Rabu, 04 November 2009

Cerpen Bahasa Indonesia 3

Ibu dan Anak
Entah berapa umurku saat itu. Dua tahun. Atau mungkin tiga tahun. Sepertinya tiga tahun. Aku sedang duduk di tempat tidur. Atau mungkin sedang berbaring. Aku lupa lagi. Tapi yang jelas pintu kamar terbuka. Terdengar suara-suara bernada tinggi. Apakah aku menangis ketika itu? Mungkin. Iya, aku menangis. Menangis karena apa? Lapar? Popok yang belum diganti? Haus? Atau aku hanya ingin mengeluarkan air mata saja? Tapi sepertinya aku menangis karena suara-suara itu. Suara-suara bernada tinggi yang menakutkan. Suara-suara yang belum bisa kumengerti kata-katanya. Suara-suara dari kedua orang tuaku.
Plak. Aku masih mengingatnya dengan jelas. Suara tamparan itu. Suara tangan ayahku yang menyentuh pipi ibuku. Suara yang kemudian berlanjut kepada tangisan. Tunggu. Tangisan siapa? Aku atau ibuku? Aku sudah berhenti menangis. Tampak ibuku berurai air mata.
*
Di mana aku? Aku berada dalam kebingungan. Aku berada di dalam suatu kendaraan panjang dengan kursi-kursi ganda di setiap sisinya. Aku berada di pangkuan ibuku. Tampaknya aku baru terbangun dari tidur lelap yang panjang. Ibuku tersenyum kepadaku. Ia mencium pipiku.
Aku melihat keluar jendela. Tampak sebuah jembatan. Atau seperti sebuah monumen. Aku tak bisa menjelaskannnya. S-E-M-A-R-A-N-G. Begitulah huruf-huruf yang tertulis. Tapi aku masih belum bisa membaca.
Kendaraan itu berhenti. Para penumpang mulai keluar melalui pintu. Termasuk ibu dan aku. Panas. Itu yang aku rasakan untuk pertama kali ketika keluar dari kendaraan itu. Cuaca panas yang gerah. Tidak seperti biasanya.
Tampak seorang lelaki yang berjalan menuju ibuku. Lelaki itu memanggil nama ibuku. Ibuku menyahut. Mereka berdua saling menghampiri. Tampak dari muka mereka suatu perasaan senang dapat bertemu. Lelaki itu, lelaki yang bukan ayahku.
Entah berapa lama aku tinggal di kamar itu. Udara yang panas dan gerah membuatku tidak betah. Kalau tidak salah badanku menjadi merah karena gatal.
Lelaki itu cukup baik kepadaku. Dia membelikanku boneka. Dia juga sering memberiku permen dan coklat. Dia sering mengajak aku dan ibuku berjalan-jalan. Aku sering menemukan diriku di tempat yang asing dan baru.
Kadang-kadang suka teringat wajah ayahku. Mungkin aku kangen kepadanya tapi sepertinya tidak juga. Lelaki ini baik kepadaku. Dan ibuku juga tampak gembira.
Sudah berapa lama aku tinggal di kamar ini?
*
Wajah-wajah dari orang-orang yang kukenal. Ayah, dua orang yang dipanggil mama dan papa oleh ibuku, seorang wanita dan seorang lelaki yang mukanya mirip dengan ibu.
Mereka semua sedang mengelilingi ibuku. Mereka tampak sedang berbicara pada saat yang hampir bersamaan. Raut muka mereka tampak sayang, kesal, dan lega. Suara mereka mengisyaratkan rasa kesal dan menyesal. Aku menyadari bahwa aku sudah tidak tinggal di kamar itu lagi.
Baru beberapa tahun kemudian aku akan tahu tentang arti dari semua ini. Kenapa ibuku sampai lari dan kenapa ibuku ditemukan kembali. Apa yang telah dia lakukan dan apa yang telah dia jalani.
Tampak ibuku menyesal. Ayahku juga terlihat menyesal.
Ibuku sedang menangis di antara orang-orang itu.
*
Aku sudah lebih dari dua tahun tinggal di rumah Ua.
Ketika itu namanya masih Ebtanas. Aku masih belum tahu akan melanjutkan SMP ke mana. Apakah tetap di Jakarta atau kembali ke Bandung.
Orang tuaku mengatakan bahwa itu terserah kepadaku. Aku bingung. Aku disuruh menetapkan keputusanku sendiri. Seorang anak berumur 11 tahun disuruh memilih jalan hidupnya sendiri.
Rasa sakit itu kembali menyerang. Rasa sakit yang tidak tanggung-tanggung pada bagian perut dan payudara. Entah sejak kapan aku jadi suka merasa gelisah dan depresi tanpa alasan yang jelas. Udara Jakarta yang panas dan gerah membuat keringatku semakin berceceran. Entah sejak kapan keringatku jadi bau.
Mengapa aku sekarang tinggal di sini? Ayah sebetulnya tidak terlalu setuju aku tinggal dengan Ua di Jakarta. Aku juga sebenarnya tidak terlalu antusias. Ini kehendakmu kan, Ibu? Ibu kan yang tampaknya benar-benar ingin aku tinggal dengan Ua.
Kenapa? Apakah aku merepotkan ibu? Apakah ibu tidak mau mengurusku? Apakah aku menjadi benalu dalam kehidupanmu?
Rasa sakit itu semakin merajalela. Kepalaku mulai terasa pening dan pusing. Ibu, di mana kau berada saat menstruasi pertamaku?
*
Seperti de ja vu. Tamparan itu. Oleh orang yang sama. Kepada orang yang sama. Hanya di tempat dan suasana yang berbeda.
Dago. Di tempat umum. Ayahku menyeret ibuku keluar dari mobil seorang laki-laki teman kerjanya. Orang-orang melihat kejadian itu. Ayahku ditenangkan oleh seorang tukang baso. Ayahku tampak menjelaskan permasalahannya.
Aku melihatnya dari kaca mobil ayahku. Aku kesal, bingung, sedih, dan malu. Aku tidak tahu harus berpihak ke mana. Aku hanya seorang anak ABG. Aku sedang dalam masa pubertas.
Ayah, kenapa kau tega sekali kepada ibu? Ibu, apa yang telah kau lakukan hingga suamimu marah besar?
Aku tidak tahu harus berpihak ke mana.
*
Sepasang sepatu yang asing tampak di depan pintu. Terdengar suara ibuku dari dalam rumah. Terdengar juga suara lelaki asing.
Kulihat dari jendela dua manusia sedang ngobrol dengan santai sambil sesekali bercanda. Aku melangkah masuk ke dalam rumah. Mereka menengokkan kepala kepadaku.
Entah apa yang kurasakan saat itu. Emosi macam apa yang kurasakan saat itu. Mungkin aku memang seorang wanita liar. Atau lebih tepatnya seorang remaja liar. Mungkin memang masa putih-abu adalah masa pemberontakan. Masa di mana emosi dan mental ditantang.
Tanpa pikir panjang aku ambil vas bunga di meja. Aku lempar vas itu ke lelaki bajingan di depanku. Tepat mengenai kepalanya. Vas itu pecah berantakan. Tampaknya dia menjadi tidak sadarkan diri.
Muka ibuku yang panik. Tubuhnya yang menghampiri lelaki itu. Muka ibuku yang tidak bisa aku definisikan.
Setelah itu aku tidak bisa merasakan apa-apa. Aku tidak merasakan apa-apa. Kepuasan, kemarahan, kesedihan, atau kesenangan. Aku tidak tahu. Aku merasa hampa.
*
Sudah kesekian kali telepon berdering. Aku akhirnya mengangkatnya juga. Suara nenekku terdengar tua di telingaku. Aku tahu alasan dia menelepon.
Beberapa jam yang lalu ibuku baru menikah. Wanita itu baru resmi bercerai dengan ayahku dua minggu yang lalu. Sekarang sudah menikah lagi.
Setengah jam yang lalu ibuku menelepon. Aku bentak-bentak dia. Aku menyebutnya dengan berbagai macam nama. Aku membuatnya menangis.
Nasihat-nasihat nenekku terdengar hampa. Aku tidak menaruh perhatian satu persen pun pada omongan wanita tua itu.
Aku teringat pada ibuku. Aku membayangkan pernikahannya. Aku membayangkannya dalam baju kebaya. Pasti dia terlihat cantik sekali.
Ibu. Aku tidak membencimu tapi aku tidak bisa menemukan alasan untuk menyayangimu. Menyayangi seorang ibu seperti seharusnya seorang anak.
Sembilan bulan. Apakah itu cukup? Apakah itu satu-satunya alasan?
*
Pernikahan yang sederhana dan simpel. Itu yang kuinginkan. Itu yang kurasakan.
Kepuasan itu semakin besar karena seseorang. Orang itu tidak datang. Aku memang tidak mengundangnya.
Orang itu tidak suka dengan calon suamiku. Orang itu bersikeras bahwa aku tidak boleh menikahinya. Orang itu mengatakan bahwa aku tidak akan bahagia. Orang itu mengatakan bahwa itu semua demi kepentinganku.
Penolakanmu semakin memuaskanku. Sikap seolah-olah kau peduli semakin memuaskanku.
Jangan sampai kamu merasakan apa yang kurasakan.
Jangan sampai kamu melalui apa yang kulalui.
Aku tidak percaya kalau kau mengatakan itu.
Ibu, sejak kapan aku harus mendengarkanmu?!
*
Hidup adalah alunan waktu yang tidak akan pernah kembali lagi. Tahun-tahun yang kulewati dalam kekangan komitmen palsu ini terasa hampa dan menyebalkan.
Aku melihat foto pernikahanku. Kukenang saat itu. Tapi sesungguhnya tidak ada yang bisa kukenang.
Aku mengakuinya. Wanita itu memang benar. Dari awal aku memang tahu kalau wanita itu benar. Aku hanya ingin membalasnya. Aku hanya ingin merasa puas.
Ternyata aku hanya memainkan diriku sendiri. Aku mempermainkan hidupku sendiri.
Aku menggosok debu pada foto pernikahanku. Tepat delapan belas tahun yang lalu. Sudah delapan belas tahun. Apa yang kurasakan? Aku tdak merasakan apa-apa. Aku tidak merasakan cinta seorang suami.
Buah hati. Ketika aku melihatnya aku melihat diriku sendiri. Luar dan dalam. Jasadnya adalah aku. Hatinya adalah aku. Buah hatiku adalah reinkarnasi diriku.
Entah sudah berapa lama aku tidak menangis selama ini.
*
Cimindi.
Rumah itu adalah rumah yang paling strategis di dunia. Pasar, jalan raya, stasiun kereta api, dan bandar udara. Rumah itu terletak di tengah semuanya. Rumah bekas jaman penjajahan Belanda yang tidak terawat. Kulit tembok yang warna aslinya putih sudah mengelupas di mana-mana.
Siang hari. Di tengah kebisingan dunia, aku berdiri di depan pintu kayu besar rumah itu. Aku mengetuk pintunya dan mengucapkan salam. Seorang wanita tua membukanya.
Bagaimana menyebutnya? Karma? Aku tidak percaya dengan kata itu. Aku hanya percaya bahwa segala sesuatu yang kita lakukan pasti akan mendapatkan balasan yang setimpal. Mempunyai arti yang sama dengan kata karma tapi tetap saja aku tidak percaya dengan kata itu.
Wanita tua itu tersenyum padaku. Aku tersenyum kembali padanya. Aku mendekatinya dan mencium tangannya. Sudah berapa lama aku tidak mencium tangan itu. Sudah berapa lama aku tidak membaui tangan itu. Sudah berapa lama aku tidak berjumpa dengan ibuku.
Pada akhirnya aku mengerti. Pada akhirnya aku dapat mengerti. Setiap orang mempunyai jalan hidupnya masing-masing. Ibuku mempunyai jalan hidupnya sendiri yang dia pilih dengan segala macam pertimbangan. Aku tidak berhak merasa marah atau tidak senang dengan pilihan hidupnya. Aku hanya kecewa tapi sekarang aku dapat mengerti.
Karma.
Kata itu muncul kembali dalam benakku.
Buah tidak akan jatuh jauh dari pohonnya.
Like mother like daughter.
Sudah berapa lama aku tidak berbicara dengannya?
Karma…
Ibu, bagaimana ibu dulu menghadapiku?
TAMAT

0 komentar:

Template by : kendhin x-template.blogspot.com