Rabu, 11 November 2009

MASALAH UAN

I. PENDAHULUAN

a. Latar belakang
Apabila kita sempat menengok sejarah ujian nasional kebelakang sejenak, penyelenggaraan Unas memang tidak mulus dari awalnya. Pak Bambang Soedibyo sendiri di hari-hari awal masa baktinya sebagai Menteri Pendidikan Nasional sempat menyatakan akan menghapus ujian nasional. Ketika itu, Pak Bambang berpendapat bahwa ujian nasional tidak perlu dilakukan dan akan dihentikan pelaksanaannya. Polemik tentang perlu tidaknya dilakukan ujian nasional pun segera meletup di masyarakat, ada yang meminta ujian nasional tetap dilaksanakan dan sebagian anggota masyarakat yang lain bersikap menolak.
Dalam perkembangan selanjutnya terdapat "ketegangan" antara dua kutub; kutub pertama ialah Depdiknas, yang dalam hal ini Pak Bambang sebagai pucuk pimpinannya, dan kutub kedua ialah DPR RI. Argumentasi perlu dilaksanakannya ujian nasional versi Depdiknas adalah untuk meningkatkan kualitas pendidikan di sekolah-sekolah (dan madrasah); sedangkan argumentasi tidak perlu dilaksanakannya ujian nasional versi DPR ialah karena tidak ada dasar hukum penyelenggaraannya. Di tengah-tengah ketegangan seperti itu terdengar kabar burung tentang adanya "deal" antara Depdiknas dengan DPR. Di dalam hal ini DPR akan setuju dilaksanakan ujian nasional kalau terlebih dahulu ada payungnya, yaitu PP yang mengatur hal itu.
Terlepas dari sejauh mana kebenaran kabar burung tersebut, tetapi pada tanggal 16 Mei 2005 Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono menanda-tangani PP No.19 Tahun 2005, yang salah satu ketentuannya mengatur ujian nasional. Pasal 63 ayat (1) PP menyatakan penilaian pendidikan pada jenjang pendidikan dasar dan menengah terdiri atas: a. Penilaian hasil belajar oleh pendidik; b. Penilaian hasil belajar oleh satuan pendidikan; dan c. Penilaian hasil belajar oleh Pemerintah. Pasal 66 ayat (1) menyatakan penilaian hasil belajar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 63 ayat (1) butir c bertujuan untuk menilai pencapaian kompetensi lulusan secara nasional pada mata pelajaran tertentu dalam kelompok mata pelajaran ilmu pengetahuan teknologi dan dilakukan dalam bentuk ujian nasional.
Sekalipun masih mengalami pro-kontra, Ujian Nasional (UN) tahun 2006 tetap dilaksanakan. Dari awal, Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas) tetap bersikukuh pada pendiriannya untuk tetap melaksanakan UN, sekalipun di berbagai daerah, persiapannya masih sangat minim. Akan tetapi, langkah-langkah perbaikan untuk tahun-tahun yang akan datang, harus pula digagasi sejak dini. Perbaikan dimaksud, tentunya harus menyeluruh. Kontroversi-kontroversi yang ada harus diakhiri. Solusi terbaik perlu pula ditempuh. Misalnya dilihat dari sisi dasar hukum, esensi pelaksanaan UN, metode pelaksanaan, serta mekanisme yang lain. Sebab tak dapat dipungkiri, bahwa dalam pelaksanan UN masih menyimpan banyak lobang-lobang permasalahan.
Oleh Komisi X DPR RI mendesak pemerintah merevisi Peraturan pemerintah tentang Standart Nasional Pendidikan. Peraturan Pemerintah (PP) ini merupakan landasan pelaksanaan Ujian Nasional. Akan tetapi dalam PP tersebut terkandung pertentangan antar pasal serta tidak sejiwa dengan Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional. Pemerintah harus mengkaji efektifitas dan dasar hukum rencana Ujian Nasional tahun 2007.



b. Identifikasi
Salah satu kesimpulan rapat dalam dengar pendapat antara Komisi X DPR RI dengan Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP) pada tanggal 14 Maret 2006 baru-baru ini adalah diharuskannya BSNP melakukan kaji ulang kesesuaian ujian nasional dengan UU No.20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional atau yang lazim disebut UU Sisdiknas.
Sungguh tidak adil jika kelulusan siswa hanya ditentukan melalui evaluasi belajar dalam sehari tanpa memperhitungkan proses belajar selama bertahun-tahun. Permasalahan ujian nasional muncul dalam rapat tersebut setelah Ketua BSNP Bambang Suhendro menjelaskan standar isi dan standar kompetensi lulusan sebagaimana yang dimuat dalam PP No.19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan.
Mengenai PP No.19 yang dijadikan landasan keberadaan BSNP itu sendiri memang mengundang banyak pendapat. Ada yang berpendapat PP ini merupakan tonggak reformasi pendidikan nasional secara nyata, ada yang berpendapat biasa saja sebagaimana PP yang lain pada umumnya, akan tetapi ada pula yang berpendapat sebagai instrumen pembenaran dilakukannya ujian nasional.
Di kota-kota besar seperti Jakarta, Bandung dan Yogyakarta terdapat sekolah yang memiliki fasilitas belajar lengkap, laboratorium komputer dan internet memadai, guru yang memiliki standar minimal sebagai pendidik, serta dukungan masyarakat yang besar. Di beberapa sekolah bahkan orang tua rela membayar mahal karena pelayanan pendidikan yang diberikan kepada anaknya sangat memadai. Di sisi lain, di berbagai pelosok nusantara ini terdapat sekolah yang listriknya saja belum dipasang, gurunya tidak lengkap, pendidikan minimal gurunya sangat rendah, dan dukungan orang tua kurang memadai. Alhasil pelayanan pendidikan yang diberikan kepada siswa hanya seadanya saja.
Nah ... adilkah siswa-siswa di sekolah yang pelayanan pendidikannya seadanya saja seperti di berbagai pelosok tersebut mendapatkan soal ujian nasional yang sama dengan siswa di sekolah yang pelayanan pendidikannya memadai seperti di Jakarta, Bandung dan Yogyakarta? Inilah masalah keadilan yang sampai saat ini dipersoalkan oleh para anggota pemerintah.



II. PEMBAHASAN
a. Perumusan masalah
Perihal dasar hukum, penyelenggaraan UN 2006 menyimpan banyak lobang-lobang yang bisa memicu pertentangan yang lebih dalam. Misalnya, pada PP No 19 tahun 2005 pasal 63 ayat 1 huruf b dan c bertentang dengan pasal 58 ayat 1 UU No 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas).
Ayat 1 Pasal 63 PP No 19/2005 menyebutkan ; Penilaian Pendidikan pada jenjang pendidikan dasar dan menengah terdiri atas;
(a) penilaian belajar oleh pendidik,
(b) penilaian belajar oleh satuan pendidikan, dan
(c) penilaian hasil belajar oleh pemerintah.
Sementara oleh UU Sisdiknas mengamanatkan bahwa evaluasi hasil belajar hanya dilakukan oleh pendidik.
Kemudian yang patut kita pertanyakan adalah apakah memang UN satu-satunya penentu kelulusan peserta didik? Atau dimanakah posisi guru dan sekolah dalam menilai berhasil tidaknya mutu peserta didiknya sendiri yang sudah sekian lama diasuhnya?
Dari berbagai polemik yang terjadi, pemerintah selalu menekankan bahwa UN bukan satu-satunya penentu kelulusan. Akan tetapi dalam kenyataannya bahwa UN-lah penentu kelulusan peserta didik. Di sinilah dilema yang sedang terjadi. Ada semacam “kebohongan”. Akibatnya, peserta didik lebih banyak belajar mensiasati soal-soal ujian dari pada mengerti isi dari mata pelajarannya. Dengan demikian, tujuan pembelajaran sudah sedikit bergeser sebab hanya diarahkan pada persoalan-persoalan praktis dalam menjawab soal-soal ujian, bukan pada esensi pelajaran.
Kemudian persoalan lain adalah perihal pemerataan mutu pendidikan. Karena standart UN kali ini sangat seragam, maka hal ini berlaku bagi semua peserta didik di mana pun mereka berada. Siswa yang di perkotaan dengan segala fasilitas pendidikan yang tersedia, barangkali tidak kewalahan dalam mencapai angka tersebut. Namun bagaimana dengan siswa yang berada di daerah-daerah terpencil, yang sangat terbatas fasilitas pendidikannya, tentu mereka sangat kewalahan dalam mengejar angka tersebut. Hal inilah yang patut menjadi catatan penting bagi pemerintah. Sebab bisa dibayangkan apa yang terjadi ketika ada banyak peserta didik yang tak lulus UN dan tidak adanya lagi ujian ulangan. Hal ini bukan tidak mungkin bisa mengarah kepada tindakan anarkhi oleh peserta didik yang tak lulus. Ke depan, menjadi sangat penting untuk diperhatikan adalah bagaimana memperbaiki standar minimal di sekolah. Barulah bicara soal peningkatan mutu pendidikan. Belum lagi bicara soal biaya yang harus dihabiskan pada penyelenggaraan UN. Banyaklah biaya yang dikucurkan ini seolah sia-sia, dan lebih tepat jika digunakan untuk memperbaiki sarana dan prasarana pendidikan yang memang amat memprihatinkan.
Keluarnya ketentuan menyangkut ujian nasional dalam PP tersebut sedikit banyak telah melegakan banyak orang. Dasar hukum penyeleng-garaan Unas menjadi jelas dan transparan. Depdiknas tidak perlu ragu-ragu lagi menyelenggarakan ujian nasional; demikian juga aparat di lapangan, dan siswa tidak ragu-ragu dalam mengikutinya.
Permasalahannya sekarang ialah, apakah kejelasan penyelenggaraan ujian nasional sebagaimana disebutkan dalam PP tersebut telah menutup kemungkinan dilakukannya kaji ulang terhadap penyelenggaraan ujian nasional itu sendiri? Tentu saja tidak! Kaji ulang terhadap penyelenggaraan ujian nasional hendaknya dilakukan secara terus menerus.
Soal keadilan utamanya. Permasalahan sebenarnya sederhana saja, yaitu adilkah siswa di seluruh Indonesia yang memiliki heterogenitas mutu pelayanan pendidikan diberi materi soal ujian nasional yang sama?
b. Pemecahan masalah
Ujian Nasional 2006 dinilai memiliki beberapa kelemahan baik dari segi konsep maupun teknis pelaksanaan. diantaranya :
1. Pihak penyelenggara ujian yakni Badan Standar Nasional Pendidikan permasalah secara konsep. Badan tersebut sebagai lembaga pembuat standar kelulusan seharusnya tetap independen dan tidak boleh menjadi lembaga
penyelenggara ujian. Disamping itu, badan itu juga belum merampungkan standar kompetensi lulusan yang seharusnya dijadikan acuan ujian nasional. Karena standar kompetensi belum ada validitas ukuran kelulusan dalam ujian nasional.
2. Jumlah mata pelajaran yang diujikan adalah Matematika, Bahasa Indonesia, dan Bahasa Inggris. "Apakah hanya ini yang perlu dikuasai oleh siswa? Seharusnya jumlah mata pelajaran ayng diujikan harus mewakili seluruh kompetensi siswa, jadi apabila selama pendidikan siswa mendapat pelajaran 10 buah mata pelajaran ya harus diuji 10 buah mata pelajaran bukan sebagian karena kalau sebagian kita tidak dapat menggukur kompetensi siswa secara umum.
3. Harus dibentuk tim independen di kepanitiaan UN, mulai di tingkat provinsi, kabupaten, hingga ke sekolah-sekolah. Tim ini bertugas meng-awasi segala sesuatu yang terkait dengan soal ujian untuk mencegah terjadinya kebocoran soal.
4. Pemerataan sarana pendidikan diseluruh setiap sekolah baik yang berada di pusat maupun daerah.
5. Penentuan kelulusan harus berdasarkan PP no.19/2005 yang terdiri dari 3 penilaian yaitu guru sebagai pendidik, sekolah sebagai satuan pendidikan, baru pemerintah.
6. Pelaksanaan absensi dilakukan sebelum ujian dimulai. "Pada pelaksanaan UN sebelumnya, untuk pengisian absensi dilakukan sewaktu ujian berjalan. Berdasarkan hasil evaluasi, pengisian absensi seperti itu mengganggu konsentrasi siswa. Karena itu, pengisian absensi mesti lebih awal, sebelum ujian dimulai.
7. jumlah peserta UN dalam setiap ruangan/kelas dibatasi, tidak lebih 20 orang/kelas.
8. Sisa soal-soal UN yang tidak terpakai, mesti diberikan langsung kepada kepala sekolah.

III. KESIMPULAN
Setelah kita menganalisa beberapa indikator kelemahan yang terjadi pada pelaksanaan UAN 2006 ternyata masih banyak lobang-lobang yang dapat dimanfaatkan oleh orang yang ingin mencari keuntungan dan jalan cepat yang akhirnya mengakibatkan keabsahan dari Ujian Negara tersebut sudah tidak dapat dipertahankan lagi.
Oleh karena itu untuk menjadikan UAN sebagai alat ukur yang mempunyai validitas dan dapat mengukur kompetensi siswa seluruhnya maka Ujian Akhir Nasional tersebut harus segera di kaji ulang baik secara konsep maupun teknis, itupun kalau pemerintah bersikeras ingin Ujian Negara itu tetap dilaksanakan pada tahun-tahun berikutnya.

IV. DAFTAR PUSTAKA
Hidayat Syarif H. 2006,. Edisi 8 Februari 2006.Depdiknas keluarkan 6 kebijakan UN 2006. Pikiran Rakyat, Ciamis
PP No.19 tahun 2005
Siagian Oscar. 2006, Rublik , UN dan Probelematika Pendidikan Kita. Harian.Com
Wiguna oktamandjaya. 2006. Ujian Nasional Miliki Kelemahan Konsep dan Teknis, TEMPO Interaktif_com, Jakarta.

TUGAS PENGANTAR PENDIDIKAN

’’PERMASALAHAN UAN 2006’’






OLEH
ISMAIL, A.Md




CRASS PROGRAM AKTA IV
UNIVERSITAS MUHAMADIYAH PURWOKERTO
2007



0 komentar:

Template by : kendhin x-template.blogspot.com