan pakan buatan adalah sebesar 2,89 gram/hari, sedangkan dengan pemberian pakan ikan rucah pertumbuhan hariannya sebesar 1,6 gram/hari. FCR yang diperoleh selama masa pemeliharaan 6 bulan dengan menggunakan pakan buatan sebesar 1 : 2, sedangkan dengan menggunakan pakan ikan rucah sebesar 1 : 7.
d. Pemilahan Ukuran;
Untuk menghindari variasi ukuran yang menyebabkan ikan yang kecil akan kalah bersaing makanan dengan ikan yang besar sehingga pertumbuhanya terganggu, maka dilakukan pemilahan atau penyeragaman ukuran. Dengan demikian pada satu waring atau jaring hanya dipelihara ikan yang satu ukuran. Penyeragaman ukuran pada awal pemeliharaan dilakukan minimal dua minggu sekali dan selanjutnya dapat dilakukan setiap satu bulan sekali, atau kalau terterlihat adanya variasi ukuran dalam satu wadah pemeliharaan.
e. Pengamatan Pertumbuhan;
Untuk mengetahui pertumbuhan, menentukan dosis pakan dan angka kelulushidupan ikan dilakukan sampling. Sampling ikan dilakukan sebulan sekali dengan mengambil ikan secara acak. Pada saat sampling dilakukan penghitungan, pengukuran panjang dan penimbangan berat ikan sehingga dapat diamati angka kelulushidupan, pertambahan panjang dan beratnya.
f. Penggantian Jaring;
Penggantian dan pembersihan jaring selama masa pemeliharaan mutlak harus dilakukan. Jaring yang kotor akibat penempelan lumpur atau biota penempel seperti berbagi jenis kerang, teritip dan tumbuh-tumbuhan, dapat menghambat sirkulasi air, pertukaran air dan oksigen. Kalau dibiarkan hal ini dapat menghambat pertumbuhan bawal bintang dan menimbulkan penyakit. Jaring yang kotor sebaiknya dijemur kemudian disemprot atau dibersihkan agar dapat dipergunakan lagi. Sebelum digunakan kembali waring atau jaring perlu diperiksa sehingga apabila ada kerusakan atau putusnya tali jaring dapat diperbaiki. Pergantian jaring dilakukan sebulan sekali, bersamaan dengan pergantian jaring dilakukan perendaman ikan dengan air tawar, sampling dan grading.


Template by : kendhin x-template.blogspot.com