Kamis, 17 Desember 2009

Budidaya Ikan Kerapu

Kerapu merupakan jenis ikan komersial yang suka hidup di perairan karang, di antara celah-celah karang atau di dalam gua di dasar perairan. Ikan karnivora yang tergolong kurang aktif ini relatif mudah dibudidayakan, karena mempunyai daya adaptasi yang tinggi. Untuk memenuhi permintaan akan ikan kerapu yang terus meningkat, tidak dapat dipenuhi dari hasil penangkapan sehingga usaha budidaya merupakan salah satu peluang usaha yang masih sangat terbuka luas. Dikenal 3 jenis ikan kerapu, yaitu kerapu tikus, kerapu macan, dan kerapu bangkal yang telah tersedia dan dikuasai teknologinya. Dari ketiga jenis ikan kerapu di atas, untuk pengembangan di Kabupaten Buleleng ini disarankan jenis ikan kerapu tikus (Cromileptes altivelis). Hal ini karena harga per kilogramnya jauh lebih mahal dibandingkan dengan kedua jenis kerapu lainnya. Di Indonesia, kerapu tikus ini dikenal juga sebagai kerapu bebek atau di dunia perdagangan internsional mendapat julukan sebagai panther fish karena di sekujur tubuhnya dihiasi bintik-bintik kecil bulat berwarna hitam.
Investasi dalam budidaya kerapu sangat prospektif karena harga kerapu sangat komersial. Sebagai gambaran umum adalah ikan kerapu Tikus dan kerapu Bangkal harga di dalam negeri Rp.300.000,- sampai dengan Rp.400.000,- per kg, sedangkan di luar negeri yaitu di Hongkong dan Singapura berkisar US$ 50 – 100 per kg. Jenis ikan kerapu Macan harga di dalam negeri Rp. 80.000,- sampai dengan Rp. 180.000,- per kg. dan di Hongkong mencapai US$ 12 - 17 per kg.
1. Aspek Sosial, komoditi Ikan kerapu sangat membantu masyarakat di pedesaan dengan jumlah petani yang terlibat sebanyak 4.033 kepala keluarga di Kabupaten Buleleng dalam kelompok tani dan koperasi.
2. Aspek Teknis, bahwa Ikan kerapu dapat dikembangkan tumbuh dengan baik di Provinsi Bali secara umum dan khususnya Kabupaten Buleleng.
3. Aspek Ekonomi, bahwa komoditi Ikan kerapu dapat meningkatkan perekonomian rakyat dimana setiap orang mampu mendapat penghasilan sebagai mata pencaharian utama
Analisa kelayakan investasi Ikan Kerapu
a. Payback Period = 1 tahun + 3 bulan
b. Benefit/Cost Ratio = 1,2733
c. Net Presen Value = 22.696.817
d. Internal Rate of Return = 42.71
Kerapu macan termasuk kelompok ikan kerapu yang berharga tinggi. Jenis kerapu ini merupakan ikan asli Indonesia yang hidup tersebar di berbagai perairan berkarang di Nusantara. Selain di Indonesia, daerah penyebaran kerapu macan meliputi perairan di wilayah Indo-Pasifik.




A. Sistematika
Famili: Serranidae
Spesies : Epinephelus fuscoguttatus
Nama dagang brown marble grouper, flowery cod, blotchy rock cod, carpet cod, aka madaharata, lo fu pan
Nama lokal : garopa
B. Ciri-crii dan Aspek Biologi
1. Ciri fisik
Bentuk ujung sirip ekor, sirip dada, dan sirip dubur ikan berupa busur. Kepala dan badannya berwarna abu-abu pucat kehijauan atau kecokelatan. Badan dipenuhi
dengan bintik-bintik gelap berwarna jingga kemerahan atau coklat gelap. Bintik-bintik di
bagian tengah lebih gelap dibanding yang di pinggir. Ukuran bintik semakin mengecil ke
arah mulut. Adapun punggung dan pangkal sirip punggung ikan terdapat bercak besar kehitaman.
2. Pertumbuhan
Di alam, ikan kerapu macan dapat mencapai panjang total 95 cm dan bobotnya 11 kg.
C. Pemilihan lokasi budidaya
Ikan ini dapat hidup dan tumbuh pada air berkadar garam 22 - 32 ppt. Oleh karena itu, lokasi budi daya dipilih sesuai dengan kriteria tersebut. Lokasi budi daya juga harus terlindung dari gelombang besar air laut dan angin kencang. Selain itu, perubahan salinitas yang besar dan aliran air kotor di lokasi budi daya harus dihindari.
D. Wadah Budi Daya
Pembesaran ikan kerapu macan dapat dilakukan di karamba jaring apung, seperti halnya jenis ikan kerapu lainnya. Ukuran rakit dan karamba yang digunakan disesuaikan dengan kebutuhan target produksi dan ukuran ikan yang akan dibudidayakan. Adapun kerangka rakit yang digunakan sebaiknya berukuran 5 m x 5 M dengan ukuran jaring 2 m X 2 M.
E. Pengelolaan Budi Daya
1. Penyediaan benih
Benih yang berasal dari hatchery harus diseleksi sebelum ditebar untuk budi daya pembesaran. Benih yang tidak normal (deformity) relatif lebih lemah dan mudah terserang penyakit. Selain itu, ikan cenderung menunjukan pertumbuhan yang lambat.
2. Penebaran benih
Benih ikan dengan bobot 5—10 g ditebar sebanyak 75— 100 ekor/m3 untuk ukuran 10 - 50 g benih bisa ditebar sebanyak 40-50 ekor/m3.
Pemberian pakan
Pakan yang diberikan bisa berupa ikan rucah ataupun pelet. Jika ingin melakukan budi daya ikan kerapu dengan pakan pelet, sangat penting untuk membiasakan benih dengan pelet selama masa pendederan. Untuk memperbaiki imunitas dan mengurangi stres ikan, disarankan untuk menambahkan vitamin C ke dalam pelet.
Kerapu macan termasuk jenis ikan predator. Oleh karena itu, pembudidayaan ikan ini memerlukan pakan berupa ikan rucah segar atau pelet berkadar protein tinggi. Pakan yang dimakan ikan kerapu akan tercerna 95% setelah 36 jam dalam lambung sehingga peniberian pakan dilakukan selang satu hari. Pada keadaan stres, ikan ini akan memuntahkan pakan yang dimakannya.
F. Pengendalian Hama dan penyakit
Kerapu macan yang dibudidayakan di KJA kerap kali cacat pada tutup insang, mulut, dan tengkuk belum diketahui jelas penyebabnya. Adapun ciri-ciri umum adanya serangan penyakit adalah ikan kehilangan nafsu makan.
Pengamatan kondisi pakan sangat penting untuk mendeteksi adanya penyakit pada ikan.

Saat kondisi kesehatan Ikan kerapu berubah menjadi buruk biasanya sering berenang di permukaan air karena gelembung renang membengkak. Apabila terdapat ikan semacam ini, pengamatan untuk mengetahui penyebabnya harus segera dilakukan.
pada tingkat benih sering terserang VNN. Gejalanya adalah perubahan warna menjadi lebih gelap, berenang lambat, dan berputar. serangan VNN berpengaruh besar terhadap laju pertumbuhan benih. Untukmenghindari serangan penyakit ini, telur yang digunakan harus bebas VNN.
parasit cacing kulit dengan mudah menginfeksi pada kerapu yang dibudidayakan. Untuk menekan pengaruh parasit pada ikan, sebaiknya melakukan perendaman ikan dalam air tawar (5 menit) dan mengganti jaring setiap 2-4 minggu. Sementara itu, parasit, seperti cacing insang dapat dibersihkan dengan perendaman ikan dalam air bersalinitas tinggi (6o ppt selama 15 menit).
G. Panen
Kerapu macan dapat dipanen setelah berukuran 5oo-600 g/ ekor. Umumnya ukuran tersebut diperoleh setelah pemeliharaan 6— 8 bulan. Sistem pemanenan dapat dilakukan secara total atau selektif tergantung, kebutuhan. Adapun cara panennya sama seperti panen
ikan di KJA. M

Budidaya Lobster Air Tawar

Lobster yang dikenal selama ini adalah udang yang berasal dari tangkapan dilaut dan belum bisa dibudidayakan. Udang yang berukuran cukup besar tersebut sengaja ditangkap oleh para nelayan untuk dijual dipasar dalam negeri dan export. Selain lobster air laut, sebenarnya terdapat banyak jenis lobster air tawar yang juga memiliki ukuran dan bentuk tubuh hampir sama dengan lobster air laut.
Lobster air tawar memiliki keunggulan lebih dibandingkan dengan lobster air laut. Sebagai misal, lobster air tawar sudah bisa dibudidayakan, sedangkan lobster air laut belum bisa dibudidayakan. Bila dibandingkan dengan sesama udang air tawar, teknik pembudidayaan lobster air tawar lebih mudah dibandingkan pembudidayaan udang windu dan udang galah.
Lobster air tawar sebenarnya sudahlama dibudidayakan dihabitat aslinya, Queensland, Australia dan perairan Amerika Serikat. Di Indonesia budidaya lobster air tawar baru mulai dirintis pada tahun 1991. Itupun masih terbatas dilakukan oleh beberapa peternak karena adanya kendala keterbatasan jumlah induk yang tersedia di pasaran dalam negeri. Induk induk lobster yang dibudidayakan masih harus didatangkan langsung dari Negara produsennya, Australia.
Seiring dengan semakin berkembangnya teknologi budidaya maka sejak awal tahun 2003 budidaya lobster air tawar semakin berkembang. Ini terlihat dari munculnya perternak yang bisa melakukan pembudidayaan lobster air tawar. Dari satu orang peternak kemudian menyebar ke peternak peternak lainnya. Dari hanya berpusat pada satu kota, kini mudah ditemukan peternak lobster di kota kota besar lainnya. Sejak saat itulah, usaha budidaya lobster air tawar mulai berkembang
Indukan memiliki fungsi sangat vital dalam suatu siklus reproduksi LAT, karena dari indukan yang memiliki potensi tubuh yang vigor, sehat dan bongsor diharapkan akan menurunkan potensi istimewa-nya kepada keturunannya. Anakan yang memiliki pra-potensi tubuh yang baik diharapkan akan tumbuh dan berkembang sebaik induk-nya.
Untuk itulah agar kita mendapatkan suatu keturunan LAT yang baik dan berkualitas tinggi maka hal-hal yang essensial dalam indukan harus diperhatikan dengan seksama. Apabila kita ingin memijahkan (mengawinkan) LAT maka harus diusahakan se-selektif mungkin (di Aussie dikenal dengan istilah Selective Breeding ) inti dari selective breeding adalah pemilihan indukan yang betul-betul memenuhi syarat untuk dikawinkan agar di dapatkan anakan yang betul-betul unggul, seperti :
• Sudah cukup umur (matang Gonad) ditandai dengan banyaknya Gonade Spot (pada betina, yang berupa bintik-bintik putih disekitar carapace) dan menyalanya (distinguish) warna merah pada capit bagian luar LAT jantan atau paling tidak 8 - 9 bulan dari burayak atau 5 - 8 bulan dari 2".
• Ukuran panjang LAT (diukur secara phisik) paling tidak 5" (12 cm ± 10 %).
Tubuh bagian ekor yang lebar, sehingga diharapkan telur yang bisa digenggam jumlahnya banyak.
• Sehat, dalam artian tidak mengandung parasit (lintah dll.) serta tidak memiliki luka.



Agar kita bisa mendapatkan indukan yang betul-betul unggul tersebut caranya adalah dengan mendatangi farm-farm yang memang mempunyai fasilitas untuk melakukan budidaya indukan, atau memang melakukan budidaya untuk mencetak calon indukan (sebaiknya jangan membeli lobster konsumsi untuk kemudian dijadikan indukan). Sangat dianjurkan untuk melihat dengan langsung tempat budidaya dan metode budidaya-nya agar kita mendapatkan data yang akurat tentang indukan yang akan kita miliki. Hindari membeli indukan dari broker (pengepul) karena biasanya mereka tidak memiliki track record yang memadai dari indukan LAT yang mereka jual.
Apabila kita tidak mendapatkan indukan yang sesuai dengan keinginan kita, maka salah satu cara yang bisa digunakan adalah dengan cara membeli calon indukan atau anakan (2") dari indukan yang cukup besar (5" keatas/lebih dari 12.5 cm). Pelihara anakan tersebut ± 1 bulan, setelah 1 bulan seleksi berdasarkan penampilan fisik dan jenis kelamin, pilih yang memiliki tubuh paling besar/di atas rata-rata sebaya-nya. Setelah itu besarkan secara terpisah antara jantan & betina agar tidak terjadi pernikahan 'dini', kepadatan populasi LAT yang disarankan adalah ± 5 ekor/m2. Biarkan calon-calon indukan tersebut berkembang secara optimal dan apabila setelah 3 - 4 bulan dari seleksi pertama tadi ada yg sudah mencapai ukuran 5" maka bias dicampurkan, maka sekarang kita sudah memiliki indukan yang cukup bagus/unggul. Di pasaran bebas LAT yang memiliki kualifikasi indukan (yang betul-betul indukan) dijual dengan harga yang lebih mahal karena pengelolaan/proses pencetakan indukan yang berkualitas tersebut memang mebutuhkan investasi yg tidak sedikit dan melalui penyeleksian kualitas sedemikian rupa.
Secara alamiah di lingkungan aslinya (habitat asal) LAT mulai kawin pada umur 3-4 bulan dari burayak (panjang mulai 2.5"/ 7 cm), tetapi hasil penelitian kami menunjukkan apabila LAT kawin terlalu dini maka anakan yang dihasilkan sangat sedikit (< 50 ekor). AA memproduksi bibit LAT ( lobster air tawar ) dengan pertumbuhan cepat dan berkualitas grade A yang dihasilkan dari indulkan pilihan (F1 walkamin), bibit LAT hasil produksi TAA merupakan hasil seleksi kualitas yang sedemikian rupa sehingga didapatkan bibit LAT unggul yang sangat cocok untuk pembesaran LAT konsumsi. * Hasil breeding Bibit LAT TAA melalui beberapa seleksi kualitas, antara lain : 1. Bibit LAT TAA yang berukuran 2” (inch) maksimal umur 2bulan (60hari), apabila umur sudah mencapai 2bulan tetapi pertumbuhan anakan masih belum mencapai ukuran minimal 1.8” merupakan LAT sortiran (tidak dimasukkan dalam kategori kualitas grade A). 2. Anakan LAT TAA tidak dihasilkan dari indukan yang inbreeding (sedarah). 3. Bibit LAT TAA sejak burayak telah mendapat asupan gizi yang seimbang dan teratur sehingga gizi untuk pertumbuhan anakan sejak awal telah diperhatikan sehingga bibit LAT TAA mempunyai daya tahan tubuh yang lebih kuat serta adaptasi lingkungan yang lebih baik. * TAA juga menyediakan indukan maupun calon indukan (F1 walkamin).Penyeleksian indukan bagi produksi pembibitan, indukan yang baik adalah yang berbadan besar, panjang dan umur seimbang serta nafsu makan yang baik dan bukan hasil inbriding atau perkawinan antar saudara. Jangan asal memilih indukan, biasanya yang dikhawatirkan tidak dilakukan seleksi yang ketat (inbriding). Pada umumnya tidak akan menghasilkan Lobster berkalitas yang dapat mencapai ukuran besar dengan waktu yang cepat. * Jangan sia- siakan waktu dan inveastasi anda atas kesalahan pemilihan bibit, pastikan bibit LAT anda berkualitas dan mempunyai daya tahan tubuh serta adaptasi lingkungan yang lebih baik sehingga mampu tumbuh dengan baik.

Rabu, 16 Desember 2009

PENGEMBANGBIAKAN IKAN

Pengembangbiakan ikan meru- pakan salah satu kegiatan dari proses budidaya ikan. Ikan yang akan dibudidayakan harus dapat tumbuh dan berkembang biak agar kontinuitas produksi budidaya dapat berkelanjutan. Dalam bab ini akan dibahas beberapa materi yang terkait dalam proses pengembangbiakan ikan antara lain adalah seleksi induk, pemijahan, penetasan telur, pemeli- haraan larva dan benih ikan, pembesaran ikan dan pemanenan

Seleksi induk merupakan tahap awal dalam kegiatan budidaya ikan yang sangat menentukan keberhasilan produksi. Dengan melakukan seleksi induk yang benar akan diperoleh induk yang sesuai dengan kebutuhan sehingga produktivitas usaha budidaya ikan optimal. Seleksi induk ikan budidaya dapat dilakukan secara mudah dengan memperhatikan karakter fenotipenya atau dengan melakukan program breeding untuk meningkatkan nilai pemuliabiakan ikan budidaya Induk ikan yang unggul akan menghasilkan benih ikan yang unggul. Di Indonesia saat ini belum ada tempat sebagai pusat induk ikan
yang menjamin keunggulan setiap jenis ikan. Induk ikan yang unggul pada setiap kegiatan usaha budidaya ikan dapat berasal dari hasil budidaya atau menangkap ikan di alam. Karakteristik induk yang unggul untuk setiap jenis ikan sangat berbeda. Hal-hal yang sangat penting untuk diperhatikan oleh para pembudidaya ikan dalam melakukan seleksi induk agar tidak terjadi penurunan mutu induk antara lain adalah :
x Mengetahui asal usul induk
x Melakukan pencatatan data tentang umur induk, masa reproduksi dan waktu pertama kali dilakukan pemijahan sampai usia produktif.
x Melakukan seleksi induk berdasarkan kaidah genetik
x Melakukan pemeliharaan calon induk sesuai dengan proses budidaya sehingga kebutuhan nutrisi induk terpenuhi.
x Mengurangi kemungkinan perkawinan sedarah
Untuk meningkatkan mutu induk yang akan digunakan dalam proses budidaya maka induk yang akan digunakan harus dilakukan seleksi. Seleksi ikan bertujuan untuk memperbaiki genetik dari induk ikan yang akan digunakan. Oleh karena itu dengan melakukan seleksi ikan yang benar akan dapat memperbaiki genetik ikan tersebut sehingga dapat melakukan pemuliaan ikan. Tujuan


dari pemuliaan ikan ini adalah menghasilkan benih yang unggul dimana benih yang unggul tersebut diperoleh dari induk ikan hasil seleksi agar dapat meningkatkan produktivitas.

Produktivitas dalam budidaya ikan dapat ditingkatkan dengan beberapa cara yaitu :
1. Ekstensifikasi yaitu mening- katkan produktivitas hasil budidaya dengan memperluas lahan budidaya.
2. Intensifikasi yaitu meningkatkan produktivitas hasil dengan meningkatkan hasil persatuan luas dengan melakukan manipulasi terhadap faktor internal dan eksternal.

Dengan bertambahnya jumlah penduduk sepanjang tahun dan jumlah lahan budidaya yang tidak akan bertambah jumlahnya, maka untuk meningkatkan produktivitas budidaya masa yang akan datang lebih baik menerapkan budidaya ikan yang intensif dengan memperhatikan aspek ramah lingkungan. Program intensifikasi dalam bidang budidaya ikan dapat dilakukan antara lain adalah :
1. Rekayasa faktor eksternal yaitu lingkungan hidup ikan dan pakan, contoh yang sudah dapat diaplikasikan adalah budidaya ikan pada kolam air deras dan membuat pakan ikan ramah lingkungan.
2. Rekayasa faktor internal yaitu melakukan rekayasa terhadap genetik ikan pada level gen misalnya transgenik, level kromosom misalnya Gynogenesis, Androgenesis,
Poliploidisasi, level sel misalnya dengan melakukan transplantasi sel.
3. Rekayasa faktor eksternal dan internal yaitu menggabungkan antara kedua rekayasa eksternal dan internal.

Oleh karena itu agar dapat memperoleh produktivitas yang tinggi dalam budidaya ikan harus dilakukan seleksi terhadap ikan yang akan digunakan. Seleksi menurut Tave
(1995) adalah program breeding yang memanfaatkan phenotipic variance (keragaman fenotipe) yang diteruskan dari tetua kepada keturunannya. Keragaman fenotipe merupakan penjumlahan dari keragaman genetik, keragaman lingkungan dan interaksi antara variasi lingkungan dan genetik. Seleksi merupakan aplikasi genetik dimana informasi genetik dapat digunakan untuk melakukan seleksi. Seleksi ikan yang paling mudah dilakukan oleh para pembudidaya ikan adalah melakukan seleksi fenotipe dibandingkan dengan seleksi genotipe. Seleksi fenotipe dapat dikelompokkan menjadi dua yaitu seleksi fenotipe kualitatif dan seleksi fenotipe kuantitatif. Menurut Tave (1986), seleksi fenotipe kualitatif adalah seleksi ikan berdasarkan sifat kualitatif seperti misalnya warna tubuh, tipe sirip, pola sisik ataupun bentuk tubuh dan bentuk punggung dan sebagainya yang diinginkan. Fenotipe kualitatif ini merupakan sifat yang tidak dapat diukur tetapi dapat dibedakan dan dikelompokkan secara tegas. Sifat ini dikendalikan oleh satu atau beberapa gen dan sedikit atau tidak dipengaruhi oleh faktor lingkungan
Sedangkan seleksi fenotipe kuantitatif adalah seleksi terhadap penampakan ikan atau sifat yang dapat diukur, dikendalikan oleh banyak pasang gen dan dipengaruhi oleh lingkungan. Adapun ciri-ciri atau parameter yang dapat diukur antara lain adalah panjang tubuh, bobot, persentase daging, daya hidup, kandungan lemak, protein, fekunditas dan lain sebagainya.

Fenotipe adalah bentuk luar atau bagaimana kenyataannya karakter yang dikandung oleh suatu individu atau fenotipe adalah setiap karakteristik yang dapat diukur atau sifat nyata yang dipunyai oleh organisme. Fenotipe merupakan hasil interaksi antara genotipe dan lingkungan serta interaksi antara genotipe dan lingkungan serta merupakan bentuk luar atau sifat- sifat yang tampak. Menurut Yatim
(1996), genotipe menentukan karakter sedangkan lingkungan menetukan sampai dimana tercapai potensi itu. Fenotipe tidak bisa melewati kemampuan atau potensi genotipe. Yang dimaksud dengan karakter itu adalah sifat fisik dan psikis bagian-bagian tubuh atau jaringan. Karakter diatur oleh banyak macam gen, atau satu gen saja. Berhubung dengan banyaknya gen yang menumbuhkan karakter maka dibuat dua kelompok karakter yaitu karakter kualitatif dan karakter kuantitatif. Karakter kualitatif adalah karakter yang dapat dilihat ada atau tidaknya suatu karakter. Karakter ini tidak dapat diukur atau dibuat gradasi (diskontinyu). Sedangkan karakter kuantitatif adalah karakter yang dapat diukur nilai atau derajatnya, sehingga ada urutan
gradasi dari yang rendah sampai yang tinggi (kontinu). Karakter kuanlitatif ditentukan ole satu atau dua gen saja sedangkan karakter kuantitatif disebabkan oleh banyak gen (tiga atau lebih). Dengan melakukan seleksi maka akan menghasilkan suatu karakter yang mempunyai nilai ekonomis penting dan karakter fenotipe yang terbaik sesuai dengan keinginan para pembudidaya.

Untuk mendapatkan induk ikan yang unggul dilakukan program seleksi dengan menerapkan beberapa program pengembangbiakan antara lain dengan kegiatan selective breeding, hibridisasi/outbreeding/ crossbreeding, inbreeding, mono- seks/seks reversal atau kombinasi beberapa program breeding. Dalam bab ini akan dibahas semua program breeding tersebut sehingga dalam budidaya ikan akan diperoleh hasil baik induk dan benih yang unggul. Induk yang unggul akan menghasilkan benih yang unggul sehingga dengan memelihara benih unggul proses budidaya akan menguntungkan dengan melihat laju pertumbuhan ikan yang optimal sehingga produktivitas budidaya ikan akan meningkat.



Penanganan Ikan

Perlu difahami bahwa mutu hasil perikanan (ikan) yang terbaik atau ”segar” adalah saat
dipanen dimana hasil penanganan atau pengolahan selanjutnya tidak akan pernah
menghasilkan mutu yang lebih baik, oleh karena itu cara penanganan pertama saat
panen menjadi sangat penting karena akan berarti ikut mempertahankan mutunya
selama tahapan distribusi, penanganan dan pengolahan selanjutnya sampai siap
dikonsumsi.

Agar dapat melakukan penanganan hasil perikanan secara benar untuk
mempertahankan mutunya perlu diketahui ciri-ciri mutunya (ikan dan hasil perikanan
lainnya) yang baik dan penyebab kerusakaannya sehingga dapat dicari dan dipilih cara
penanganan yang paling efektif dan efisien untuk mencegah atau menghambat aksi
penyebab kerusakan tersebut.

Kondisi komposisi kimiawi dan fisik produk perikanan saat dipanen merupakan ciri atau
kriteria mutu(kesegaran)-nya sekaligus merupakan penyebab dominan kerusakan
mutunya dibanding penyebab lainnya seperti kontaminasi dan benturan/tekanan fisik.
Perubahan komposisi kimiawi dan fisik produk perikanan yang terjadi segera setelah
dipanen dapat efektif dihambat dengan perlakuan suhu rendah. Fakta telah
menunjukkan bahwa perlakuan suhu rendah menggunakan es merupakan salah satu
cara yang paling cocok untuk menangani ikan setelah dipanen sampai saat siap untuk
diolah lebih lanjut. Cara ini erelatif murah dan mudah untuk dikerjakan sesuai dengan
kondisi tingkat pengetahuan teknik maupun sosial-ekonomi nelayan, petani ikan dan
pedagang ikan saat ini.

Untuk melakukan penanganan ikan dengan es secara baik dan mencegah penyebab
kerusakan lainnya seperti kontaminasi maupun benturan/tekanan fisik, diperlukan
sarana yang cocok dalam jumlah cukup. Oleh karena itu sarana tersebut merupakan
syarat mutlak yang harus disediakan diatas kapal penangkap ikan dan di tempat
penanganan ikan segar lainnya seperti di dermaga pembongkaran, tempat pelelangan
ikan (TPI) dan gudang pada pangkalan pendaratan ikan (PPI) atau pelabuhan
perikanan.

Penyebab utama kerusakan ikan dilihat dari sumbernya meliputi penyebab dari keadaan
ikan itu sendiri pada saat ditangkap dan penyebab dari kondisi diluar tubuh ikan.
Penyebab kerusakan oleh keadaan ikannya sendiri meliputi kondisi fisik dan komposisi
kimiawi ikan, sedangkan kerusakan dari luar tubuh ikan disebabkan oleh kontaminasi
dan tekanan atau benturan fisik yang dialami ikan selama penanganannya dilakukan.
Dengan mengetahui mekanisme penyebab terjadinya kerusakan dapat diupayakan
langkah-langkah pencegahan untuk menghambat proses penurunan mutu ikan.
Dari bentuk fisiknya bagian tubuh ikan yang dapat dimakan (edible portion) adalah
dagingnya, sedangkan bagian tubuh lainnya seperti kepala, insang, isi perut, kulit, sirip
dan tulang merupakan bagian yang tidak dapat dimakan meskipun pada jenis ikan
tertentu bagian ini merupakan produk perikanan eksklusif yang mahal harganya setelah
mendapatkan perlakuan pengolahan/penanganan khusus. Porsi dari bagian-bagian
tersebut sangat tergantung dari jenis ikan yang berkaitan dengan bentuk tubuhnya,
dimana secara garis besar bentuk tubuh ikan dapat dikelompokkan sebagai berikut
(Zaitsev, et al., 1969) : (1) seperti bentuk torpedo atau cerurtu contoh ikan tuna
(Thunnus spp.), tongkol (Euthynnus spp.), layang (Decapterus spp.), kembung
(Rastrelliger spp.), lemuru (Sardinella longiceps) dsb., (2) bentuk panah atau tombak,
Contoh : ikan julung-julung (Tylosurus spp., Hemir hamphus spp.), ikan layur (Trichiurus
spp.) dsb., (3) bentuk pipih dengan ukuran potongan vertikal yang jauh lebih panjang
dari potongan horisontalnya, contoh ikan kakap (Lates calacarifer), kerapu
(Ephinephelus spp.), bawal (Pampus spp., Formio spp;) dsb., (4) bentuk pipih mendatar
melebar dengan ukuran potongan vertikal yang pendek dibandingkan dari potongan
horisontalnya, contoh ikan sebelah (Psettodidae), ikan lidah (Cynoglossus spp.,
Pleuronectus spp.) ikan pari (Trigonidae) dsb., (5) bentuk ular, contoh : ikan malung
(Muraenesox cinereus), belut laut dsb.
Daging atau otot ikan karena kandungan zat gizinya adalah merupakan bagian tubuh
ikan yang lazim menjadi target untuk dikonsumsi. Komposisi kimiawi daging ikan segar
secara umum terdiri dari 16-24 % protein, 0,5-10,5 % lemak, 1-1,7% mineral dan 64-
81% air. Komposisi inilah yang menyebabkan daging ikan segar menjadi media yang
baik untuk pertumbuhan mikroba (jasad renik), dimana mikroba mencerna atau
mengurai zat gizi tersebut menjadi senyawa yang lebih sederhana dan menyebabkan
daging ikan menjadi rusak atau busuk. Oleh karena itu tujuan utama penanganan ikan
segar adalah mencegah terjadinya hal ini. Komposisi kimiawi daging ikan tergantung
tergantung antara lain kepada jenis ikan, kematangan atau kedewasaan dan musim.

Salah satu bentuk protein daging ikan adalah berupa enzim yang meskipun jumlahnya
hanya sedikit tetapi berperan penting mengurai komposisi daging ikan pada saat ikan
hidup melakukan gerakan di air. Bagian komposisi daging ikan yang berperan dalam
pergerakan otot ikan hidup adalah glikogen otot, suatu bentuk senyawa gula
sederhana yang dikandung otot daging dalam jumlah sedikit sebagai cadangan energi.
Pada ikan hidup hasil uraian glikogen oleh enzim menghasilkan energi untuk gerakan
otot dengan limbah berupa asam laktat, air dan CO2. Limbah ini secara aerob diproses
dan dibuang keluar tubuh ikan melalui respirasi dan urin ikan. Apabila ikan mati, proses
ini terjadi secara anaerob dan kerja enzim menjadi tak terkendali dalam mengurai
glikogen otot yang ada didalam daging menghasilkan energi berupa ketegangan otot
daging ikan sehingga tubuh ikan menjadi kaku – sulit/tidak dapat dilipat yang lazim
disebut sebagai keadaan rigormortis. Limbahnya terutama asam laktat akan tertimbun
didalam otot daging sehingga menaikkan keasamannya. Lamanya rigormortis
tergantung persediaan glikogen pada otot daging ikan dimana semakin banyak
persediannya (berarti ikan tidak dalam keadaan lelah saat mati) semakin lama ikan
dalam kondisi rigormortis. Untuk keperluan handling yang perlu difahami disini adalah
sejak ikan mati sampai dengan selesainya keadaan rigormortis proses kerusakan
daging oleh mikroba pembusuk tidak terjadi, karena selama keadaan tersebut
tingkat keasaman daging ikan tidak sesuai bagi pertumbuhan mikroba pembusuk.
Setelah proses rigormortis selesai terjadi penurunan keasaman daging karena
menurunnya kadar asam laktat, sehingga segera mencapai tingkat keasaman yang
sesuai bagi pertumbuhan mikroba pembusuk.

Bagian tubuh ikan hidup yang selalu mengandung mikroba adalah lendir di
permukaan kulit, insang dan isi perut, dimana setelah ikan mati bagian ini merupakan
pusat konsentrasi mikroba pengurai-pembusuk yang akan menyebar berpenetrasi ke
daging ikan melalui permukaan kulit yang luka, sistim pembuluh darah dan permukaan
bagian dalam dinding perut yang luka untuk mengurai/merubah komposisi kimiawi
daging sehingga ikan menjadi menurun mutunya sampai menjadi busuk. Khusus untuk
isi perut ikan, selain mikroba juga mengandung enzim-enzim pencerna protein, lemak
dsb sehingga harus dijaga jangan sampai pecah selama penanganannya agar enzim-
enzim tersebut tidak merusak dinding perut ikan bagian dalam yang selanjutnya juga
merusak daging ikannya.
Perubahan fisik ikan yang terjadi pada proses kematian ikan karena diangkat dari air
atau tercekik adalah :
- Saat proses kematian akan keluar lendir dipermukaan tubuh ikan dengan jumlah
yang berlebihan dan ikan akan mengelepar mengenai benda disekelilingnya. Apabila
benda yang terkena benturan ikan cukup keras, kemungkinan besar tubuh ikan akan
menjadi memar dan luka-luka.
- Selanjutnya setelah ikan mati secara perlahan-lahan akan mengalami kekakuan
tubuh (rigormortis) yang diawali dari ujung ekor menjalar kearah bagian kepalanya.
Lama kekakuan ini tergantung dari tingkat kelelahan ikan pada saat kematiannya.
- Setelah proses rigormortis selesai, kerusakan ikan akan mulai terlihat berupa
perubahan-perubahan : berkurangnya kekenyalan perut dan daging ikan, berubahnya
warna insang, berubahnya kecembungan dan warna mata ikan, untuk ikan bersisik
menjadi lebih mudah lepas sisiknya dan kehilangan kecemerlangan warna ikan, bau
berubah dari segar menjadi asam.
- Perubahan tersebut akan meningkat intensitasnya sesuai dengan bertambahnya
tingkat penurunan mutu ikan, sampai yang terakhir ikan menjadi tidak layak untuk
dikonsumsi manusia atau busuk.
Menilai kesegaran ikan yang paling mudah adalah menggunakan metode indrawi atau
organoleptik dengan mengamati bagian tubuh ikan yang sensitif terhadap perubahan
mutu dagingnya, seperti warna/rupa, rasa, kekenyalan dan kekompakan daging, kondisi
mata, kondisi insang, dinding perut, bau atau aroma. Berikut ini ciri-ciri indrawi ikan
segar dan penyimpangan dari ciri tersebut menunjukkan telah terjadinya penurunan atau
perubahan mutunya. Ciri-ciri indrawi ikan segar :
- Rupa dan warna: mata masih jernih, warna merah insang, kecemerlangan kulit/sisik
dan warna putih-merah dagingnya spesifik jenis ikan dalam keadaan segar dan
bersih.
- Bau: segar spesifik jenis dan mempunyai bau rumput laut segar.
- Daging elastis (kenyal), padat dan kompak, apabila dicicip berasa netral dan sedikit
manis.
Prinsip mencegah atau menghambat kerusakan ikan oleh faktor komposisi fisik dan
kimiawi ikan adalah :
- Memberi perlakuan suhu rendah terhadap ikan segera setelah ditangkap atau
dipanen, karena proses enzimatis dan aktifitas mikroba pengurai daging akan sangat
dihambat pada suhu mendekati 0°C (3 s/d 5°C). Suhu rendah ikan ini harus
dipertahanlan selama pencucian, penyiangan, pengemasan, penyimpanan dan
distribusinya.
- Mempercepat dan mempermudah kematian ikan segera setelah diangkat dari air
dengan cara mendinginkannya dalam air es dingin atau segera memukul kepalanya
tepat dibagian otak khsus untuk ikan berukuran besar seperti tuna, layaran dsb yang
ditangkap dengan pancing (rawe atau long-line)
- Khusus untuk ikan berukuran besar diikuti dengan pembuangan darah ikan
(bleeding), karena darah merupakan media penyebaran mikroba pembusuk dari
insang ke daging ikan melalui pembuluh darah ikan.
- Menyiangi dengan membuang insang dan isi perut ikan sebagai pusat konsentrasi
mikroba alami.
- Mencuci ikan segera setelah ditangkap, mati dan disiangi, dengan tujuan
membersihkan lendir dipermukaan tubuhnya yang merupakan salah satu pusat
konsentrasi mikroba pembusuk yang secara alami ada di tubuh ikan, dan sisa-sisa
darah selama proses penyiangan.
Kontaminasi adalah penularan kotoran, mikroba pembusuk atau patogen (penyebab
penyakit) dan bahan kimia berbahaya ke tubuh ikan yang berasal dari lingkungan
disekelilingnya saat masih hidup, saat ditangani diatas kapal dan didarat, sehingga ikan
yang tertular menjadi tercemar dan tidak layak lagi untuk dikonsumsi meskipun
kondisinya segar.

Prinsip untuk mencegah terjadinya kontaminasi antara lain :
- Menangkap / memelihara ikan di perairan yang tidak tercemar oleh kotoran, mikroba
pembusuk atau patogen (penyebab penyakit) dan bahan kimia berbahaya.
- Menggunakan air bersih dengan standar air bahan baku untuk diminum untuk
mencuci dan mengemas ikan, mencuci peralatan dan bangunan di tempat-tempat
melakukan penanganan ikan.
- Menggunakan es yang dibuat dari air bersih, disimpan, diangkut dan dihancurkan
dengan peralatan yang bersih.
- Menggunakan bahan pengemas, peralatan dan bangunan yang bersih, dimana
permukaannya yang bersentuhan langsung dengan ikan harus cukup halus dan
bersih, serta mudah dibersihkan.
- Melindungi ikan dengan menempatkannya dalam wadah yang terlindung dari
serangga, binatang pengerat
- Memisahkan wadah ikan yang berbeda jenis dan mutunya.
- Menyiapkan wadah-wadah untuk penampung limbah cair atau padat sesuai dengan
rencana pengelolaannya. Wadah-wadah yang digunakan untuk menampung limbah
padat dan saluran-saluran penampung limbah cair harus dalam keadaan tertutup
agar tidak dihinggapi serangga pencemar (lalat, kecoa dsb.).
- Mencuci semua peralatan dan bangunan (permukaan lantai, dinding, wastafel)
tempat menangani ikan setiap kali pekerjaan penanganan ikan akan dimulai dan
setelah diakhiri.
Tekanan dan benturan fisik yang dialami ikan selama penangkapan dan penanganan-
nya diatas kapal dan di pangkalan pendaratan ikan dapat menyebabkan kerusakan fisik
pada tubuh ikan seperti dagingnya memar, tubuhnya luka, perutnya pecah dsb. Tekanan
dan benturan fisik atas ikan harus dihindari pada tahapan-tahapan kegiatan
penanganan ikan di atas kapal dan di pangkalan pendaratan ikan atau pelabuhan
perikanan. Prinsip cara menghindarinya antara lain :
- Memahami tahapan kegiatan penanganan ikan di kapal penangkap ikan dan di
pangkalan pendaratan ikan (PPI) atau pelabuhan perikanan.
- Menyiapkan peralatan dan perlengkapan handling yang cocok dengan jenis-ukuran
ikan dan kondisi tempat penanganan dengan jumlah cukup. antara lain meliputi
wadah dan peralatan bongkar muat ikan yang memudahkan pelaksanaan pekerjaan
pemindahan, pengangkutan dan penyimpanan ikan.
- Setiap saat melakukan pemindahan ikan agar selalu berusaha mencegah atau
melindungi ikan dari perlakuan kasar atau tekanan fisik yang dapat melukai ikan atau
membuat dagingnya memar. Oleh karena itu harus diusahakan seminimal mungkin
melakukan pemindahan ikan


Tanaman Pisang

Meningkatnya kesadaran akan pentingnya hidup sehat mendorong kenaikan kebutuhan produk hortikultura, khususnya buah-buahan. Pisang (Musa sp.) merupakan komoditas buah tropis yang sangat popular di dunia. Hal ini dikarenakan rasanya lezat, gizinya tinggi, dan harganya relatif murah. Pisang merupakan salah satu tanaman yang mempunyai prospek cerah di masa datang karena di seluruh dunia hampir setiap orang gemar mengkonsumsi buah pisang. Selain itu tanaman pisang sangat mudah dibudidayakan dan cepat menghasilkan sehingga lebih disukai petani untuk dibudidayakan. Banyak jenis tanaman pisang komersial yang telah dibudidayakan di Indonesia, salah satunya adalah pisang cavedish (Musa paradisiacal L.).
Pisang cavedish di Indonesia lebih dikenal dengan pisang ambon putih. Pisang cavedish juga banyak dijadikan sebagai konsumsi pabrik puree, tepung pisang sebagai bahan makanan bayi. Pohon pisang cavedish mempunyai tinggi batang 2,5 - 3 m dengan warna hijau kehitaman. Daunnya berwarna hijau tua. Panjang tandan 60 - 100 cm dengan berat 15 - 30 kg. Setiap tandan terdiri dari 8 - 13 sisiran dan setiap sisiran ada 12 - 22 buah. Daging buah putih kekuningan, rasanya manis agak asam, dan lunak. Kulit buah agak tebal berwarna hijau kekuningan sampai kuning muda halus. Umur panen 3 - 3,5 bulan sejak keluar jantung, sehingga cavedish sering dipanen pada umur 12 bulan setelah tanam.(http://brmc.biotrop.org/web/2009).
Menurut Suyanti dan Supriyadi (2008), pisang kaya akan mineral seperti kalium, magnesium, besi, posfor dan kalsium, mengandung vitamin B, B6, dan C. Gula pisang merupakan gula buah yang terdiri atas gula fruktosa berindeks glikemik lebih rendah dekstrak dibandingkan dengan glukosa sehingga cukup baik sebagai penyimpan energi karena metabolismenya sedikit lebih lambat. Bagi orang yang bertubuh gemuk atau takut gemuk, pisang merupakan buah yang sangat baik untuk dikonsumsi sekalipun dalam jumlah banyak karena kandungan lemaknya masih lebih rendah daripada apel, yaitu hanya 0.1%, sementara kandungan lemak apel 0.3%.
Tabel 1. Kandungan Gizi Tiap 100 g Buah Pisang



Sumber : USDA Nutrient data base, 2007 dalam Suyanti (2008)

Dari tabel di atas tampak bahwa buah pisang mengandung unsur gizi yang beragam dan cukup tinggi. Vitamin dan mineral tersebut sangat baik bagi kesehatan tubuh. Protein dan karbohidrat yang terkandung di dalamnya sangat penting bagi pembentukan sel tubuh seperti pada otot, daging, kulit, dan tulang, serta regenerasi sel yaitu mengganti sel-sel yang baru. Disamping itu, karbohidrat juga berfungsi sebagai sumber energi untuk meningkatkan kemampuan tubuh dalam melakukan berbagai aktivitas seperti bergerak, berpikir, bernafas, dan sebagainya.
Kebutuhan konsumen terhadap komoditi pisang terus meningkat. Sehingga harus diikuti oleh suatu upaya peningkatan produksi yang tetap mempertahankan kualitas. Salah satu teknologi alternatif yang dapat digunakan untuk mengatasi permasalahan pengadaan bibit yang berkualitas adalah melalui teknik kultur jaringan. Teknik kultur jaringan dapat menghasilkan bibit pisang yang sehat dan seragam dalam jumlah besar serta dalam kurun waktu yang relatif singkat dan tidak tergantung iklim, sehingga ketersediaan bibit terjamin.
Menurut gunawan (1992) kultur jaringan merupakan suatu metode untuk mengisolasi bagian tumbuhan dari bagian tanaman seperti protoplasma, sel, sekelompok sel, jaringan dan organ, serta menumbuhkannya dalam kondisi aseptic, sehingga bagian-bagian tersebut dapat memperbanyak diri dan beregenerasi menjadi tanaman utuh kembali. Teknik kultur jaringan beranjak dari teori totipotensi (total genetic potensial) yang disampaikan oleh Scleiden dan Schwan pada tahun 1838, bahwa sel tanaman adalah sutu unit yang otonom yang di dalamnya mengandung material genetic lengkap, sehingga apabila ditumbuhkan di dalam lingkungan yang sesuai, sel tersebut dapat tumbuh dan berdiferensiasi menjadi tanaman lengkap.
Melalui perbanyakan teknik kultur jaringan, akan diperoleh tanaman baru dalam waktu yang singkat, dalam jumlah banyak, seragam, bebas patogen dan memiliki sifat seperti induknya. Aplikasi teknik kultur jaringan dalam perbanyakan tanaman telah menjadi kegiatan rutin terutama pada komoditas hortikultura (Mattjik, 2005 dalam Maslukhah, 2008).
Bagian dari tanaman yang digunakan sebagai bahan untuk inisiasi suatu kultur, disebut eksplan. Eksplan sebaiknya yang masih muda dan bebas dari penyakit. Pemindahan kultur ke media lain, baik media yang sama ataupun yang lain, disebut subkultur. Setiap masa inkubasi disebut passage. Passage pertama adalah subkultur pertama dari jaringan yang terbentuk dari eksplan awal. Bahan yang diambil dari setiap subkultur disebut sebagai inokulum (Gunawan, 1992). Eksplan harus diusahakan supaya dalam keadaan septik melalui prosedur sterilisasi dengan berbagai bahan kimia. Dari eksplan yang aseptik kemudian diperoleh kultur yang asenik yaitu kultur dengan hanya satu macam organisme yang diinginkan (Gunawan, 1992).
Menurut Yusnita (2003), bagian tanaman yang dapat digunakan sebagai eksplan adalah eksplan atau bagian-bagian eksplan seperti aksis embrio atau kotiledon, tunas pucuk, potongan batang satu buku (nodal explant), potongan akar, potongan daun, potongan umbi batang, umbi akar, empelur batang, umbi lapis dengan sebagian batang, dan bagian bunga. Eksplan satu buku pada tunas jati diambil dari trubusan tunas yang baru tumbuh, sedangkan pada pisang diambil bagian bonggol pada anakan atau mata tunas muncul.
Eksplan yang digunakan dapat berukuran sangat kecil seperti kelompok sel sampai ukuran cukup besar yang sudah membentuk organ. Eksplan yang berukuran besar mudah terkontaminasi, sedangkan eksplan yang berukuran kecil tingkat pertumbuhannya lebih rendah. Stover dan Simmonds (1987) dalam Maslukhah (2008) berpendapat bahwa ukuran eksplan yang baik untuk perbanyakan pisang secara in vitro berkisar antara 0,2 cm-0,6 cm.

Keberhasilan dalam penggunaan metode kultur jaringan sangat bergantung pada media yang digunakan (Gunawan, 1992). Berbagai komposisi media kultur telah diformulasikan untuk mengoptimalkan perkembangan dan pertumbuhan tanaman yang dikulturkan. Formulasi dari suatu media harus mengandung hara makro dan mikro serta energi. Zat-zat tersebut bisa dicampur sendiri dari bahan dasarnya, atau diperoleh sudah dalam bentuk campuran (Yusnita, 2003).
Media kultur yang memenuhi syarat adalah media yang mengandung nutrien makro dan mikro dalam jumlah dan perbandingan tertentu, serta energi (umumnya digunakan sukrosa). Media kultur juga mengandung satu atau dua macam vitamin dan zat pengatur tumbuh (Christine, 2004) . Istilah Zat Pengatur Tumbuh (ZPT) tanaman merupakan istilah lain dari hormon tanaman yang banyak digunakan oleh ahli fisiologi tumbuhan. Istilah ZPT ini dapat mencakup semua zat baik zat endogen maupun eksogen yang dapat mempengaruhi pertumbuhan tanaman.
Menurut Yusnita (2003), salah satu komponen media yang menentukan keberhasilan kultur jaringan adalah jenis dan konsentrasi ZPT yang digunakan. Jenis dan konsentrasi ZPT tergantung tujuan dan tahap pengkulturan. Pengkulturan untuk menumbuhkan dan menggandakan tunas aksilar atau merangsang tumbuhnya tunas adventif, ZPT yang digunakan adalah sitokinin atau campuran sitokinin dengan auksin rendah. Pada pengkulturan untuk merangsang pembentukan akar pada tunas, biasanya menggunakan ZPT auksin.
Menurut Abidin (1985), fithohormon digolongkan kedalam 5 kelompok yaitu auksin, sitokinin, giberelin, etilen dan asam absiik. Ada 2 golongan ZPT yang berperan sangat penting dalam kultur jaringan yaitu auksin dan sitokinin. Kedua golongan ZPT ini mempengaruhi pertumbuhan dan morfogenesis dalam kultur sel, jaringan dan organ. Efektifitas dari pengaturan ZPT dipengaruhi berbagai hal yaitu bahan tanam itu sendiri, jenis persenyawaan yang tepat dan faktor lingkungan tumbuh.
Sedangkan vitamin adalah bahan organik bagian dari enzim atau kofaktor yang esensial untuk fungsi metabolic (Lieberman dan Bruning, 1990 dalam Maslukhah, 2008). Vitamin diperlukan tanaman untuk pertumbuhan jaringan. Tanaman biasanya menghasilkan vitamin dengan sendirinya, tetapi dalam kultur jaringan vitamin harus ditambahkan pada media sebagai penyedia sumber vitamin yang sangat dibutuhkan tanaman untuk perkembangan jaringan tanaman. Vitamin yang biasanya ditambahkan adalah vitamin B0 (thiamine), vitamin B6 (pyridoxine) dan niasin. Asam amino diperlukan dalam mensintesis protein dan diferensiasi dari jaringan, dan asam amino yang diperlukan asam aspartat, glycine, dan tyrosine (Gunawan, 1992).
Proses penyediaan bahan kimia yang tidak mudah dan mahalnya bahan kimia sebagai bahan dasar dalam pembuatan media, menyebabkan perlu dilakukan penelitian untuk mendapatkan bahan media alternatif yang lebih murah dan mudah dibuat. Tetapi tetap mampu memenuhi kebutuhan tanaman akan unsur hara dan vitamin selama pertumbuhan. Karena tanaman dalam kultur jaringan memerlukan unsur hara makro dan mikro, vitamin dan zat pengatur tumbuh untuk terus tumbuh dan berkembang.
Pada pembuatan media kultur jaringan dapat ditambahkan bahan organik kompleks sebagai sumber gula, vitamin, ZPT dan asam amino. Contoh bahan organik kompleks itu adalah jus tomat, ekstrak kentang, ekstrak toge, ekstrak ubi, ekstrak papaya, dan ekstrak pisang. Penggunaan bahan tersebut sebagai bahan tambahan media dapat berbeda pengaruhnya pada tanaman yang berbeda (Gunawan, 1992). Ekstrak pisang sebagai bahan tambahan media telah dicoba oleh Maslukhah (2008) untuk kultur in vitro pisang Rajabulu. Melihat kandungan vitamin yang dimiliki oleh ekstrak pisang, maka dapat digunakan untuk mengganti vitamin sintesis yang biasa digunakan dalam media MS.
Jenis pisang yang umumnya digunakan sebagai media dalam kultur jaringan yaitu jenis pisang ambon. Bubur pisang yang biasa digunakan berkisar 150-200 g/l. Data PKBT (2007) dalam Maslukhah (2008) menunjukkan bahwa vitamin yang terkandung dalam pisang adalah vitamin A, Vitamin B, Riboflavin (Vitamin B1), piridoksin (Vitamin B6) dan asam askorbat (Vitamin C). sedangkan gula dalam pisang terdiri atas senyawa 4,6% dextrose, 3,6% levulosa, dan 2% sukrosa.
Menurut Arditti dan Ernst (1992) dalam Maslukhah (2008) bahwa dalam buah pisang terdapat hormon auksin dan giberelin. Watimena et all (1992) dalam Maslukhah (2008) juga menyatakan bahwa setiap buah yang masak terdapat hormone auksin di dalamnya. Auksin dalam kultur jaringan, selain berfungsi untuk merangsang pemanjangan sel juga pembentukan kalus, klorofil, morfogenesis akar dan tunas, serta embryogenesis.
Media Murashige dan skoog (MS) merupakan salah satu media yang sering digunakan dalam teknik kultur jaringan. Media kultur tersebut fisiknya dapat berbentuk cair atau padat. Media berbentuk padat menggunakan pemadat media, seperti agar-agar atau gelrite (Yusnita, 2003). Menurut Wattimena et al. (1992) dalam Christene (2004) penggunaan media padat baik digunakan bila eksplan berukuran kecil karena mudah dilihat dan berada di atas permukaan media sehingga memerlukan alat bantu untuk aerasi. Selain itu juga pembentukan tunas dan akar lebih teratur sehingga mudah diamati pada media yang diam.
Agar-agar merupakan salah satu bahan yang dapat memadatkan media tanam. Menurut Gunawan (1992), agar-agar membeku pada suhu 450C dan mencair pada suhu 1000C sehingga pada kisaran suhu kultur agar-agar tetap dalam keadaan beku yang stabil, tidak dicerna oleh enzim tanaman dan tidak bereaksi dengan persenyawaan penyusun media.
Kultur jaringan in vitro pada pisang saat ini banyak dilakukan. Eksplan ujung tunas (shoot tip) dapat digunakan sebagai bahan tanaman yang dapat menghasilkan 8 tunas per 30 hari. Dalam 360 hari dapat diperoleh kurang lebih 1.000.000 tunas (Krikorian, 1993 dalam Maslukhah, 2008). Menurut Strosse (2004) dalam Maslukhah (2008), penerapan kultur in vitro pada pisang ditujukan untuk perbanyakan tunas dan perlindungan tanaman dari penyakit. Strosse juga menambahkan ukuran optimal eksplan yang digunakan tergantung dari tujuannya. Untuk perbanyakan cepat, ukuran eksplan 3-10 mm, sedangkan jika untuk tujuan menghilangkan bakteri ukuran eksplan 0,5-1 mm. Media untuk perbanyakan mikro pisang adalah MS + 30-40 g/l sukrosa, 2.25 mg/l BA + 0.175 mg//l IAA (untuk inisiasi tunas), dan pemadat agar 5-8 gr/l.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Maslukhah (2008) terhadap pisang Rajabulu menggunakan ekstrak pisang, hasil terbaik diperoleh pada kombinasi ekstrak pisang 50 g/l tanpa vitamin sintesis yang sebelumnya telah ditumbuhkan pada media perbanyakan menggunakan BAP 2 ppm dan TDZ 0,4µM.
Maslukhah (2008) melakukan penelitian pada pisang Rajabulu (Musa paradisiaca L. AAB Group) dengan menggunakan eksplan tunas sub kultur pisang Rajabulu Cianjur pada media yang mengandung BA dan TDZ untuk media perbanyakan dan ekstrak pisang pada media perlakuan. Pada penelitian tersebut terlihat bahwa ekstrak pisang 50 g/l memberikan pengaruh yang lebih baik terhadap parameter jumlah tunas, panjang tunas, jumlah daun, panjang daun, jumlah akar dan panjang akar. Konsentrasi tersebut menghasilkan jumlah tunas 3.1 tunas, panjang tunas 11.6 cm, jumlah daun 6.8 daun,, panjang daun 5.9 cm, jumlah akar 8.3 akar, serta panjang akar 9.0 cm.

Tanaman Melon

Melon (Cucumis melo L.) merupakan tanaman buah termasuk famili Cucurbitaceae, banyak yang menyebutkan buah melon berasal dari Lembah Panas Persia atau daerah Mediterania yang merupakan perbatasan antara Asia Barat dengan Eropa dan Afrika. Dan tanaman ini akhirnya tersebar luas ke Timur Tengah dan ke Eropa. Pada abad ke-14 melon dibawa ke Amerika oleh Colombus dan akhirnya ditanam luas di Colorado, California, dan Texas. Akhirnya melon tersebar keseluruh penjuru dunia terutama di daerah tropis dan subtropis termasuk Indonesia.
Tanaman melon mirip dengan tanaman ketimun (Cucumis sativus L.), merupakan tanaman semusim, menjalar di tanah atau dapat dirambatkan pada lanjaran/turus bambu. Tanaman ini mempunyai banyak cabang, kira-kira 15-20. Tanaman melon beradaptasi dengan baik pada tanah liat berpasir, yang banyak mengandung bahan organik. Namun, melon masih dapat tumbuh juga pada tanah pasir atau liat. Tanah yang digunakan sebaiknya bersifat netral, sedikit asam, atau sedikit basa. (Nur Tjahjadi, 1989).
Buah Melon berada di Indonesia sebagai buah impor yang dikonsumsi oleh kalangan atas terutama tenaga ahli asing yang tinggal di Indonesia. Peraturan pemerintah yang membatasi peredaran buah impor di Indonesia pada saat itu menyebabkan pengusaha agribisnis membudidayakan buah melon di Indonesia. Melon mulai dikembangkan di Indonesia pada tahun 1980-an di daerah Cisarua (Bogor) dan Kalianda (Lampung), oleh PT Jaka Utama Lampung. Sampai sekarang tanaman melon sudah berkembang dan tersebar di Indonesia dengan beberapa sentra produksi melon diantaranya adalah di Kabupaten Ngawi, Madiun, Ponorogo (Propinsi Jawa Timur), Kabupaten Sragen, Sukoharjo dan Klaten (Propinsi Jawa Tengah). Varietas melon yang ditanam di Indonesia (yang sudah dilepas oleh Menteri Pertanian) adalah Sky Rocket, Action 434, MAI 119, Ladika, Sumo, Melindo, dll. (Dinas Pertanian Propinsi DIY, 2009).
Buah melon memiliki kandungan gizi yang sangat bermanfaat untuk kesehatan, menurut Budi Samadi (2007), sebagian besar kandungan buah melon terdiri atas air yakni sekitar 14%, sedangkan sisanya terdiri atas karbohidrat, protein, vitamin, dan beberapa unsur yang lain.




Dari tabel di atas tampak bahwa buah melon mengandung unsur gizi yang beragam dan cukup tinggi. Vitamin dan mineral tersebut sangat baik bagi kesehatan tubuh. Protein dan karbohidrat yang terkandung didalamnya sangat penting bagi pembentukan sel tubuh seperti pada otot, daging, kulit, dan tulang, serta regenerasi sel yaitu mengganti sel-sel yang baru. Disamping itu, karbohidrat juga berfungsi sebagai sumber energi untuk meningkatkan kemampuan tubuh dalam melakukan berbagai aktivitas seperti bergerak, berpikir, bernafas, dan sebagainya.


Kandungan vitaminnya bermanfaat bagi tubuh untuk mencegah berbagai macam penyakit, misalnya beri-beri, sariawan, luka pada tepi mulut, penyakit mata, radang saraf, pellagra, dan lain-lain. Sementara, mineralnya sangat bermanfaat bagi pembentukan tulang, gigi, sel-sel darah merah. Serat yang terkandung dalam daging buah melon juga akan membantu melancarkan proses pencernaan. Di samping itu, buah melon juga mengandung zat adenosin atau zat antikoagulan yang dapat mencegah atau mengobati penyakit hati (lever) dan tekanan darah tinggi atau stroke, serta zat karotenoid yang dapat membantu mengobati penyakit kanker.
Dalam upaya meningkatkan kesejahteraan masyarakat pada umumnya, khususnya petani, pemerintah menetapkan kebijakan dalam memilih urutan jenis tanaman pertanian/hortikultura. Tanaman melon merupakan salah satu tanaman prioritas utama yang perlu mendapat perhatian kita di antara tanaman-tanaman hortikultura. Harga buah melon relatif lebih tinggi dibandingkan dengan komoditi hortikultura pada umumnya. Hal ini akan banyak memberikan keuntungan kepada petani atau pengusaha pertanian tanaman melon. Kenyataan ini memungkinkan adanya perbaikan tata perekonomian Indonesia, khususnya dari bidang pertanian. (Nur Tjahjadi, 1989).
Varietas melon yang diproduksi oleh perusahaan benih cukup banyak macamnya. Berdasarkan pada kenampakan luarnya, melon dibagi menjadi dua kelompok, yaitu yang memilki jaring (net) pada permukaan kulit buahnya dan yang tidak memilki jaring. Dari beberapa varietas tersebut hanya beberapa jenis melon yang diminati oleh petani. Pemilihan ini didasarkan atas permintaan atau minat konsumen dan pasar. Beberapa varietas melon yang terbukti cocok ditanam di Indonesia dan secara umum disenangi oleh para petani melon diantaranya adalah varietas Sky Roket, Ten Me, Delicate, Silver Light, dan Action 434
Berbagai varietas melon telah dikembangkan, namun yang paling banyak diminati oleh petani di Indonesia adalah jenis Sky Roket dan Action 434. Kedua jenis melon ini memiliki jejaring (net) pada permukaan kulit buahnya. Daging buahnya sangat menarik , berwarna hijau kekuningan, berasa manis, berair, dan beraroma harum. Buah ini sangat digemari, terutama apabila dihidangkan sebagai buah segar. Di dalam perusahaan makanan dan minuman, melon sering kali dimanfaatkan sebagai bahan penyedap rasa untuk memberikan aroma segar khas, misalnya pada pembuatan sirup melon, permen melon, dan sebagainya. (Budi samadi, 2007).
Dewasa ini banyak dihasilkan varietas melon hibrida sebagai akibat kemajuan yang cukup pesat di bidang teknologi perbenihan. Beberapa negara yang menaruh perhatian besar terhadap perakitan varietas melon hibrida antara lain Amerika Serikat, Jepang, Taiwan, Thailand, Selandia Baru, Korea, Spanyol, Jerman, dan Belanda (Rukmana, 1994). Benih-benih melon impor ini sangat mendominasi pembudidayaan melon di Indonesia. Kualitas benih-benih tersebut bagus, tetapi harganya cukup mahal. Hal ini menjadi kendala pembudidayaan melon di Indonesia (Setiadi dan Parimin, 2001).
Upaya yang dapat dilakukan untuk membantu penyediaan bibit melon dalam jumlah banyak dan seragam untuk penanaman skala luas tanpa meninggalkan upaya menjamin kualitasnya adalah melalui teknik kultur jaringan kultur jaringan tanaman merupakan teknik menumbuh-kembangkan tanaman, baik berupa sel, jaringan atau organ dalam kondisi aseptik secara in vitro. Teknik ini dicirikan oleh kondisi kultur yang aseptik, penggunaan media kultur buatan dengan kandungan nutrisi lengkap dan ZPT (zat pengatur tumbuh), serta kondisi ruang kultur yang suhu dan pencahayaannya terkontrol. (Yusnita, 2003).
Menurut Gunawan (1992) kultur jaringan tanaman adalah suatu metode untuk menginisiasi bagian dari tanaman seperti protoplasma, sel, kelompok sel, jaringan dan organ, serta menumbuhkannya dalam kondisi aseptik, sehingga bagian-bagian tersebut dapat memperbanyak diri dan beregenerasi menjadi tanaman utuh kembali. Kultur jaringan (tissue culture) sampai sekarang digunakan sebagai suatu istilah umum yang meliputi pertumbuhan kultur secara aseptik dalam wadah yang umumnya tembus cahaya. Seringkali kultur aseptik disebut kultur in vitro yang arti sebenarnya adalah kultur dalam gelas.
Pada awalnya orientasi teknik kultur jaringan hanya pembuktian teori totipotensi sel. Kemudian teknik kultur jaringan berkembang menjadi sarana penelitian pada bidang fisiologi tanaman dan aspek-aspek biokimia tanaman. Dewasa ini, setelah mengalami banyak perkembangan dan penyempurnaan, teknik kultur jaringan telah digunakan dalam industri tanaman. Kultur jaringan sudah di akui sebagai metode baru dalam perbanyakan tanaman. Tanaman yang berhasil diperbanyak besar-besaran melalui kultur jaringan adalah anggrek. Menyusul berbagai tanaman hias dan tanaman hortikultura lainnya (Gunawan, 1992).
Perbanyakan tanaman secara in vitro merupakan contoh aspek yang menarik dari penerapan kultur jaringan, terutama untuk beberapa jenis tanaman bagian yang dipakai sebagai bahan awal perbanyakan adalah daerah meristem pucuk yang besarnya 0.1-0.3 mm dan dikombinasikan dengan perlakuan thermotherapy, maka selain tujuan perbanyakan, juga diperoleh tanaman yang bebas patogen terutama virus (Gunawan, 1992)
Bagian dari tanaman yang digunakan sebagai bahan untuk inisiasi suatu kultur, disebut eksplan. Pemindahan kultur ke media lain, baik media yang sama ataupun yang lain, disebut subkultur. Setiap masa inkubasi disebut passage. Passage pertama adalah subkultur pertama dari jaringan yang terbentuk dari eksplan awal. Bahan yang diambil dari setiap subkultur disebut sebagai inokulum (Gunawan, 1992). Eksplan harus diusahakan supaya dalam keadaan septik melalui prosedur sterilisasi dengan berbagai bahan kimia. Dari eksplan yang aseptik kemudian diperoleh kultur yang aksenik yaitu kultur dengan hanya satu macam organisme yang diinginkan (Gunawan, 1992).
Pada prinsipnya, secara genetik setiap bagian tanaman dapat digunakan sebagai sumber eksplan dalam teknik kultur jaringan. Tetapi, untuk mencapai tingkat keberhasilan yang tinggi, sebaiknya dipilih bagian tanaman yang masih muda dan mudah tumbuh, yaitu bagian meristem yang masih aktif membelah.
Menurut Yusnita (2003), bagian tanaman yang dapat digunakan sebagai eksplan adalah biji atau bagian-bagian biji seperti aksis embrio atau kotiledon, tunas pucuk, potongan batang satu buku (nodal explant), potongan akar, potongan daun, potongan umbi batang, umbi akar, empelur batang, umbi lapis dengan sebagian batang, dan bagian bunga. Eksplan satu buku pada tunas jati diambil dari trubusan tunas yang baru tumbuh, sedangkan pada pisang diambil bagian bonggol pada anakan atau mata tunas muncul.
Keberhasilan dalam penggunaan metode kultur jaringan sangat bergantung pada media yang digunakan (Gunawan, 1992). Berbagai komposisi media kultur telah diformulasikan untuk mengoptimalkan perkembangan dan pertumbuhan tanaman yang dikulturkan. Formulasi dari suatu media harus mengandung hara makro dan mikro serta energi. Zat-zat tersebut bisa dicampur sendiri dari bahan dasarnya, atau diperoleh sudah dalam bentuk campuran (Yusnita, 2003).
Media kultur yang memenuhi syarat adalah media yang mengandung nutrien makro dan mikro dalam jumlah dan perbandingan tertentu, serta energi (umumnya digunakan sukrosa). Media kultur juga mengandung satu atau dua macam vitamin dan zat pengatur tumbuh (Christine, 2004).
Media Murashige dan skoog (MS) merupakan salah satu media yang sering digunakan dalam teknik kultur jaringan. Media kultur tersebut fisiknya dapat berbentuk cair atau padat. Media berbentuk padat menggunakan pemadat media, seperti agar-agar atau gelrite (Yusnita, 2003). Menurut Wattimena et al. (1992) dalam Christene (2004) penggunaan media padat baik digunakan bila eksplan berukuran kecil karena mudah dilihat dan berada di atas permukaan media sehingga memerlukan alat bantu untuk aerasi. Selain itu juga pembentukan tunas dan akar lebih teratur sehingga mudah diamati pada media yang diam.
Agar-agar merupakan salah satu bahan yang dapat memadatkan media tanam. Menurut Gunawan (1992), agar-agar membeku pada suhu 450C dan mencair pada suhu 1000C sehingga pada kisaran suhu kultur agar-agar tetap dalam keadaan beku yang stabil, tidak dicerna oleh enzim tanaman dan tidak bereaksi dengan persenyawaan penyusun media.
Selain media kultur terdapat juga istilah Zat Pengatur Tumbuh (ZPT) tanaman merupakan istilah lain dari hormon tanaman yang banyak digunakan oleh ahli fisiologi tumbuhan. Istilah ZPT ini dapat mencakup semua zat baik zat endogen maupun eksogen yang dapat mempengaruhi pertumbuhan tanaman.
Menurut Yusnita (2003), salah satu komponen media yang menentukan keberhasilan kultur jaringan adalah jenis dan konsentrasi ZPT yang digunakan. Jenis dan konsentrasi ZPT tergantung tujuan dan tahap pengkulturan. Pengkulturan untuk menumbuhkan dan menggandakan tunas aksilar atau merangsang tumbuhnya tunas adventif, ZPT yang digunakan adalah sitokinin atau campuran sitokinin dengan auksin rendah. Pada pengkulturan untuk merangsang pembentukan akar pada tunas, biasanya menggunakan ZPT auksin.
Menurut Abidin (1985), fithohormon digolongkan kedalam 5 kelompok yaitu auksin, sitokinin, giberelin, etilen dan asam absiik. Ada 2 golongan ZPT yang berperan sangat penting dalam kultur jaringan yaitu auksin dan sitokinin. Kedua golongan ZPT ini mempengaruhi pertumbuhan dan morfogenesis dalam kultur sel, jaringan dan organ. Efektifitas dari pengaturan ZPT dipengaruhi berbagai hal yaitu bahan tanam itu sendiri, jenis persenyawaan yang tepat dan faktor lingkungan tumbuh.
Pada saat ini kultur jaringan tanaman melon mulai banyak diminati seperti penelitian yang dilakukan oleh Sholeh dan Parawita (2005) yang menggunakan kotiledon dan pangkal kotiledon dari benih melon (Cucumis melo. L) yang telah dikecambahkan selama 2 minggu menunjukkan bahwa faktor tunggal IAA dan BAP maupun interaksi IAA dan BAP berpengaruh sangat nyata terhadap jumlah tunas, tinggi tunas dan jumlah daun eksplan pangkal kotiledon secara in vitro pada media dasar MS. Konsentrasi 0.5 mg/l BAP menghasilkan tinggi tunas dan jumlah daun tertinggi. Pertambahan tinggi tunas dan jumlah akar terbanyak dihasilkan oleh konsentrasi 0.5 mg/l IAA.
Menurut Daisy dan Ari (1994) untuk pembentukan kalus, medium terbaik adalah medium MS dengan ditambahkan NAA 3 m/liter. Sedangkan untuk pembentukan planlet, medium terbaik adalah medium MS dengan penambahan kombinasi NAA dan kinetin dengan perbandingan 3 : 3. Hasil penelitian terhadap nodus kotiledon melon sebagai eksplan yang dilakukan oleh Chan Lai Keng dan Lok Keng Hoong menunjukkan bahwa media yang terbaik untuk regenerasi tunas aksiler adalah 2-20 mg/l BAP setelah 3 minggu di tanam.
Perbanyakan tanaman melalui teknik kultur jaringan diharapkan dapat membantu penyediaan bibit melon dalam jumlah banyak, bebas patogen berbahaya, dan seragam untuk penanaman skala luas tanpa meninggalkan upaya menjamin kualitasnya. Tingginya harga benih melon yang tidak diikuti dengan upaya pengadaan benih yang efisien, menyebabkan perlunya dicarikan alternatif untuk pengadaan bibit, yaitu melalui teknik kultur jaringan. Masih sedikit peneliti yang melaporkan teknik perbanyakan bibit melon melalui kultur jaringan.



Template by : kendhin x-template.blogspot.com