Rabu, 16 Desember 2009

Tanaman Melon

Melon (Cucumis melo L.) merupakan tanaman buah termasuk famili Cucurbitaceae, banyak yang menyebutkan buah melon berasal dari Lembah Panas Persia atau daerah Mediterania yang merupakan perbatasan antara Asia Barat dengan Eropa dan Afrika. Dan tanaman ini akhirnya tersebar luas ke Timur Tengah dan ke Eropa. Pada abad ke-14 melon dibawa ke Amerika oleh Colombus dan akhirnya ditanam luas di Colorado, California, dan Texas. Akhirnya melon tersebar keseluruh penjuru dunia terutama di daerah tropis dan subtropis termasuk Indonesia.
Tanaman melon mirip dengan tanaman ketimun (Cucumis sativus L.), merupakan tanaman semusim, menjalar di tanah atau dapat dirambatkan pada lanjaran/turus bambu. Tanaman ini mempunyai banyak cabang, kira-kira 15-20. Tanaman melon beradaptasi dengan baik pada tanah liat berpasir, yang banyak mengandung bahan organik. Namun, melon masih dapat tumbuh juga pada tanah pasir atau liat. Tanah yang digunakan sebaiknya bersifat netral, sedikit asam, atau sedikit basa. (Nur Tjahjadi, 1989).
Buah Melon berada di Indonesia sebagai buah impor yang dikonsumsi oleh kalangan atas terutama tenaga ahli asing yang tinggal di Indonesia. Peraturan pemerintah yang membatasi peredaran buah impor di Indonesia pada saat itu menyebabkan pengusaha agribisnis membudidayakan buah melon di Indonesia. Melon mulai dikembangkan di Indonesia pada tahun 1980-an di daerah Cisarua (Bogor) dan Kalianda (Lampung), oleh PT Jaka Utama Lampung. Sampai sekarang tanaman melon sudah berkembang dan tersebar di Indonesia dengan beberapa sentra produksi melon diantaranya adalah di Kabupaten Ngawi, Madiun, Ponorogo (Propinsi Jawa Timur), Kabupaten Sragen, Sukoharjo dan Klaten (Propinsi Jawa Tengah). Varietas melon yang ditanam di Indonesia (yang sudah dilepas oleh Menteri Pertanian) adalah Sky Rocket, Action 434, MAI 119, Ladika, Sumo, Melindo, dll. (Dinas Pertanian Propinsi DIY, 2009).
Buah melon memiliki kandungan gizi yang sangat bermanfaat untuk kesehatan, menurut Budi Samadi (2007), sebagian besar kandungan buah melon terdiri atas air yakni sekitar 14%, sedangkan sisanya terdiri atas karbohidrat, protein, vitamin, dan beberapa unsur yang lain.




Dari tabel di atas tampak bahwa buah melon mengandung unsur gizi yang beragam dan cukup tinggi. Vitamin dan mineral tersebut sangat baik bagi kesehatan tubuh. Protein dan karbohidrat yang terkandung didalamnya sangat penting bagi pembentukan sel tubuh seperti pada otot, daging, kulit, dan tulang, serta regenerasi sel yaitu mengganti sel-sel yang baru. Disamping itu, karbohidrat juga berfungsi sebagai sumber energi untuk meningkatkan kemampuan tubuh dalam melakukan berbagai aktivitas seperti bergerak, berpikir, bernafas, dan sebagainya.


Kandungan vitaminnya bermanfaat bagi tubuh untuk mencegah berbagai macam penyakit, misalnya beri-beri, sariawan, luka pada tepi mulut, penyakit mata, radang saraf, pellagra, dan lain-lain. Sementara, mineralnya sangat bermanfaat bagi pembentukan tulang, gigi, sel-sel darah merah. Serat yang terkandung dalam daging buah melon juga akan membantu melancarkan proses pencernaan. Di samping itu, buah melon juga mengandung zat adenosin atau zat antikoagulan yang dapat mencegah atau mengobati penyakit hati (lever) dan tekanan darah tinggi atau stroke, serta zat karotenoid yang dapat membantu mengobati penyakit kanker.
Dalam upaya meningkatkan kesejahteraan masyarakat pada umumnya, khususnya petani, pemerintah menetapkan kebijakan dalam memilih urutan jenis tanaman pertanian/hortikultura. Tanaman melon merupakan salah satu tanaman prioritas utama yang perlu mendapat perhatian kita di antara tanaman-tanaman hortikultura. Harga buah melon relatif lebih tinggi dibandingkan dengan komoditi hortikultura pada umumnya. Hal ini akan banyak memberikan keuntungan kepada petani atau pengusaha pertanian tanaman melon. Kenyataan ini memungkinkan adanya perbaikan tata perekonomian Indonesia, khususnya dari bidang pertanian. (Nur Tjahjadi, 1989).
Varietas melon yang diproduksi oleh perusahaan benih cukup banyak macamnya. Berdasarkan pada kenampakan luarnya, melon dibagi menjadi dua kelompok, yaitu yang memilki jaring (net) pada permukaan kulit buahnya dan yang tidak memilki jaring. Dari beberapa varietas tersebut hanya beberapa jenis melon yang diminati oleh petani. Pemilihan ini didasarkan atas permintaan atau minat konsumen dan pasar. Beberapa varietas melon yang terbukti cocok ditanam di Indonesia dan secara umum disenangi oleh para petani melon diantaranya adalah varietas Sky Roket, Ten Me, Delicate, Silver Light, dan Action 434
Berbagai varietas melon telah dikembangkan, namun yang paling banyak diminati oleh petani di Indonesia adalah jenis Sky Roket dan Action 434. Kedua jenis melon ini memiliki jejaring (net) pada permukaan kulit buahnya. Daging buahnya sangat menarik , berwarna hijau kekuningan, berasa manis, berair, dan beraroma harum. Buah ini sangat digemari, terutama apabila dihidangkan sebagai buah segar. Di dalam perusahaan makanan dan minuman, melon sering kali dimanfaatkan sebagai bahan penyedap rasa untuk memberikan aroma segar khas, misalnya pada pembuatan sirup melon, permen melon, dan sebagainya. (Budi samadi, 2007).
Dewasa ini banyak dihasilkan varietas melon hibrida sebagai akibat kemajuan yang cukup pesat di bidang teknologi perbenihan. Beberapa negara yang menaruh perhatian besar terhadap perakitan varietas melon hibrida antara lain Amerika Serikat, Jepang, Taiwan, Thailand, Selandia Baru, Korea, Spanyol, Jerman, dan Belanda (Rukmana, 1994). Benih-benih melon impor ini sangat mendominasi pembudidayaan melon di Indonesia. Kualitas benih-benih tersebut bagus, tetapi harganya cukup mahal. Hal ini menjadi kendala pembudidayaan melon di Indonesia (Setiadi dan Parimin, 2001).
Upaya yang dapat dilakukan untuk membantu penyediaan bibit melon dalam jumlah banyak dan seragam untuk penanaman skala luas tanpa meninggalkan upaya menjamin kualitasnya adalah melalui teknik kultur jaringan kultur jaringan tanaman merupakan teknik menumbuh-kembangkan tanaman, baik berupa sel, jaringan atau organ dalam kondisi aseptik secara in vitro. Teknik ini dicirikan oleh kondisi kultur yang aseptik, penggunaan media kultur buatan dengan kandungan nutrisi lengkap dan ZPT (zat pengatur tumbuh), serta kondisi ruang kultur yang suhu dan pencahayaannya terkontrol. (Yusnita, 2003).
Menurut Gunawan (1992) kultur jaringan tanaman adalah suatu metode untuk menginisiasi bagian dari tanaman seperti protoplasma, sel, kelompok sel, jaringan dan organ, serta menumbuhkannya dalam kondisi aseptik, sehingga bagian-bagian tersebut dapat memperbanyak diri dan beregenerasi menjadi tanaman utuh kembali. Kultur jaringan (tissue culture) sampai sekarang digunakan sebagai suatu istilah umum yang meliputi pertumbuhan kultur secara aseptik dalam wadah yang umumnya tembus cahaya. Seringkali kultur aseptik disebut kultur in vitro yang arti sebenarnya adalah kultur dalam gelas.
Pada awalnya orientasi teknik kultur jaringan hanya pembuktian teori totipotensi sel. Kemudian teknik kultur jaringan berkembang menjadi sarana penelitian pada bidang fisiologi tanaman dan aspek-aspek biokimia tanaman. Dewasa ini, setelah mengalami banyak perkembangan dan penyempurnaan, teknik kultur jaringan telah digunakan dalam industri tanaman. Kultur jaringan sudah di akui sebagai metode baru dalam perbanyakan tanaman. Tanaman yang berhasil diperbanyak besar-besaran melalui kultur jaringan adalah anggrek. Menyusul berbagai tanaman hias dan tanaman hortikultura lainnya (Gunawan, 1992).
Perbanyakan tanaman secara in vitro merupakan contoh aspek yang menarik dari penerapan kultur jaringan, terutama untuk beberapa jenis tanaman bagian yang dipakai sebagai bahan awal perbanyakan adalah daerah meristem pucuk yang besarnya 0.1-0.3 mm dan dikombinasikan dengan perlakuan thermotherapy, maka selain tujuan perbanyakan, juga diperoleh tanaman yang bebas patogen terutama virus (Gunawan, 1992)
Bagian dari tanaman yang digunakan sebagai bahan untuk inisiasi suatu kultur, disebut eksplan. Pemindahan kultur ke media lain, baik media yang sama ataupun yang lain, disebut subkultur. Setiap masa inkubasi disebut passage. Passage pertama adalah subkultur pertama dari jaringan yang terbentuk dari eksplan awal. Bahan yang diambil dari setiap subkultur disebut sebagai inokulum (Gunawan, 1992). Eksplan harus diusahakan supaya dalam keadaan septik melalui prosedur sterilisasi dengan berbagai bahan kimia. Dari eksplan yang aseptik kemudian diperoleh kultur yang aksenik yaitu kultur dengan hanya satu macam organisme yang diinginkan (Gunawan, 1992).
Pada prinsipnya, secara genetik setiap bagian tanaman dapat digunakan sebagai sumber eksplan dalam teknik kultur jaringan. Tetapi, untuk mencapai tingkat keberhasilan yang tinggi, sebaiknya dipilih bagian tanaman yang masih muda dan mudah tumbuh, yaitu bagian meristem yang masih aktif membelah.
Menurut Yusnita (2003), bagian tanaman yang dapat digunakan sebagai eksplan adalah biji atau bagian-bagian biji seperti aksis embrio atau kotiledon, tunas pucuk, potongan batang satu buku (nodal explant), potongan akar, potongan daun, potongan umbi batang, umbi akar, empelur batang, umbi lapis dengan sebagian batang, dan bagian bunga. Eksplan satu buku pada tunas jati diambil dari trubusan tunas yang baru tumbuh, sedangkan pada pisang diambil bagian bonggol pada anakan atau mata tunas muncul.
Keberhasilan dalam penggunaan metode kultur jaringan sangat bergantung pada media yang digunakan (Gunawan, 1992). Berbagai komposisi media kultur telah diformulasikan untuk mengoptimalkan perkembangan dan pertumbuhan tanaman yang dikulturkan. Formulasi dari suatu media harus mengandung hara makro dan mikro serta energi. Zat-zat tersebut bisa dicampur sendiri dari bahan dasarnya, atau diperoleh sudah dalam bentuk campuran (Yusnita, 2003).
Media kultur yang memenuhi syarat adalah media yang mengandung nutrien makro dan mikro dalam jumlah dan perbandingan tertentu, serta energi (umumnya digunakan sukrosa). Media kultur juga mengandung satu atau dua macam vitamin dan zat pengatur tumbuh (Christine, 2004).
Media Murashige dan skoog (MS) merupakan salah satu media yang sering digunakan dalam teknik kultur jaringan. Media kultur tersebut fisiknya dapat berbentuk cair atau padat. Media berbentuk padat menggunakan pemadat media, seperti agar-agar atau gelrite (Yusnita, 2003). Menurut Wattimena et al. (1992) dalam Christene (2004) penggunaan media padat baik digunakan bila eksplan berukuran kecil karena mudah dilihat dan berada di atas permukaan media sehingga memerlukan alat bantu untuk aerasi. Selain itu juga pembentukan tunas dan akar lebih teratur sehingga mudah diamati pada media yang diam.
Agar-agar merupakan salah satu bahan yang dapat memadatkan media tanam. Menurut Gunawan (1992), agar-agar membeku pada suhu 450C dan mencair pada suhu 1000C sehingga pada kisaran suhu kultur agar-agar tetap dalam keadaan beku yang stabil, tidak dicerna oleh enzim tanaman dan tidak bereaksi dengan persenyawaan penyusun media.
Selain media kultur terdapat juga istilah Zat Pengatur Tumbuh (ZPT) tanaman merupakan istilah lain dari hormon tanaman yang banyak digunakan oleh ahli fisiologi tumbuhan. Istilah ZPT ini dapat mencakup semua zat baik zat endogen maupun eksogen yang dapat mempengaruhi pertumbuhan tanaman.
Menurut Yusnita (2003), salah satu komponen media yang menentukan keberhasilan kultur jaringan adalah jenis dan konsentrasi ZPT yang digunakan. Jenis dan konsentrasi ZPT tergantung tujuan dan tahap pengkulturan. Pengkulturan untuk menumbuhkan dan menggandakan tunas aksilar atau merangsang tumbuhnya tunas adventif, ZPT yang digunakan adalah sitokinin atau campuran sitokinin dengan auksin rendah. Pada pengkulturan untuk merangsang pembentukan akar pada tunas, biasanya menggunakan ZPT auksin.
Menurut Abidin (1985), fithohormon digolongkan kedalam 5 kelompok yaitu auksin, sitokinin, giberelin, etilen dan asam absiik. Ada 2 golongan ZPT yang berperan sangat penting dalam kultur jaringan yaitu auksin dan sitokinin. Kedua golongan ZPT ini mempengaruhi pertumbuhan dan morfogenesis dalam kultur sel, jaringan dan organ. Efektifitas dari pengaturan ZPT dipengaruhi berbagai hal yaitu bahan tanam itu sendiri, jenis persenyawaan yang tepat dan faktor lingkungan tumbuh.
Pada saat ini kultur jaringan tanaman melon mulai banyak diminati seperti penelitian yang dilakukan oleh Sholeh dan Parawita (2005) yang menggunakan kotiledon dan pangkal kotiledon dari benih melon (Cucumis melo. L) yang telah dikecambahkan selama 2 minggu menunjukkan bahwa faktor tunggal IAA dan BAP maupun interaksi IAA dan BAP berpengaruh sangat nyata terhadap jumlah tunas, tinggi tunas dan jumlah daun eksplan pangkal kotiledon secara in vitro pada media dasar MS. Konsentrasi 0.5 mg/l BAP menghasilkan tinggi tunas dan jumlah daun tertinggi. Pertambahan tinggi tunas dan jumlah akar terbanyak dihasilkan oleh konsentrasi 0.5 mg/l IAA.
Menurut Daisy dan Ari (1994) untuk pembentukan kalus, medium terbaik adalah medium MS dengan ditambahkan NAA 3 m/liter. Sedangkan untuk pembentukan planlet, medium terbaik adalah medium MS dengan penambahan kombinasi NAA dan kinetin dengan perbandingan 3 : 3. Hasil penelitian terhadap nodus kotiledon melon sebagai eksplan yang dilakukan oleh Chan Lai Keng dan Lok Keng Hoong menunjukkan bahwa media yang terbaik untuk regenerasi tunas aksiler adalah 2-20 mg/l BAP setelah 3 minggu di tanam.
Perbanyakan tanaman melalui teknik kultur jaringan diharapkan dapat membantu penyediaan bibit melon dalam jumlah banyak, bebas patogen berbahaya, dan seragam untuk penanaman skala luas tanpa meninggalkan upaya menjamin kualitasnya. Tingginya harga benih melon yang tidak diikuti dengan upaya pengadaan benih yang efisien, menyebabkan perlunya dicarikan alternatif untuk pengadaan bibit, yaitu melalui teknik kultur jaringan. Masih sedikit peneliti yang melaporkan teknik perbanyakan bibit melon melalui kultur jaringan.



0 komentar:

Template by : kendhin x-template.blogspot.com