Rabu, 11 November 2009

PEMBENIHAN UDANG WINDU

1. Biologi Udang Windu (Peneaeus monodon Fab)
Udang windu (Penaeus monodon Fab) dalam bahasa-bahasa daerah udang ini dinamakan sebagai udang pacet, udang bago, udang lotong, udang liling, udang baratan, udang palapas, udang tapus dan udang wewedi. Namum dipasaran atau dalam dunia perdagangan udang ini biasa dikenal dengan nama “ Tiger Prawn” atau terkadang juga dikenal dengan nama “ Jumbo Tiger Prawn”. Udang windu dewasa yang hidup dilaut biasa berwarna merah cerah kekuning-kuningan dengan sabuk-sabuk melintang dibadannya. Kaki renang berwarna merah agak pucat pada udang muda dan pada udang dewasa berwarna merah cerah. Udang windu memiliki kulit yang keras dan terdapat titik-titik hijau di tubuhnya.
Udang windu bisanya hidup di perairan pantai yang berlumpur atau berpasir. Udang ini banyak terdapat diperairan laut antara afrika selatan dan jepang, dan juga ada di antara Pakistan Barat sampai Australia bagian utara. Udang windu termasuk dalam golongan udang penaeid yang dapat ukuran besar hingga mencapai panjang 34 cm dam mencapai berat 270 gram.
Karena ukurannya yang bisa mencapai besar itulah maka udang ini dewasa ini telah menjadi salah satu komoditas unggulan dan ekspor untuk jenis komoditas air laut di indonesia.
Apabila ditinjau dari daya tahannya terhadap pengaruh lingkungan, udang windu ini juga salah satu udang yang paling unggul, walaupun menempati posisi ke dua setelah udang werus. Dengan daya tahan tubuhnya yang tinggi terhadap pengaruh lingkungan memungkinkan kita untuk memlihara udang windu ini dalam waktu yang cukup (5-6 bulan) untuk dapat mencapai ukuran yang besar (King Size)yaitu antara 80 - 100 gram/ekor. Disamping daya tahan yang tinggi pada saat pemeliharaan, benih udang windu juga cukup tahan selama dalam penampungan dan pengangkutan.
Menurut Marto Sudarmo dan Ranoemiharjo (1980), klasifikasi udang windu yaitu sebagai berikut :
Phylum : Arhtopoda
Kelas : Crustasea
Sub kelas : Malacostraca
Seri : Eumalacostraca
Super ordo : Eucarida
Ordo : Decapoda
Seksi : Penaieda
Famili : Penaeidae
Sub famili : Penainae
Genus : Penaeus
Spesies : Penaeus monodon Fabricius

Morfologi udang windu terdiri dari ruas-ruas atau segmen. Bagian kepala udang windu terdiri dari 13 ruas, yaitu kepala sendiri terbagi atas 5 ruas dan 8 ruas bagaian dada. Sedangkan untuk bagian perutnya terdiri dari 6 ruas. Bagian kepala dan dada tertutup oleh kerangka kepala yang disebut cangkang kepala (carapace). Dibagian depan, kelopak kepala mamanjang dan meruncing yang pinggirnya bergerigi yang disebut dengan cucuk kepala (rostrum). Udang windu memiliki mata majemuk yang bertangkai dan dapat digerak-gerakan yang berada di bawah pangkal cucuk kepala. Mulut terletak dibawah kepala diantara rahang-rahang (bagmandibula)
Pada bagian kepala dan dada terdapat bagian-bagian tubuh lainya yang berpasang-pasangan yaitu dari muka ke belakang adalah sungut kecil (antennula), sirip kepala (scopherocerit), sungut besar (antenna), rahang (mandibula), alat-alat pembantu rahang (maxilla) yang terdiri atas 2 pasang, maxilliped yang terdiri atas 3 pasang, dan kaki jalan (periopoda) yang terdiri atas 5 pasang,pada bagian perut udan windu terdapat 5 pasang kaki renang yang lama kelamaan akan mengalami perubahan menjadi kipas atau ekor.
Udang windu bersifat noktural yaitu binatang yang aktif mencari makan pada malam hari. Dan pada siang hari udang windu ini biasanya lebih suka menempel pada suatu benda atau membenamkan tubuhnya pada lumpur disekitar tambak. Sedangkan sifat lain dari udang windu adalah sifat kanibal, yaitu suka memangsa jenisnya sendiri. Sifat kanibal ini biasanya mucul pada udang-udang yang sehat dan tidak sedang dalam keadaan molting atau ganti kulit dan sifat kanibal ini akan sangat nampak apabila udang kekurangan pakan. Sedangkan mangsanya bisanya udang yang pada saat itu sedang ganti kulit. Sifat kanibal pada udang biasanya muncul pada saat masih pada tingkatan mysis.
Secara umum pakan untuk udang windu ini sangat bervariasi, ini tergantung pada tingkatan atau umur udang. Pada waktu masih burayak, makanan utama udang windu adalah plankton, setelah meningkat menjadi zoea makanannya berupa plankton jenis plankton nabati seperti skeletonema, amphora, dan navicula. Pada tingkatan mysis makanan yang cocok untuk jenis udang ini yaitu plankton jenis plankton hewani seperti rotifera dan lain-lain. Sedangkan untuk udang dewasa makanan yang disukai yaitu daging binatang lunak atau molusca. Namun pada budidaya udang ditambak secara intensif sering digunakan pakan buatan seperti pellet dan jenis pakan crumble atau fine crumble.

2. Biologi Pakan Alami
Klasifikasi Skeletonema adalah sebagai berikut :
Devisi : Bacillario phyto
Kelas : Bacillario ceae
Bangsa : Centralis
Suku : Skeletonema seae
Marga : Skeletonema
Jenis : Skeletonema costatum
Dilihat secara morfologinya Skeletonema merupakan hewan bersel tunggal, berukuran 4 sampai 6 mikron, bentuk sel seperti kotak dengan sitoplasma yang memenuhi sel dan tidak memiliki alat gerak, kotak sel tersebut terdiri dari 2 bagian, yaitu bagian atas dinamakan katup dan bagian bawah berupa wadah berhiaskan lubang-lubang dengan pola yang khas berwarna coklat dan mempunyai kemampuan menghasilkan sketel eksternal silikat yang disebut frastule.
Skeletonema terdiri dari 2 bagian, yaitu bagian katup atas disebut epitaka dan katup bagian bawah yang disebut hipoteka. Proses pembelahan sel yang berulang-ulang menyebabkan sel Skeletenema mereproduksi hingga mencapai generasi tertentu. Skeletonema hidup diperairan laut atau pantai dengan kisaran suhu 250C - 320C dan kisaran salinitas 28 – 34 0/00. Skeletonema akan tumbuh dengan baik apabila intensitas cahayanya sekitar 12000lux.

3. Pembenihan Udang Windu
Benih adalah salah satu sarana vital dalam pengembangan sistem usaha perikanan budidaya. Sistem pengadaan, distribusi maupum mutu benih seringkali dituduh sebagai penyebab utama kegagalan usaha budidaya .
Adanya ketersediaan induk dan benih udang yang semakin menipis dialam bebas menyebabakan semakin menurunnya produksi udang hasil tangkapan, sehingga produksi udang hasil budidaya perlu ditingkatkan. Telah disadari bahwa peningkatan produksi udang melalui budidaya tersebut hanya mungki dapat dicapai bila suplay factor-faktor produksi, khususnya benih udang dapat terjamin sepenuhnya. Pengembangan teknik-teknik pembenihan udang harus terus dilakukan untuk menunjang kegiatan budidaya atau pembesaran udang ini. Diantara jenis-jenis komoditas udang laut yang memiliki nilai ekonomis yang tinggi adalah udang windu (Penaeus monodon Fab). Udang windu ini telah memberikan kontribusi yang sangat berarti bagi pendapatan devisa Negara, khususnya pada sektor perikanan melalui kegiatan ekspor produk udang ke luar negeri (Anonim, 1993).
Balai Besar Pengembangan Budidaya Air Payau (BBPBAP) Jepara adalah salah satu balai terbesar milik pemerintah yang mengedepankan aspek keilmuan disamping aspek ekonominya. Dengan demikian balai benih dapat menghasilkan benih udang windu yang memenuhi kriteria kualitas dan kuantitasnya.

Kegiatan Pembenihan Udang
A. Persiapan wadah
Persiapan wadah pemeliharaan merupakan salah satu kegiatan yang sangat penting dalam usaha pembenihan udang windu. Bak yang akan digunakan untuk kegiatan pembenihan di keringkan terlebih dahulu selama beberapa hari baru kemudian di bersihkan untuk membuang kotoran serta lumut yang menempel pada bak, serta di lakukan juga sterilisasi untuk membuang kandungan asam yang terlalu tinggi karena bak yang telah lama tidak beropersi. Kegiatan sterilisasi dilakukan dengan menggunakan kaporit dengan dosis 500 - 100 ppm, yang telah dilarutkan ke dalam ± 15 liter air lalu disiramkan secara merata ke dinding-dinding atau dasar bak. Untuk menghilangkan kotoran serta lumut yang menempel pada dinding bak dilakukan dengan cara menggosok dinding bak dengan menggunakan sikat, setelah itu disiram dengan air tawar dan kemudian bak dikeringkan selama ± 2 – 3 hari.
Setalah dibersihkan dan dilakukan sterilisasi, selanjutnya dipasang peralatan pendukung seperti heater, jaringan aerasi (pipa, selang, dan batu aerasi), dan terpal untuk menutup bagian atas bak pemeliharaan nauplius. Pengisian air dilakukan setelah bak telah bersih dan semua peralatan pendukung terpasang. Pengisian air dilakukan sampai ketinggian mencapai 70 – 80 cm, yang sebelumnya air laut tersebut telah disaring terlebih dahulu dengan menggunakan kain satin (filter back) yang di ikatkan pada ujung pipa pemasukan air.

B. Penebaran Nauplius
Sebelum nauplius ditebar ke dalam bak pemeliharaan terlebih dahulu dilakukan pemilihan nauplius yang berkualitas dengan ciri-ciri sebagai berikut :
 Warna gelap kecoklatan
 Ukuran besar
 Gerakan aktif atau naik turun
 Tertarik ke arah cahaya
 Banyak dipermukaan dan tidak banyak yang mengendap
 Bebas dari virus
Untuk penebaran nauplius ideal adalah ± 100 ekor/liter, di BBPBAP Jepara sendiri penebaran nauplius untuk bak dengan volume 10 ton ditebar nauplius sebanyak 1000.000 ekor nauplius dan ditebar pada malam atau sore hari.
Sebelum nauplius ditebarkan terlebih dahulu dilakukan aklimatisasi, adapun proses aklimatisasi yaitu sebagai berikut : nauplius yang masih dibungkus plastik atau diember dimasukan kedalam bak yang akan digunakan untuk pemeliharaan. Bungkusan plastik dibiarkan mengapung dipermukaan selama ± 15 menit agar suhu dalam bungkusan plastik dan suhu dalam bak menjadi seimbang (sampai timbul embun pada permukaan plastik bagian dalam). Setelah itu bungkusan plastik dibuka dan diberi aerasi, serta dimasukan air dari bak ke dalam plastik sedikit demi sedikit dan dibiarkan selama ± 10 menit. Terakhir nauplius dilepaskan sedikit demi sedikit ke dalam bak pemeliharaan.
Pemeliharaan pada bak nauplius dilakukan hanya sampai stadia PL 7 saja, setelah mencapai stadia tersebut kemudian dipindahkan ke dalam bak yang berukuran lebih besar. Hal ini karena pada stadia ini larva udang sudah agak besar, dan juga untuk menghindari terjadinya saling mangsa (kanibal) pada larva udang tersebut. Kepadatan ideal untuk pemeliharaan PL 7 ini adalah 5000 ekor/m2.

C. Pemberian Pakan
Pemberian pakan buatan (pellet) dengan dosis tertentu diberikan sebanyak 6 kali per hari (pukul 08.00, 12.00, 16.00, 23.00 dan 05.00). Pakan buatan diberikan mulai dari stadia zoea 1, pada stadia nauplius tidak diberikan pakan buatan ataupun pakan alami karena pada stadia ini larva udang masih memiliki kuning telur (yolk egg) yang menempel pada tubuhnya yang dijadikan sebagai cadangan makanan bagi larva tersebut. Pakan buatan yang diberikan dilarutkan dalam air laut sebanyak ± 5 liter agar dapat merata pada saat ditebarkan dalam bak.
Jenis pakan buatan yang diberikan harus sesuai dengan perkembangan stadia larva udang, karena ukuran pakan yang diberikan harus di sesuaikan dengan bukaan mulut si larva. Pada kegiatan pembenihan udang windu yang di lakukan di BBPBAP Jepara jenis pakan buatan yang sering digunakan adalah pakan buatan jenis FRIPPAK # 1 CAR, FRIPPAK # 2 CD, SP +, FRIPPAK PL + 300, pellet D1 halus dan pellet D2 kasar.
Untuk pemberian pellet D2 kasar harus di blender terlebih dahulu sebelum diberikan agar ukurannya menjadi lebih kecil dan merata. Pakan yang sudah ditimbang kemudian dimasukan ke dalam wadah-wadah kecil dan ditempatkan pada papan pemberian pakan. Papan pemberian pakan ini dilengkapi dengan ruang-rung kecil untuk menaruh wadah yang berisi pakan tersebut dan dilengkapi juga dengan waktu atau jam pemberian pakan sehingga pemberian pakan dapat lebih terkontrol.
Jenis pakan alami yang diberikan untuk larva udang windu adalah fitoplankton jenis skeletonema sp dan zooplankton jenis Arthemia sp. Skeletonema sp diberikan 2 kali sehari yaitu pagi dan sore/malam, satu jam setelah pemberian pakan buatan. Skeletonema ini diberikan pada saat larva mencapai stadia zoea 1 sampai PL 3. Sedangkan Arthemia sp ini diberikan mulai dari stadia mysis 3 sampai PL 15, yang diberikan dua kali sehari yaitu pagi jam 09.00 dan malam hari pada jam 23.00 dan diberikan 1 jam setelah pemberian pakan buatan.

D. Pengelolaan Kualitas Air
Pemantauan kualitas air seperti suhu dan salinitas dilakukan tiap pagi (jam 08.00)dan sore hari (jam 16.00). Pengukuran suhu dilakukan dengan menggunakan thermometer yang diletakan didalam air dibak, sedangkan pengukuran salinitas dilakukan dengan menggunakan refraktometer yang harus dikalibrasi atau dibersihkan dengan aquades sampai menunjukan angka 0 ppt.
Pengukuran dilakukan dengan meneteskan 1-2 tetes air bak yang akan di ukur, kemudian tutup kembali dengan penutupnya dan terakhir refraktometer dihadapkan kearah datangnya cahaya untuk dapat melihat hasilnya (angka salinitas ditunjukan oleh garis pembatas warna biru). Sedangkan untuk pengukuran Dissolved Oxygen (DO) dan Power of Hydrogen (pH) dilakukan seminggu sekali.
Pada awal tebar suhu pada air pemeliharaan adalah 29-310C, setelah benih udang mencapai stadia zoea suhu air dinaikan yaitu 30-330C, karena suhu < 290C napsu makan menjadi menurun atau proses metabolisme rendah. Untuk mempertahankan suhu pada air media digunakan Heater 100 watt dan bak ditutup dengan menggunakan terpal untuk menjaga suhu agar tetap stabil dan untuk mencegah masuknya air hujan yang asam, serta menjaga fitoplankton agar tidak blooming. Penutup/terpal dibuka setengahnya pada pagi hari jam 07.00-10.00 agar sinar matahari dapat masuk. Salinitas pada awal tebar adalah 30 ppt dan diturunkan sedikit demi sedikit hingga mencapai minimal 25 ppt. untuk menjaga salinitas agar tetap stabil pergantian air harus dilakukan secara teratur dan kondisi salinitas tetap dipertahankan pada kisaran 25-27 ppt. Penyiponan dilakukan apabila pada dasar bak banyak terdapat kotoran yang biasanya disebabkan oleh endapan sisa pakan. Penyiponan dilakukan dengan menggunakan selang dan dilakukan secara berlahan-lahan agar kotoran tidak teraduk keatas. E. Pencegahan dan Pengobatan Penyakit Pencegahan sebetulnya merupakan tujuan utama dalam rencana pengendalian penyakit. Tindakan ini meliputi persiapan bak, air, alat, dan bahan yang baik, pengelolaan kualitas aur agar tetap optimum dan stabil, pemberian pakan yang cukup baik kualitas dan kuantitasnya, penggunaan alat-alat yang terpisah untuk masing-masing bak pemeliharaan larva dan perendaman alat-alat tersebut dengan PK 2 ppm, pembuatan tempat cuci kaki menggunakan larytan PK, serta pemilihan nauplius yang baik dan bebas penyakit. Untuk mencegah timbulnya jamur, maka di berikan anti jamur Treflan (0,05 ppm) sekali per hari sekitar jam 07.00 pagi, yang di berikan pada stadia zoea 1-PL5. sedangkan untuk mencegah infeksi dari bakteri diberikan antibiotik Frythromycin (1,5 ppm) dan di berikan pada saat pergantian stadia larva (nauplius-zoea, zoea-mysis, dan mysis-post larva), Frythromycin ini di saring dengan plantonet dan di larutin ke dalam ± 5 liter air laut terlebih dahulu. Untuk meningkatkan ketahanan tubuh larva maka diberikan multivitamin EIKOSO (0,3 ppm) sekali per hari sekitar jam 09.00 pagi, dan di berikan dari zoea 1 sampai PL3. sebelum digunakan di saring dengan plantonet dan di larytin ke dalam ± 5 liter air laut terlebih dahulu. multivitamin EIKOSO ini terdiri dari : vitamin A, vitamin D2, dl-tocapherol, vitamin K3, thiamin HCL, riboblavia, pyridoxine, vitamin B12, ascorbic acid, biotin, folic acid, innositol. Pemberian probiotok SMS MIKRO TAMBAK (5 ppm) sekali per hari setelah pemberian pakan buatan. Probiotok ini di berikan mulai dari zoea 1 sampai PL 5. jika pagi diberikan antibiotik maka probiotik di berikan pada malam harinya dan dilarutin dulu dengan air laut. Keuntungan pemberian probiotik ini adalah mencegah bakteri atau racun yang merugikan, meningkatkan ketahanan dan kesehatan udang, memperkecil stress udang, menetralisir pH (buffer). F. Sampling Kepadatan dan Pertumbuhan Sampling mulai dilakukan dari naupli sampai PL 1 atau 2 pada malam hari tiap 3 hari sekali (taiap pergantian stadia). Adapun cara sampling kepadatan yaitu sebagai berikut, ambil air dengan menggunakan gelas piala (beaker glass) sebanyak 500 cc, kemudian hitung jumlah larva yang ada dalam gelas piala. Setelah di ketahui jumlah larva yang ada selanjutnya dilakukan perhitungan kepdatan dengan rumus : Volume air bak ∑ larva = x Total sampling Volume air sampel

0 komentar:

Template by : kendhin x-template.blogspot.com